Sunday, June 26, 2011

KESENDIRIAN

ya ammmpyuuunnn.... mendadak menemukan puisi lama jaman SMU dlu.. ketawa jga membacanya. ternyata aq dlu selabil ini, freak dan egois tingkat tinggi. Aku tidak ingat secara pasti kapan dan kenapa aku menulis puisi melankolis ini. Tapi, dari membaca puisi ini aku semakin sadar dan bisa mengaca dari pengalamanku.. Sesuatu yang menyedihkan bagiku dahulu bisa aku anggap sebagai sesuatu yang lucu saat ini. Masa lalu memang penting tapi tidak lantas membuat kita terpuruk dan melupakan bahwa masih ada masa kini dan masa depan yang akan lebih indah. Ternyata peribahasa yang mengatakan bahwa luka dan air mata akan mendewasakan kita itu benar adanya. 
Sekarang ini, aku merasa sudah lebih dewasa, lebih kuat dan lebih bisa baik lagi.... Masa lalu tidak untuk dilupakan, jangan juga terlalu dikenang... biarkan saja apa adanya. Karena tanpa masa lalu tidak akan ada masa depan. 

Kesepian, kesendirian, kesedihan, kesunyian, kehampaan…..
Seperti matahari yang selalu sendiri
Seperti pantai yang selalu berdiri menanti lautan
Dan aku masih disini, sendiri
Tak ku harapkan bintang ataupun rembulan
Untuk menghapus semua sepi ini
Karena, walaupun aku berdiri di kerumunan orang
Aku tetap merasa sendiri
Rasanya sakit….
Ketika menyadari kita tak punya arti bagi siapapun
Ternyata tak seorangpun menganggap kita ada bagi mereka
Dan, aku sendiri


MY LOVE STORY

Tokyo, 2012
Musim gugur menghampiri.
Setumpuk novel terbaruku masih tergeletak di meja belajarku dari semalam. Bungkusnya pun belum sempat aku robek, masih rapi dengan pita berwarna biru. Di sebelahnya ada sepucuk surat dari mbak Tania, editorku di Indonesia, terbuka dengan amplop terselip diantara buku kuliahku. Baru aku baca beberapa baris saja, bernasib sama dengan buku-buku kuliahku yang berantakan di atas meja. Laptop berkali-kali berkedip menandakan email masuk, tidak juga aku gubris. Lampu meja juga belum mati, makin membuat kamarku terang benderang pagi ini.
Ponselku berdering sejak 1 jam yang lalu tanpa bersusah payah melihat siapa yang menghubungiku, aku biarkan begitu saja di sudut meja samping tempat aku berbaring sekarang. Kamera SLR yang terbiasa menggantung di leherku, pagi ini teronggok di atas setumpuk photo di atas meja berdampingan dengan ponsel yang belum menyerah untuk berdering. Di lantai kamarku berserakan lembar-lembar kertas, novel, buku dan sepasang sepatu. Tak ketinggalan sebuah syal berwarna biru dengan bercak tumpahan minuman strawberry yang botolnya aku lempar semalam ke atasnya.
Lemari baju di sudut kamarku terbuka, isinya masih rapi. Rak paling atas tertata kaos-kaosku berwarna hitam, di bawahnya kaos berwarna biru, dibawahnya lagi berwarna hijau dan rak paling bawah tersisa untuk berbagai warna. Begitu juga rak sebelahnya, semua baju aku letakkan sesuai warna dan model. Tertata secara terorganisir. Hanya sebuah gantungan kosong tempat long coat berwarna abu-abu, semalam aku pakai. Aku belum sempat menutup pintu lemari itu dari ketergesaanku semalam. Dan kamarku yang kecil makin berantakan.
Sedangkan aku, tergolek malas di atas tempat tidur berlapiskan sprei bergambar pantai Kuta berwarna biru, menatap langit-langit kamar berhiaskan bintang-bintang lengkap dengan bulan purnama glow in the dark mengelilingi lampu gantung, mendengarkan detik jarum jam dinding berganti menit ke menit. Pikiranku melayang entah kemana. Mataku penat belum sempat aku katupkan sejak semalam. Baju belum aku ganti, make up masih menempel di wajahku belum sempat aku hapus, kurasakan mascara itu luntur seiring air mata sejak semalam terus saja jatuh.
Sebuah pigura berisikan photoku dengan seseorang yang biasanya ku letakkan di atas meja belajarku kini berpindah ke pelukanku. Entah sudah berapa lama aku diam seperti ini, tapi dari berkas cahaya matahari yang menerobos dari sela-sela tirai kamarku menandakan hari sudah beranjak pagi atau malah sudah siang, mungkin sudah lebih dari 6 jam. Sekilas kalau ada seseorang melihat kondisiku mungkin aku akan disangka mati. Diam tak bergeming. Bahkan kehadiran nyamuk tidak mengusikku.
Perlahan aku bangun dan duduk termangu. Meletakkan pigura di atas bantal, menyingkapkan selimut dari tubuhku sebelum beringsut ke tepi tempat tidur. Beberapa saat aku terdiam lalu bangkit beranjak menuju meja riasku di sebelah lemari baju. Kedua tanganku menjangkau meja, menatap kaca dan mendapati seraut wajah yang mengenaskan.
Mascara luntur membentuk alur hitam di kedua pipiku dan membuat mataku makin mengelam. Mirip drakula yang tak pernah mengenal matahari. Kedua bola mataku memerah menandakan berjam-jam aku tidak tidur ditambah dengan pelupuk mata membengkak bekas menangis. Lipstick di bibirku entah menghilang kemana berganti dengan bibir pucat. Rambut panjang berwarna merah kecoklatan di kepalaku berantakan seakan sudah setahun tidak mengenal sisir.
Perlahan aku duduk di depan meja, meraih sebuah botol di depanku menuangkan isinya di selembar kapas dan mulai membersihkan jejak-jejak di wajahku. Menggosok pelan keningku sekaligus berharap kenangan buruk itu menghilang dari sana, lalu mengusap kedua kelopak mataku, berusaha menghilangkan mascara yang meluntur. Aku mengulangi sampai dua kali akhirnya wajahku bersih juga. Tinggal mata sembab yang tak mungkin bisa aku sembunyikan dengan make up setebal apapun. Terdiam sejenak, tangan kananku menjelajahi liku-liku wajahku. Kening ini, dulu pernah kau cium di suatu malam saat menikmati pesta kembang api di tepian sungai Han. Mata ini, kau katakan mata paling indah yang pernah kau lihat. Pipi ini, pernah kau kecup dan merona merah saat kau mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Bibir ini, memang belum pernah kau sentuh tapi lipstick pemberianmu tidak pernah lepas menggantikanmu menghiasi. Leher ini, tempat kau sematkan sebuah kalung berliontin bintang. Telinga ini, kau sengaja memberikan 8 anting berbeda untuk 8 lubang disana.
Semua kenangan itu masih ada disana. Dengan rasa sesak memenuhi dada, aku lepaskan kalung pemberianmu, ke delapan anting itu, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kotak sebelum akhirnya ku simpan di laci terdalam meja riasku. Biarkan kosong. Seperti hatiku saat ini. Kosong.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Sudah terlambat bagiku untuk pergi ke kampus. Semangat juga terbang dari diriku pagi ini. Kuputuskan untuk pergi ke café langgananku saja seusai mandi nanti. 30 menit mengurung diri dalam kamar mandi, membiarkan air hangat membasuh tubuh lelahku. Sekeluar dari kamar mandi aku sadari kalau dering ponselku masih berdering. Ku putuskan untuk mengangkatnya, masih mengenakan piyama mandi aku menuju meja meraih ponselku. Leta.
“Moshi-moshi..” jawabku datar.
“Gosh!! Doko ita no?” seru Leta panik. Temanku satu ini memang gampang sekali khawatir. Dan sikapku sejak kemarin wajar membuatnya khawatir setengah mati seperti sekarang.
“Di apartemen,” sahutku singkat. Terdengar suara di belakang Leta yang sudah tak asing lagi bagi telingaku. Pasti Hiro, Ayumi dan Tetsu.
“Daijoubu??? Berkali-kali ku hubungi tapi tidak kau angkat juga. Kita disini khawatir. Hontou….”
“Hmm.. daijoubu. Cuma capek. Aku ingin sendiri sekarang. Gomen…” kataku enggan. Tanpa menunggu jawaban Leta, aku matikan ponselku. Aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun sekarang dengan kondisi seperti ini, tidak mau membuat Leta dan yang lain semakin khawatir. Tapi, yang paling utama, aku belum siap menjawab pertanyaan mereka tentang apa yang sudah terjadi.
Setelah melepaskan baterai ponsel dan melempar benda itu ke atas kursi, mataku menangkap sebuah nama di tanda email masuk. Namamu. Ku matikan laptop tanpa membaca email-email yang masuk. Tak peduli seberapa penting diantara email itu. Surat dan setumpuk novel yang terbengkalai sejak semalam pun aku tinggalkan begitu saja.
Sebelum pergi sepertinya hal yang tidak bisa aku acuhkan adalah betapa berantakan kamarku ini. Setelah berganti pakaian aku mulai membersihkan dan menata semuanya ke tempat semula.  Lalu pergi tanpa menoleh. Hanya jaket dan kamera yang aku bawa. Seperti biasa. Ketika tanganku sudah siap membuka pintu, kusadari ketidak siapanku menghadapi dunia luar itu saat ini. Aku sedang tidak bisa tersenyum, aku sedang tak ingin tertawa, aku sedang tidak sanggup berjalan, dan tidak siap meruntuhkan air mata. Pintu kembali kututup, melepas sepatu high heelsku, menggantung jaketku, menaruh kunci pada tempatnya dan memutar badanku kembali ke kamar.
Akhirnya, disini lah aku. Duduk meringkuk di depan meja belajarku lagi dengan secangkir coffelatte hangat di tanganku. Kehangatan menjalar melalui ujung-ujung jemariku bercampur aroma harum coffelatte yang menyeruak memenuhi ruangan. Sedikit kedamaian menghampiri otakku. Mataku tertumbuk ke sebuah bungkusan di atas meja. Berkali-kali menahan keinginanku membuka bungkusan novel itu dan membaca surat di sampingnya. Aku menyerah, meletakkan cangkir ke atas meja dan meraih bungkusan berpita biru itu. Ada 5 buah novel bersampul biru dengan judul “My Love Song” berwarna keemasan. Dan ada namaku dibawahnya. Aku menghela napas panjang. Beralih ke sepucuk surat dari mbak Tania dan kali ini aku membacanya. Semakin aku membacanya, tanganku gemetar.

Dear Jeeny,
Bagaimana kabarmu di Jepang? Pasti sekarang sedang musim dingin kan, ati-ati jangan suka keluyuran ntar asma kamu kambuh. Kita masih butuh naskah novel terbarumu hehehehe.. just kidding ^^
Seperti yang sudah2, 5 buah novel terbarumu kita kirimkan ke Jepang dan 5 sisanya sudah kita kirimkan ke alamat yang kau berikan. Kali ini desain yang kau kirimkan kita jadikan covernya. Guess what??? Semua orang menyukainya! Bahkan orang sekantor membeli sebelum sempat kita edarkan ke toko buku. Seperti kata mbak Nina, pre order membludak. Sayang sekali kau tak bisa menghadiri launching buku ini kemarin. Mungkin saat kau pulang kembali ke Indonesia. Tahun depan???
Kau pasti heran kenapa aku menulis surat bukan email atau langsung menelponmu. Entahlah aku sedang ingin menulis surat dan menyelipkannya dalam paket ini daripada lewat email yang pastinya menunggu kamu temukan dari ribuan email dari penggemarmu. Menelponmu dan mendapatkan jawaban mailbox atau jawaban pendekmu kadang membuatku kesal dan tak puas. Terlalu banyak kata-kata ingin aku sampaikan, dan pasti tak mampu secara langsung secara verbal. Sesekali aku ingin menempatkan diriku sebagaimana mestinya, kakakmu. Bukan seorang editor galak yang selalu ngejar-ngejar kamu dengan deadline. I miss u so, sist.
Banyak yang ingin aku ceritakan padamu, sist. Meski aku tak tau apa kau akan membaca dengan sungguh2 suratku ini. Tapi, biarkan saja.
Ini tentang novelmu.
Kelima novel kamu terdahulu masih terus di cetak ulang. Makin hari semakin banyak yang menjadi pemuja karyamu dan tentu saja memuja dirimu. Demikian pula dengan film2 yang skenarionya kamu tulis. Big success!! Dan novel kamu kali ini, ada sebuah PH yang tertarik untuk memfilmkannya seperti your 1st novel dulu. Yah…mungkin pihak mereka belum sempat memberitahukannya padamu saat surat ini sampai padamu. I’m proud of you ^^
Ini tentang kamu.
Sist, mungkin ini pilihan yang sulit bagimu. Memfilmkan novel ini berarti membiarkan dunia tau cerita cinta kamu tanpa mereka sadari. Di satu sisi, ini adalah kesempatan yang bagus untuk memberitahukan padanya perasaan kamu yang sebenarnya. Jangan lagi kau berlari,  sist. Sekali saja kau biarkan cinta itu sendiri yang memilih. Seperti kata kamu ‘kita tidak bisa memilih pada siapa, kapan dan dimana kita jatuh cinta’. Cintamu indah. Demikian juga dia. Jangan biarkan kau kehilangan cinta itu, betapapun akan berat kau menjalaninya. Aku yakin kau pasti bisa. Karena kau adalah Jeeny.
Kau bisa membohongi semua orang termasuk dia, tapi bukan aku. Kata demi kata dalam novelmu kali ini benar2 menyiratkan segenap perasaanmu, dengan mudah aku bisa membacanya. Mungkin bagi sebagian orang ini hanyalah novel biasa, fiktif. Bagiku, ini adalah hatimu dan aku beruntung bisa membaca dan merasakannya.
Sekali lagi sist, biarkan dunia buta dan tak bisa membaca ataupun melihatnya, tapi biarkan dia seorang yang tau. Biarkan dia melihatnya. Cukup ada kau dan dia. Kau bukan rembulan dan dia bukan matahari yang tak bisa bersatu di langit. Cinta itu ada diantara kalian.
Jangan mengorbankan lebih dari ini. Pilihlah yang terbaik untukmu sekalipun itu sangat egois. For your own happiness.
Terakhir, jaga kondisi jangan sampai sakit karena kau jauh dari rumah. Selalu semangat dan tersenyum seperti apa adanya kau meski apapun  yang terjadi dalam hidupmu. Aja aja fighting!!! Ganbareee…..

                                                                                                                        With love,
                                                                                                                        Tania

Kulipat dengan rapi dan memasukkan surat itu dalam laci. Entahlah aku harus bagaimana menanggapi isi surat yang tak pernah kusangka ini. Bagaikan sebuah oase di tengah padang pasir. Seharusnya aku membaca surat ini semalam, ketika semuanya menjadi akhir. Sekali lagi tatapanku tertumbuk pada novel itu. Menimbang-nimbang…. Haruskah kali ini juga aku mengirimkan novel ini ke Seoul seperti biasanya setiap novelku terbit?? Meskipun aku tidak yakin sesampainya novel ini padamu bisa mengubah keadaan. Mungkin akan menjadi akhir atau awal dari cerita cintaku.
Kembali mataku menatap novel di depanku, meraihnya satu dan membukanya. Membaca novel di tanganku ini adalah sama saja dengan melihat jauh ke belakang hidupku. Hari-hari sederhanaku yang berwarna.



Bandung, 2008
Hujan mengguyur Bandung sore ini. Air membanjiri Dago semakin membuat kemacetan tak terelakkan lagi. Hawa dingin menusuk tubuh basah kuyupku, sialnya aku lupa membawa jaket ataupun payung hari ini. Alhasil akupun menggigil dalam angkot yang merambat seperti keong karena macet. Perut lapar, capek, ngantuk ditambah suara klakson mobil-mobil yang mulai tak sabar ingin menyuruh mobil di depannya mempercepat lajunya makin membuat kepalaku pusing. Sebenarnya aku takkan sesial ini kalau saja tadi tidak memaksakan diri nongkrong di perpustakaan hanya untuk sekedar mencari kesunyian menulis cerpen. Toh, pada kenyataannya bukan menyelesaikan cerpen malah terdampar dengan segala imajinasi alias melamun.
Kuusap kaca jendela angkot yang berembun, lampu jalanan Dago sudah menyala sejak tadi. Dapat kulihat jelas lalu lalang orang-orang, penjual makanan dan minuman yang tak menghiraukan derai hujan, pengemis berbasah kuyup menghampiri setiap mobil yang berhenti disusul pengamen di belakangnya. Bagi mereka kemacetan ini adalah anugerah, rejeki besar. Sungguh ironis, ketika orang-orang bermobil itu merasakan penat, kejengkelan, di satu sisi ada yang merasa diuntungkan.
Pandangan mataku beralih ke arah jalan yang digenangi air setinggi mata kaki. Air berwarna kecoklatan bercampur berbagai sampah dan mungkin juga bangkai tikus. Bergidik jijik membayangkan apa saja yang ikut mengalir bersama air itu. Dan betapa tangguh orang-orang itu menantangnya seakan itu air dari sumber air bersih, bukannya air kotor.  Banjir menyapu sampah yang menumpuk, tapi sampah juga yang menyebabkan banjir ini. Pemandangan biasa di dapati akhir-akhir ini tidak saja dalam televisi tapi juga dalam kehidupanku sehari-hari di musim penghujan.
Aku suka hujan. Suka sekali. Setiap ada hujan tak pernah kubiarkan berlalu begitu saja tanpa aku menikmati guyurannya. Main hujan. Tapi, hujan di Bandung tidak seperti hujan di kampung halamanku yang sejuk. Hujan di sini membawa sejuta luruhan polutan yang kotor. Air berubah menjadi hitam dan sedingin es. Dan aku membenci hujan di Bandung.  Terlebih hari ini. Ingin ku maki saja itu butir-butir hujan yang masih saja setia menetes dari langit.
Tiba-tiba….
Kenikmatan observasiku terganggu dengan suara keruyuk perutku. Lapar makin melilit. Sekilas kulirik cowok di sebelahku yang langsung menahan ketawa mendengar musik mengalun dari perutku. Sialan! Emang apa yang lucu dari seorang yang kelaparan sepertiku?? Baru aku sadari kini aku tak lagi sendiri dalam angkot, ada 4 orang lagi yang sepertinya mereka juga mendengar suara keruyuk perutku dilihat dari raut muka menahan ketawa. Cuek seolah tak terjadi apapun aku kembali menekuni jendela angkot, semakin menambah volume ipod. Biar mereka saja yang mendengar keruyuk perutku.
Kembali keasyikanku terganggu. Kali ini dengan getar ponsel dari dalam tasku. Panggilan dari rumah. Begitu mencemaskan diriku yang tak pulang-pulang saat jam sudah menunjukkan angka 9 malam.
“Kau dimana? Kenapa belum pulang?” suara tanteku cemas. Huft….tipikal orang tua overprotektif, terlalu banyak kekhawatiran.
“Masih di jalan, macet neh,”sahutku cuek. Terdengar hela napas.
“Kau bawa payung, ga? Biar bi Inah jemput di depan. Hujannya deres banget,” kata tante. Ku tengok langit di luar sana yang masih saja mengguyurkan hujan. Aku mendengus kesal.
“Baik. Ntar kalo dah hampir nyampe aku sms tante, deh,” sahutku menyetujui saran dari tante. Kondisi alam malam ini tak memungkinku untuk nekat. Asma jadi taruhannya, aku tidak ingin masuk rumah sakit. Apalagi dengan kemacetan seperti ini, untuk mencapai rumah sakit terdekat dari rumah bisa besok pagi sampainya.
Masih jauh dari rumah, yang biasanya kutempuh hanya 30 menit malam ini menjadi 1 jam lebih. Itupun belum sampai rumah. Bajuku bahkan mengering alami dengan bantuan angin malam. Perut yang terakhir kali aku isi tadi siang makin memberontak. Hujan makin menggila, dingin makin merajam. Bosan setengah mati. Ingin twitteran atau facebookan untuk membunuh jenuh tapi apa daya pulsa menipis. Hanya lantunan mp3 akhirnya penghiburku. Duh, Bandung tak bersahabat denganku malam ini. Akhirnya aku rela hanya termangu menikmati tetes hujan di luar sana dari jendela angkot keong ini. Huuffth…..

Suatu sore yang lain di Bandung. Sehabis nonton film di sebuah pusat perbelanjaan, sekarang duduk di sebuah café menanti pesanan datang. Mendengarkan debat kusir antara Leta dan Vina seputar pemeran film barusan yang paling ganteng, adegan mana yang paling mendebarkan, kata-kata apa yang bisa dijadikan kata mutiara. Disebelahku, sama-sama terdiam, Lusi. Asyik dengan blackberry seperti biasa, manusia autis.
Banyak orang berlalu lalang di luar yang bisa dengan puas aku amati dari dalam café. Aku suka mengamati hal seperti itu. Siapa tau ada yang bisa aku jadikan sumber inspirasi untuk novelku yang sudah lebih dari setahun mendekam dalam laptopku. Sedikit berharap ada artis lewat dan bisa aku hadang untuk aku mintai tanda tangan atau photo bareng. Syukur-syukur dapet nomor hp sekalian hehehehe…. Pada kenyataannya pemandangan di luar membuatku bosan. Menoleh ke arah Lusi yang sekarang cengar cengir memandangi blackberry kesayangannya, Leta dan Vina yang sekarang beralih topik tentang lagu baru band idola mereka. Ku senggol pelan lengan Lusi yang makin lebar senyuman di wajahnya. Merasa terganggu, dia melirikku kesal. Aku bertanya padanya tanpa kata-kata melalui mataku –ada yang seru ga?- dan tanpa menjawab dia mengangsurkan ponselnya ke arahku. Dengan gerak mata cepat aku membaca puluhan twitter dari berbagai artis, penulis, orang-orang tidak aku kenal secara dekat sampai teman sekelasku.
Dari 200 orang yang dia follow, hanya sekitar 40an yang benar-benar eksis di hidupnya ataupun di hidupku. Lainnya adalah manusia-manusia fatamorgana. Bagaimana tidak?? Kita tau mereka hanya lewat nama saja. Okelah, kita emang sering liat mereka tapi itupun melalui televisi atau majalah. Hanya itu. Bahkan membalas mention, tau nama kita follow dia aja udah syukur. Suatu hubungan yang aneh antara artis dan penggemarnya. Suatu komumunikasi satu arah. Twit yang kadang hanya menjadi sampah dan menenggelamkan twit dari segelintir sahabat kita yang kadang lebih penting. Kadang aku berpikir, apa yang kita harapkan dari ini semua? Update tentang mereka sambil harap-harap cemas suatu saat mereka tiba-tiba tergelitik untuk menengok mention dan mendapati ratusan pesan dari kita? Kehidupan mereka juga kadang tak semenarik hari-hari yang aku jalani. Sederhana tapi penuh warna.
Tidak munafik, aku juga 1 dari sekian orang yang begitu bahagia dan bangga tau perkembangan idola detik itu juga melalui twitter mereka. Rajin membalasnya walaupun dari seratus pesan mungkin hanya 1 atau 2 kali saja mendapat balasan singkat ‘thank you’, ‘terima kasih’, ‘nice to meet u’, ‘love u girl’, atau hal simple lainnya.
PING!
PING!
PING!
Berkali-kali benda di tanganku berbunyi menandakan banyak pesan baru masuk. Ada sederet nama asing dengan tulisan meliuk-liuk, bukan huruf romaji. Aku mengenalnya sebagai tulisan negeri sakura dan ginseng. Jepang dan Korea. Perlu diketahui kalau temanku satu ini adalah pengoleksi twitter artis dari berbagai penjuru dunia. Dari sekaliber dunia Alicia Keys, Asthon Kutcher, Rain, Ayumi Hamasaki sampai idola Kpop Park Ji hoon.
Park Ji Hoon.
Nama yang akhir-akhir ini menjadi topik hangat di kalangan Kpop lover termasuk aku dan ketiga temanku ini. Siapa yang tidak mengenalnya? Seseorang yang mempunyai suara emas, kharismatik, di atas panggung mampu membius ribuan penggemarnya hanya dengan sekali senyum. Postur tubuhnya kecil bagi ukuran laki-laki, hanya 178 cm. Wajahnya tampan terukir dengan sempurna, kulit putih, mata sipit, hidungnya mancung, rahangnya sekokoh karang, terpadu dengan kelembutan senyum yang terpancar dari bibirnya. Tipikal wajah orang Asia Timur. Lebih sempurna dari gambar-gambar komik yang sering aku baca. Edward Cullen aja kalah mempesona dari dia. Sekalinya dia mengeluarkan suara, dunia serasa berhenti berputar. Semua memusatkan diri padanya.
Terlepas dari sifat lain yang dia miliki. Jahil, konyol, meledak-ledak, jauh dari kesan kharismatik. Seperti dua orang berbeda dalam wajah yang sama. Dia sebagai penyanyi dengan suara emasnya dan dia sebagai dirinya sendiri ditunjukkan betapa dia tidaklah sesempurna di atas pentas. Tapi, bukankah itu yang menjadi daya tariknya? Seperti dua sisi mata koin berbeda dalam kesatuan yang tak bisa lepas.
Aku suka melihatnya.
Aku suka menatap mata sipitnya tapi dalam. Tidak tajam ataupun sendu. Seperti danau membuat kita tenggelam.
Aku suka mendengar tawanya. Renyah dan membius dalam sekejap.
Aku suka cara dia berjalan, perlahan namun pasti. Penuh percaya diri. 
Aku suka cara dia bicara. Begitu menggugah hati dan membuat kita enggan membiarkan dia berhenti.
Aku terpesona pada senyumnya. Mengikat dan menyeret kita ke arahnya lebih dekat.
Aku suka melihat jari-jarinya ketika memetik dawai gitarnya. Semua sepertinya bertekuk lutut di hadapannya.
Aku cinta pada suaranya. Tak perlu mata untuk melihat, hanya hati. Semua indah pada dirinya.
Aku suka ketidak sempurnaannya. Karena membuatku yakin dia hanya manusia biasa.
Dan aku suka semua yang ada pada dirinya.
Sebut saja aku sinting. Tapi ini kebenaran dari apa yang aku rasakan tentang dia. Meskipun aku tahu ini hanya kekonyolan yang selalu dilakukan seorang fans seperti aku terhadap idolanya. Salahkah?? Aku kira tidak.
Kita tidak pernah bisa mencegah cinta itu datang pada siapa, dimana dan kapan. Dan ketika cinta itu datang menyergap dan menghujam pada orang yang terpisah ribuan mil yang bahkan tidak pernah kita temui, kita tidak bisa mencegahnya. Tapi, apa benar ini cinta? Atau bukannya hanya kekaguman semata? Terkadang bukankah kita terjebak pada apa yang ditampilkan seorang idola kita, begitu sempurna karena memang itu yang dituntut dari dia. Meskipun pada kehidupan nyata kita tidak bisa menemukan kesempurnaan itu.
Mata.
Mata selalu bisa menjebak kita dari apa yang ditangkap olehnya lalu dikirim ke otak kita untuk diproses dan disampaikan pada hati kita. Kita tertipu oleh mata. Karena mata yang melihat pertama kalinya.
Aku tidak perlu mata untuk tahu aku jatuh cinta padanya. Pun ketika mata ini aku tutup, aku masih bisa mendengar suaranya yang membuat jantungku berdegup lebih kencang. Dan, ya… Sekali lagi aku dengan yakin bisa mengatakan aku jatuh cinta pada sosok ini. Park Ji Hoon.
PING!
Suara blackberry Lusi menyadarkanku dari lamunan. Entah sejak kapan benda itu berpindah dari tanganku dan kembali ke pemiliknya. Aku melihat ke arah Lusi sekali lagi, mendapati dirinya asyik mengetik dalam huruf hangul. Membalas salah satu twitter band idolanya.
Huft…
Mungkinkah Lusi juga merasakan apa yang aku rasakan? Atau itu hanya sekedar kesenangan dia berinteraksi dengan idolanya?
“Woiii…” seru Leta menyentakkanku sekali lagi dari lamunan. Tangannya melambai-lambai di depan wajahku. Ganti aku memandangnya dengan tatapan “what?”
“Dari tadi aku perhatiin, melamun mulu. Lamunin apa sih?” tegur Leta menatapku. Aku hanya menghela napas panjang. Tidak mungkin kan, ku katakan pada dia apa yang sedang aku lamunkan tadi.
“Tuh kan, nglamun lagi…” kali ini Vina yang bersuara. Lagi-lagi hanya bisa tersenyum.
“Ga. Lagi mikirin novelku, nih. Ga kelar-kelar…” jawabku beralasan. Cukup masuk akal. Mereka pasti percaya.
“Novel kamu yang bersetting Spanyol itu? Iya, cepet selesain dong… Aku dah ga sabar pengen baca,” kata Vina semangat. Aku mengangguk. Memang, dia sudah pernah membaca beberapa halaman dari novel yang sudah aku tulis sejak 2 tahun lalu itu.
“Lagi ga punya inspirasi. Malah pengen nulis yang lain lagi”.
Kebiasaan burukku. Sering berhenti di tengah jalan dengan apa yang aku tulis. Ada sekitar 6 judul novel di laptopku dan semuanya berhenti separuh karena keburu aku menemukan ide cerita lain.
“Selesaikan apa yang kamu tulis apapun taruhannya,” celetuk Lusi membuatku menoleh seketika ke arahnya. Dia masih dengan cueknya mengetik di blackberry. Ditujukan padaku kah kata-kata barusan? Bukan aku saja yang tengah memandang Lusi penuh penasaran, Leta dan Vina juga tak kalah tertariknya. Lusi, selalu mampu mengeluarkan kata – kata ajaib.
“Apa?” tanyaku memastikan.
Lusi masih diam, sibuk mengetik. Terus aku pandangi dia. Merasa diawasi, dia menghentikan jari jemarinya. Meletakkan blackberry ke atas meja dan ganti menatapku.
“Aku pernah dengar kata-kata itu waktu ikut workshop. Kita harus menyelesaikan apapun yang kita tulis tak peduli betapa susahnya dan apapun taruhannya, jangan pernah berhenti di tengah jalan. Seperti kau ini,” jelasnya. Kini aku mengerti. Memang selain aku, Lusi juga suka menulis novel. Beda dengan diriku, dia selalu berhasil menyelesaikan novelnya hingga akhir tanpa diganggu dengan ide baru. Bahkan sekarang tinggal menunggu novel pertamanya terbit.
“Kau emang hebat dalam menemukan ide-ide baru. Tapi itu malah bikin apa yang sudah kau kerjakan terbengkalai. Napa ga kau tulis aja garis besar dari ide kamu trus nglanjutin apa yang sedang kau kerjakan? Kalau kau begitu terus, aku yakin ga bakal ada satupun novelmu yang kelar.”
Kata-katanya pedas. Tapi semua benar.
Hmm..satu hal yang belum terpikirkan olehku sebelumnya. Aku terlalu excited ketika ada ide baru menghampiri dan dengan semangat membuatnya menjadi sebuah karya. Lalu berhenti seperti biasa. Menyambar ide lain lagi. Menyadari hal itu, aku hanya nyengir saja.
“Bukankah cita-citamu mengirimkan novel pertamamu ke Ji Hoon oppa? Bagaimana bisa kalau 1 aja ga kelar. Kau pikir dia akan menunggumu sampai tua?” Leta menimpali sambil tertawa. Membuatku tersipu. Sudah bukan rahasia lagi diantara kami kalau aku memang berniat mengirimkan novelku ke dia suatu saat. Benar kata Vina, kapan aku bisa mengirimkan kalau satu aja belum selesai dan terbit.
“Kalau novel pertamamu terbit, aku adalah orang yang pertama kali akan memastikan kau mengirimkannya ke Ji Hoon. Tunjukkan pada dia, seorang penggemar seperti kita juga bisa berkarya.”
Leta menatapku serius. Mengabaikan perkataannya barusan, aku bertanya pada Lusi.
“Jenuh. Karena jenuh itulah kenapa aku selalu berhenti di tengah jalan. Hilang arah tujuan sebenarnya. Bagaimana agar aku bisa fokus?”
“Apa sih yang sebenarnya ada dalam otakmu? Berapa banyak cabang pikiran yang kau punya? Jenuh? Apa yang buatmu jenuh dan kembali fokus? Bagaimana bisa kau tak tau? Sepertinya perjalananmu masih panjang.”
Jawabankah itu? Kenapa aku merasa Lusi membiarkan aku menemukan jawaban itu sendiri.
Bagaimana bisa aku tahu. Selama ini ide selalu saja menyeruak dari otakku. Segampang melempar gelas ke dinding sampai pecah. Mengumpulkan pecahan itu yang tidak mudah. Bayangkan, ada ratusan keping pecahan berserakan dan di setiap kepingan itu aku memberi warna yang berbeda. Kadang mudah, kadang susah. Sendiri – sendiri. Karena bukankah suatu pecahan tak pernah bisa menyatu kembali? Benarkah???
Aku tertegun. Ditampar suatu kenyataan yang tak pernah terpikirkan sekalipun oleh otak sablengku ini. Ratusan keping berlainan warna. Kalau disatukan?? Alangkah indahnya, akan menjadi pelangi. Tinggal kita pandai-pandai menyusunnya. Tak perlu menjadi bentuk semula, malah akan lebih bagus bila bisa membuatnya jauh berbeda dari yang asli. Aku tersenyum.
“Aku akan mengumpulkan ratusan ide itu, memasaknya, merangkainya sampai menjadi puzzle yang sempurna. Tidak perlu setiap ide menjadi satu cerita, kan? Jadikan satu saling bertautan…”
“Dudul…jangan sampai kalau ada ide baru datang kau rangkai juga. Pilih aja yang kira-kira nyambung ma ide utama,” potong Lusi menoyor kepalaku. Aku hanya meringis.
“Lagian, ga tiap hari kau nulis. Coba deh, 5 halaman tiap hari. Jangan pernah menghentikan jarimu untuk menulis apapun. Biarkan saja mengalir seperti air. Baru, nanti kau edit lagi. Kau bikin lebih bagus lagi, kau rubah lagi. Asalkan jangan sekali-kali kau hentikan proses menulismu, jangan pernah membandingkan dengan penulis lain meski dia adalah idolamu. Karena setiap jari manusia itu berbeda. Lama-lama kau akan menemukan tulisanmu sendiri.”
Leta menatap Lusi penuh selidik. Tidak yakin nasehat itu datang dari seorang Lusi. Sama sepertiku, merasa kata-kata itu terlalu bagus untuk dikeluarkan oleh seorang bernama Lusi, si manusia autis. Tertunduk malu, pura-pura sibuk dengan blackberrynya, Lusi menggumam lirih.
“Aku dapat dari workshop tempo hari.”
Ha ha ha ha ha ha…..
Tawa menyembur dari aku, Leta dan Vina. Persis dugaanku. Tapi aku akui semua yang dia katakan benar. Pastinya dia juga menerapkan nasehat itu, terbukti dengan betapa lancarnya dia menyelesaikan novelnya hanya dalam waktu 8 bulan. Ada rasa iri menyelip. Aku tidak boleh kalah. Aku tak mau menyerah. Ada Ji Hoon yang menunggu karyaku. Hehehehe…

*to be continue (but dont ask me when i'll continue this hehe)

Wednesday, June 22, 2011

PRAY FOR YOUR HAPPINESS

Kemarin tanpa sengaja melihat status dari Mario Teguh page di Fb yang kemudian membuatku merenung beberapa hari ini dengan penuh teka teki silang menyilang dalam hati. Ini tulisan dari Mario Teguh itu:
[Anda berpisah dan sangat sakit hati
karena dikhianati oleh orang yang tadinya Anda kira belahan jiwa Anda.
Apa yang akan membuat Anda berbahagia:
A. Dia lama tetap sendiri, karena tidak pernah mendapatkan pengganti Anda.
B. Dia menemukan pengganti Anda, tapi yang mengkhianatinya dengan parah.
C. Dia menemukan pasangan yang baik dan membahagiakannya.]
Setelah membacanya tanpa pikir panjang aku memilih B, tentu saja! Sapa yang ga mau melihat orang yang udah berkhianat mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang dia lakukan ke kita. Aku pasti akan tertawa terbahak - bahak kalo itu terjadi padanya, itu yang dinamakan karma. Ga salah kan??!!Dan, setelah selesai memilih dengan gembira akupun membayangkan seandainya itu benar terjadi padanya. Wow....jadi senyum2 sendiri sepanjang hari. (Betapa jahatnya aku...)
Tapi, beberapa hari berselang kok entah kenapa pikiranku kembali ke pertanyaan yang dilontarkan oleh Mario Teguh itu. Apalagi setelah ngobrol dengan sensei mengenai kebahagiaan dan juga curhat panjang lebar dengan salah satu temanku, muncul keraguan dan saat melihat jawaban yang sudah aku pilih entah kenapa mendadak hatiku sakiiiittt banget. Aku berusaha memposisikan diriku sebagai dirinya... Bagaimana seandainya kalo kebahagiaan yang sedang aku nikmati tiba2 lenyap karena pengkhianatan?? Pasti dunia terasa luluh lantak dan gelap gulita tak karuan. Karena aku pernah merasakannya.
Kemudian, iseng aku menghubungi dia lewat ym dan ngobrollah kita sebagai teman lama, melirik sekilas poto2 di fbnya dengan pasangannya sekarang. Nampak bahagia sekali. Hati ini tertohok kedua kali. Mungkin kalo dia bersamaku sekarang, dia tidak akan sebahagia ini. Dan mungkin, kalo aku masih bersamanya sekarang, tidak ada tiket ke Jepang untuk mengejar impian. Bagaimana mungkin aku tega mencari kebahagiaan sendiri sedangkan untuknya malah mendoakan adanya penderitaan. Sepertinya aku akan berubah lebih jahat dari apa yang pernah dia lakukan. Bagaimanapun juga dia pernah bersamaku, memberikan aku banyak kebahagiaan dan cerita indah. Dan ga ada salahnya kalo dia memilih jalan lain untuk mencari kebahagiaannya sendiri, meskipun bukan denganku. Tuhan menentukan bahwa aku bukan yang terbaik untuknya dan begitu juga sebaliknya. Ada orang yang lebih baik di luar sana menungguku.
Ada quote yang selalu aku ingat "Bukan orang lain yang memberikan kebahagiaan pada kita, melainkan diri kita sendiri." 
Dari situlah kemudian aku mengubah jawabanku menjadi C, dengan mantap dan tersenyum!! Aku akan bahagia melihat dia bahagia, dan entah kenapa rasa patah hati karena dia mendadak lenyap dan meringankan hatiku. Sekarang aku bisa mengucapkan 'selamat berbahagia' dengan tulus. Seperti halnya dia yang mencari dan mendapatkan kebahagiaannya, aku pun begitu. Mencari dan mendapatkan kebahagiaan untuk diriku sendiri, sudah aku mulai dengan melepaskanmu. Suatu saat kita akan bertemu lagi sebagai teman lama.
Inikah yang dinamakan dengan beranjak dewasa???

Sunday, June 19, 2011

Every Little Single Thing

Pernahkah menyadari satu kejadian kecil yang terjadi dalam hidup ini sebagai sesuatu yang indah?? ataukah melaluinya begitu saja tanpa ada kesan apapun?