Wednesday, December 3, 2014

Raisa

Raisa menatap nanar sosok yang sedang duduk gemetar di depannya. Rumi. Ya, gadis mungil berbaju biru itu bernama Rumi, orang yang paling Raisa benci. Dan sekarang dia sedang menyaksikan Rumi terikat erat di sebuah kursi kayu, tubuhnya penuh luka lebam dan beberapa goresan di wajah putihnya. 
'Apa maumu?' Cicit Rumi. Raisa tersenyum sinis, jemari lentiknya meraih pelan dagu Rumi dan mendongakkannya. 
'Apa mauku? Membuatmu menderita!!'
'Tapi... Kenapa?' Rumi mengerjapkan mata berusaha menyembunyikan rasa takut itu. 
Terlambat. Raisa sudah melihatnya dan makin membuatnya tersenyum lebar.
'Setelah apa yang kau lakukan padaku, wajar kan kalau aku ingin kau menderita. Sangat!' Bisik Raisa dengan suara mengancam. Tangan kanannya masih di dagu Rumi sedangkan tangan kirinya mengeluarkan pisau lipat dari saku jaket.
Rumi terjengit ketakutan. Dia tidak pernah menyangka kalau teman pendiamnya itu berubah menjadi monster yang mematikan. Kalau dia mau jujur, semua itu salahnya. Karena sebuah permainan berbahaya yang dia lakoni meski dia tau akan menyakiti Raisa. Dia mengira Raisa akan memaklumi seperti biasanya dan dia salah...
Pandangan Raisa beralih dari wajah putih pucat Rumi ke pisau lipat silvernya. Berpikir bagaimana caranya menyiksa Rumi, memberi rasa sakit yang dalam seperti gadis itu lakukan padanya selama ini?? 
Smirk itu muncul kembali. Kilasan demi kilasan kenangan itu memenuhi kepalanya. Tangan kanan Raisa spontan menjambak rambut panjang Rumi yang langsung berteriak kesakitan. Perlahan Raisa mengangkat tangan kirinya dan mengarahkan pisau ke atas kepala Rumi.
Creesss....
Helaian rambut jatuh ke pangkuan Rumi. Wajah yang kini penuh air mata itu tertunduk, menggigit bibirnya gemetar. Berulang kali dia mendesiskan kata maaf tapi tak digubris Raisa yang kini makin gencar memangkas rambut Rumi.
Tiba-tiba gerakan itu terhenti. Tubuh Rumi semakin gemetaran saat merasakan metal dingin di pipinya. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, rasa perih mendera pipinya yang tertoreh ujung pisau membuat Rumi berteriak disela tawa Raisa.
Dua torehan.....
Bau anyir menyerbu hidung mancung Rumi. Buliran air mata itu kini menjadi memerah. 
Tes... Tes....
Mutiara merah itu mengaliri dagu dan akhirnya jatuh ke sweater birunya. 
'Sakit?' Tanya Raisa tertawa.
'Itu belum seberapa dibandingkan apa yang aku rasakan,' tambahnya sambil menambahkan garis di pipi kiri Rumi. 
'Maaf.... Maaa...aaff.... Maafkan aku Raisa. To..long...' Kata Rumi terpatah menahan rasa sakit. Kata - kata yang makin membuat Raisa murka. 
Maaf?? Seharusnya dia katakan maaf jauh-jauh hari sebelum rasa benci menguasainya.
Raisa menyelusuri sepanjang pipi, dagu, leher jenjang Rumi dengan ujung pisaunya dan terhenti tepat di dada Rumi. 
'Katakan satu hal, Rumi, sebelum aku menyelesaikan ini. Pernahkah sedetik dalam hidupmu kau menganggapku teman baikmu?' 
'Aku selalu menganggapmu sahabat, Raisa,'
'Begitukah? Jadi.... Orang seperti apa yang menikam sahabatnya, Rumi?'
'Maafkan aku....aku...aku....'
'Baiklah. Sebagai 'sahabat' yang baik, aku tak akan menikam dari belakang seperti yang kau lakukan. Sebaliknya....!!'
Jlebbb!!!!
Sweater itu kinipun berwarna merah. 

Pluk!
Sepasang lengan memeluk Raisa dari belakang, membuyarkan lamunan panjangnya. Raisa menoleh dan mendapati wajah familiar yang tersenyum lebar.
Raisa membalas senyum Rumi dan memeluknya.
Rumi, gadis yang dia bunuh ratusan kali di pikirannya.
Rumi, gadis yang dia benci segenap jiwanya.