Jalanan
begitu sepi, kiri kanan hanya kegelapan yang menyelimuti. Penerangan satu –
satunya di jalan yang aku lalui hanyalah lampu di ujung jalan. Sunyi mencekam.
Menurut legenda, di tempat ini dulu ada seorang pemuda meninggal entah bunuh diri
atau dibunuh lalu arwahnya gentayangan. Karena itu, walau jarum jam masih
menunjukkan pukul 9 malam, jalanan ini sudah sepi bahkan nyamukpun tidak ada.
Benar atau tidaknya cerita itu aku tak tahu dan tidak mau tahu. Lagian, buat
apa aku ngurusin hal yang tidak penting seperti itu??
Takut??
Pasti kalian heran kok bisa aku seberani ini keluyuran malam – malam di tempat
yang notabene ‘berhantu’. Tentu saja aku berani!! Kalaupun ada hantu benaran,
pasti dia yang akan gemetar ketakutan sampai ngompol. Oke... aku tidak tahu
apakah hantu bisa ngompol seperti manusia. Karena aku belum menjadi hantu dan
tidak pernah menjadi manusia. Lalu aku ini apa?? Yang pasti, aku bukan hantu,
siluman atau sebangsanya.
Setelah
kurang lebih 5 menit menyusuri jalan ‘berhantu’ tadi, akhirnya aku sampai juga
di ujung jalan. Setelah menoleh ke kanan kiri memastikan tidak salah jalan, aku
mengambil arah kiri dan kembali berjalan. 10 menit lagi aku akan sampai ke
tempat tujuan. Mengingatnya saja sudah membuatku deg – degan. Tidaakk... aku
tidak akan pergi ke dokter atau rumah sakit. Yeaahh.. meskipun saking bencinya
dengan rumah sakit bisa membuat jantungku nyaris berhenti, tapi kali ini aku
deg – degan dengan alasan yang berbeda. Excited!
Itu
dia!! Baru juga kakiku melewati pintu masuk, sosoknya sudah terlihat jelas.
Tingginya tidak kurang dari 180 sentimeter, rambutnya pendek keperakan, matanya
yang hitam tajam terkesan sadis, kontras dengan kulit putihnya. Wajahnya biasa
saja, tidak tampan seperti pria yang berdiri di sebelahnya itu, mungkin kalau
dia tersenyum akan lebih tampan. Entahlah... aku tidak pernah melihatnya
tersenyum lagi. Dia dingin. Misterius.
Apa aku
suka dia?? Tidak. Aku tidak suka melainkan cinta. Aku jatuh cinta padanya sejak
pertama melihatnya di tempat itu beberapa tahun lalu. Aku jatuh cinta pada
matanya, jatuh cinta pada sosok misteriusnya, jatuh cinta pada lagunya, jatuh
cinta pada alunan gitarnya. Dan, cinta itu tersimpan rapat di hatiku. Hanya aku
yang tahu dan tentu saja, Tuhan. Aku tidak cukup bodoh untuk muncul di depannya
dan mengakui perasaanku. Sebelum sempat mengutarakan isi hatiku atau bahkan
mengucapkan salam, dia mungkin akan membunuhku.
Ya,
demikianlah hubungan antara aku dan dia. Jangan berpikir ini kisah Romeo
Juliet, kisah tragis mereka akan terasa lebih menyenangkan karena walaupun
keluarga mereka bermusuhan, mereka bisa saling jatuh cinta meski akhirnya mati.
Keluarga kami... oh... bukan... Dunia. Duniaku dan laki – laki itu berbeda.
Bagaikan air dan minyak, disatukan, diaduk menjadi satupun tidak akan pernah
bisa. Terlihat sama, tapi sangatlah berbeda. Meskipun kami berdua sekarang
berpijak di satu tempat, nyatanya tidak sebagaimana mata melihat.
Dia....
makhluk berasal dari neraka.
Dan
aku... makhluk yang tidak dimiliki neraka maupun surga.
Jepang,
penghujung musim panas.
Langkah
kaki tersaruk – saruk menyusuri setapak menuju sebuah lembah di balik bukit.
Matahari musim panas sore itu terasa hangat dan menyilaukan. Sesekali aku
menudungkan tangan ke mataku menghindari sinar yang menerobos diantara sela –
sela pohon. Di belakangku seorang gadis berjalan berjingkat seanggun mungkin
dengan menggunakan yukata dan getanya.
Rambutnya disanggul rapi dan hiasan bunga sakura tersemat diantara untaian
manik – manik di kepalanya. Berbeda sekali denganku yang hanya menggunakan baju
casual.
“Aki...
sampai kapan kita harus berjalan?” rengek gadis itu menghentikan langkahku. Aku
berbalik dan melihat dia menghentakkan kaki kesal.
“Sebentar
lagi,” sahutku sambil berjalan lagi. Namun, rengekan gadis itu kembali
menghentikanku.
“Kau
sudah bilang ‘sebentar lagi’ 10 kali dan iniiiii....BUKAN SEBENTAR!!!”
“Berisik!!!
Setelah kelokan ini, kita akan sampai!!” teriakku sebal.
“Kau
tahuuuuu... susah sekali berjalan di bukit mengenakan baju seperti ini!!”
gerutunya menunjuk pada geta dan yukata yang membalut tubuh mungilnya. Aku
menyeringai saja.
“Suruh
siapa kau pakai baju itu!! Jangan salahkan orang lain,” sahutku. Dia
memanyunkan bibirnya kesal. Tangannya sibuk memainkan kipas kertas bergambar
bunga sakura. Lalu, dia mengangkat muka dan menatapku. Pasti dia akan merengek
lagi, gumamku.
“Kenapa
sih kita tidak menggunakan cara biasanya untuk sampai ke sana?”
“Ini
musim panas, bodoh!!!” gadis dungu di depanku mengangguk mendengar jawabanku.
Dia tertawa kecil.
“Ah, iya.
Aku lupa,” katanya sembari berjalan melewatiku, seanggun dia bisa. Dari
bibirnya terdengar nyanyian.
Sejenak
aku hanya menatapnya, ingin rasanya menendang pantat gadis itu biar jatuh
terguling sepanjang kelokan sampai ke lembah. Pasti menyenangkan melihat gadis
yang sok anggun itu jumpalitan. Hahaha... tapi, aku tidak mau ambil resiko
dengan pembalasannya yang sangat kejam, tidak selaras dengan paras cantik dan
anggunnya dia. Akupun kembali berjalan, kini lebih memilih berada di belakang
gadis itu.
“Kalian
terlambat!” tegur seorang gadis yang sedang merendam kakinya di danau pada kami
berdua setibanya disana. Sakura, gadis yang beryukata menyerucutkan bibirnya
lagi.
“Maaf.
Aku harus menunggu tuan putri berdandan tadi,” sahutku menyindir Sakura. Tanpa
banyak kata aku mengambil tempat di bawah pohon tak jauh dari Sakura berdiri.
Yuki, gadis berkulit putih nyaris pucat yang sedang asyik bermain air hanya
meringis mendengar ucapanku.
“Sebentar
lagi Natsu akan kembali,” jelasnya setelah melihat mataku menjelajahi sekitar
danau. Aku mengangguk. Lalu senyap.
Suara
kecipak air karena kaki Yuki terdengar diantara desauan angin. Sakura
berjongkok di tepi danau, menjadikan air sebagai cermin dan mulai membenahi
tatanan rambut yang sedari tadi dia keluhkan rusak gara – gara tersibak ranting
pohon. Aku memilih diam dan duduk sambil memainkan daun kering di sekitarku
sampai akhirnya aku melihat sosok yang
kami tunggu muncul dari balik pepohonan, dengan seringai lebar di wajahnya.
“Yo!!
Aki, Yuki, Sakura.... hisashiburi! Genkidane?!” serunya ceria. Yuki dan
Sakura serempak menoleh dan membalas sapaan ala kadarnya. Natsu menghampiriku, menyalami tanganku lalu
duduk di sebelahku.
“Tidak
terasa, ya, sebentar lagi musim panas berakhir dan musim gugurpun datang. Kau
pasti senang kan, Aki,” lanjutnya membuka pembicaraan. Aku menggumam tidak
jelas. Tangan hangat Natsu menepuk kepalaku pelan. Kemudian dia mengambil
sesuatu dari balik lengan bajunya dan menyerahkannya padaku.
Benda
logam berwarna silver berkilauan terkena matahari senja. Terasa hangat saat
mengenai jemariku. Logam yang mulanya berbentuk matahari itu perlahan berubah
bentuk seperti daun momiji, warna silvernya mulai pudar menjadi merah keemasan
begitu menyentuh tanganku. Aku memasukkan benda itu ke lengan bajuku tanpa
banyak kata.
“Kenapa
sih, kita harus bertemu di tempat ini?”
celetuk Sakura. Rupanya gadis itu masih kesal karena harus menempuh
perjalanan jauh untuk sampai ke lembah ini hanya demi sebuah transaksi antara
aku dan Natsu.
“Ya...
karena di sini nyaman dan tersembunyi. Lagipula kita kan jarang berkumpul kalau
tidak sedang peralihan musim. Oh ya, Sakura, apa kau tidak bosan selalu
mengenakan yukata seperti itu?” sahut Natsu masih dengan nada ceria seperti
biasa. Sakura memberengut kesal mendengar ucapan Natsu membuat Yuki terkikik.
“Karenaaaa....
aku lambang kecantikan dan keanggunan!! Beda denganmu!!” serunya kesal seraya
menegakkan badannya, angkuh. Aku membuat gerakan seakan sedang muntah, Yuki
langsung menutup kupingnya sedangkan Natsu terkekeh geli.
Percakapan
biasa. Pertemuan biasa. Semua sangat biasa diantara kami. Setiap tiga bulan
sekali, kami berempat akan berkumpul di sini. Sebuah lembah di balik perbukitan
yang berada di Hokkaido. Saat penghujung musim semi dimana danau ini akan
dihiasi putik bunga sakura, penghujung musim panas seperti sekarang dimana
pohon menghijau dan sinar hangat matahari, penghujung musim gugur saat semua
terlihat merah keemasan dan penghujung musim dingin saat semua permukaan danau
berubah menjadi es dan berwarna putih.
Kalian
pasti tahu kan, Jepang mempunyai empat musim. Semi, panas, gugur dan dingin.
Sakura, Natsu, Aki dan Yuki. Itulah kami.
Sakura,
gadis yang selalu mengenakan yukata berwarna merah muda lengkap dengan hiasan
kepala sakura itu merupakan pemilik musim semi. Anggun, centil, cantik, dan
sedikit angkuh. Dia sosok paling cantik dan feminin diantara kami berempat.
Rambut hitam legamnya, mata berbentuk almond berwarna senada, kulit putih susu
dan wajah cantik proposional. Siapapun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.
Ya, dia Haru. Pemilik musim semi dan
pohon sakura.
Natsu,
atau musim panas. Gadis tomboy yang selalu ceria dan hangat. Tidak pernah
senyuman hilang dari wajah tirus kecoklatan miliknya itu. Matanya selalu
berbinar seperti bintang, rambut cepaknya agak kemerahan karena sinar matahari,
tubuhnya sedikit berotot karena dia suka sekali lari kesana kemari melakukan
hal yang tidak jelas. Siapapun yang berada di dekatnya akan merasa kehangatan
dan keceriaannya, sedemikian rupa sampai kesedihanpun hilang. Natsu, pemilik
matahari, bintang dan musim panas.
Sedangkan
Yuki, gadis berambut panjang, tinggi semampai, wajah pucat dengan ekspresi
dingin. Salju, badai, dingin, semua ada padanya. Gadis pendiam yang cenderung
pemarah itu paling tidak suka datang ke pertemuan kami melebihi Sakura meskipun
tidak ada sepatah kata keluar dari mulutnya. Hanya melihat bagaimana air
disekitar kakinya mendadak berubah menjadi es di penghujung musim panas disaat
matahari terik itulah buktinya. Dari kami berempat, dia yang selalu misterius,
menyendiri, tak tersentuh dan dingin. Pernah suatu ketika aku melihat dia
berdiri di tengah badai salju yang dia sendiri buat hanya karena kesal melihat
seorang pemburu melukai seekor rusa. Mata coklatnya berubah menjadi biru,
menakutkan. Selebihnya, dia gadis baik, kuat dan bijaksana. Ya, dia pemilik musim dingin.
Sedangkan
aku? Aki. Pemilik musim gugur, tinggal diantara pepohonan momiji. Tidak begitu
bisa bergaul, tidak secantik Sakura, tidak sehangat Natsu dan tidak sebijaksana ataupun sekuat Yuki. Nyaris dingin
tanpa kehangatan, selalu murung, hidup di dunianya sendiri, begitu kata Natsu.
Suka melakukan hal bodoh yang sentimentil, komentar Sakura. Selalu galau, lemah
seakan tidak punya harapan hidup dan terkurung pada ketidak percayaan diri,
gerutu Yuki setiap aku menyerahkan medali padanya di penghujung musim gugur.
Rambut merahku nampak kontras dengan mata coklatku, postur tubuhku sendiri
tidak begitu tinggi dan sedikit kurus.
Ya, kami
berempat adalah pemilik musim. Bukan... kami bukan iblis, setan, siluman,
hantu, dewa dewi, roh ataupun malaikat. Bukan. Kami tidak terdefinisi salah
satu diantara mereka semua. Iblis, setan, siluman, hantu adalah penghuni
neraka. Dewa dewi, malaikat berasal dari surga. Sedangkan kami? Tidak berasal dari
surga maupun neraka, melainkan diantara keduanya.
Kekuatan
yang kami punya akan muncul bersamaan dengan musim yang kami miliki tiba.
Selebihnya, kami akan menjadi biasa selayaknya manusia, tanpa kekuatan. Kadang,
kami akan membaur dengan manusia atau memilih tinggal di rumah kami. Seperti
Yuki, yang memilih tinggal di gunung Fuji melebur menjadi satu dengan salju.
Aku, kadang akan bersemayam di pohon momiji, kadang akan turun ke pemukiman
manusia. Tidak ada manusia yang bisa membedakan kami, karena kami berpenampilan
seperti manusia.
Tentu
saja makhluk selain manusia, hantu, misalnya bisa melihat kami. Para hantu, roh
dan iblis pada umumnya memilih tidak berurusan dengan kami. Dan satu lagi, shinigami. Mereka merupakan manusia yang
bisa melihat dan mencium keberadaan makhluk selain manusia. Kami harus waspada
dan sebisa mungkin menghindari mereka atau mereka akan membunuh kami.
Apakah
pemilik musim hanya kami?? Tentu saja tidak. Bagaimana bisa kami mengurusi
banyak hal di setiap musimnya kalau hanya sendiri. Kami hanyalah simbol dari
semua pengurus musim. Istilah kerennya ‘Princess’.
Hanya
satu peraturan: tidak boleh jatuh cinta pada siapapun! Terutama pada Shinigami.
“Aki,
apa kau masih suka pergi ke tempat itu?” suara Yuki membangunkanku dari lamunan.
Ketika mengangkat kepala aku mendapati dia sedang menatapku tajam, demikian
juga Sakura dan Natsu.
“Tidak,”
sahutku berbohong yang belakangan aku sesali karena malah membuat Yuki curiga.
“Kau
benar – benar menyukainya??? Kau kan tahu, kita tidak boleh jatuh cinta pada
manusia. Apa kau ingin mati?!!” teriak Yuki kesal. Seketika terdengar suara
keretak dari batu di sebelahnya yang berubah menjadi es. Aku bergidik ngeri,
demikian pula Sakura.
“Diaa...
bukan manusia...” sahutku lirih tidak berani menatap Yuki.
“Lalu
apa? Hantu?? Itu lebih buruk lagi!!” serunya melotot. Sebentar lagi dia pasti
jantungan.
“Dia....
vampire...” kata terakhir nyaris tidak aku ucapkan. Lebih tepatnya vampire yang menjadi shinigami,
batinku. Tentu saja kenyataan ini tidak aku utarakan atau aku akan diseret
menghadap Ketua oleh Yuki.
“APA?!!!!!
Itu paling buruk dari yang terburuk!!! Mereka kaum tak diinginkan di neraka
sekalipun!!! Terkutuk!! Apa kau sudah gila?!!! Apa kau ingin seperti Oneesan?? Oh... oke... oneesan jatuh cinta pada iblis. Ah!! Itu
sama saja!!” omel Sakura mendahului Yuki yang siap menyemprotkan amarah. Sakura
mengipasi wajahnya yang merah padam. Aku makin tertunduk.
“Aki,
lebih baik kau jangan menemui dia lagi. Atau aku terpaksa mengatakan pada Ketua
mengenai hal ini. Kau tahu kan, akibatnya?? Kita tidak akan lagi bisa bertemu,”
kali ini Yuki kembali menemukan kesempatan untuk bersuara.
“Baiklah,
aku tidak akan menemuinya lagi,” sahutku menatap Yuki. Aku menyilangkan jemari
yang sedari tadi berada di dalam saku jaketku.
“Kau
janji?!!” tanya Yuki memastikan. Aku mengangguk.
“Iya,
aku janji. Aku tidak ingin berpisah dengan kalian meskipun kadang Sakura
membuatku jengkel,” sahutku meringis disambut derai tawa Natsu.
“Kau...”
Sakura menghentikan aktifitas mengipasi wajahnya dan melirikku kesal. Aku
membuat sign ‘peace’ dengan kedua jariku. Natsu mengalungkan lengannya ke
leherku sambil meleletkan lidah pada Sakura. Dia memang paling senang menggoda
Sakura.
Perkataan
Sakura barusan mengingatkanku tentang legenda pemilik pohon sakura sebelum
Sakura. Gadis itu lebih cantik dari Sakura, lebih lemah lembut dan anggun,
tidak seperti Sakura yang berusaha menganggunkan dirinya. Gadis itu jatuh cinta
pada iblis dan entah bagaimana caranya, gadis itu hancur menjadi buliran putik sakura.
Ada yang bilang dia dimusnahkan Ketua, ada yang bilang dia dibunuh shinigami
yang bekerja sama dengan iblis itu, entahlah mana yang benar.
Sepertinya
sangat keren kalau menghilang menjadi buliran sakura. Nah, kalau aku?? Karena
identik dengan momiji, apakah kalau aku dimusnahkan akan menjadi serpihan daun
momiji?? Apa akan nampak keren?? Aku bergidik ngeri. Kakekku, yang kebetulan
Ketua musim gugur mungkin tidak akan memusnahkanku, hanya akan mencabut
kepemilikanku dan menjadikan aku spirit pohon momiji. Aku akan selamanya
terkurung dalam sebuah pohon momiji, memperlakukan pohon itu sesuai suasana
hatiku. Aku pernah menegur sebatang pohon momiji yang seharusnya mengubah warna
daunnya menjadi merah, seenaknya mengubahnya kuning karena sedang kesal. Sangat
tidak lucu.
“Jung!!”
seru seseorang yang sedang berlari ke arah pemuda yang sedari tadi mematung
dibawah deretan pohon. Pemuda yang
dipanggil ‘Jung’ itu menoleh lalu mengulas sebuah senyuman.
“Hyung..”
“Jung,
apa yang kau lakukan di sini?” tanya pria
yang dia panggil Hyung itu pada Jung.
“Menikmati..
senja??” sahut Jung meringis.
“APA?!!
Menikmati senja??? Sejak kapan kau melankolis?” pria itu tertawa terbahak. Jung
hanya menyeringai, tentu saja tanpa menunjukkan kedua taringnya. Dia tidak
ingin melihat Jay, sahabatnya itu kencing di celana sambil lari terbirit –
birit setelah tahu kalau dia seorang vampire, meskipun adegan itu sangat
menyenangkan untuk dilihat.
“Sebentar
lagi musim gugur,” kata Jung sambil mengalihkan pandangannya ke arah deretan pohon
di depannya. Jay mengikuti arah pandangnya.
“Lalu?”
“Daun –
daun hijau ini akan berubah menjadi merah kuning keemasan,” sahut Jung dengan
nada melamun. Jay mendengus geli. Dia bukannya tidak tahu kalau orang
disebelahnya ini aneh. Dibalik wajahnya yang penuh senyuman itu dia punya dunia
sendiri yang kadang Jay tidak bisa mengerti.
“Kenapa
kau suka sekali musim gugur?” tanya Jay. Jung menatap Jay dengan tatapan ‘apa
kau bercanda, Hyung?’
“Memangnya
kau tidak suka, Hyung?” Jay menggeleng.
“Musim
gugur itu paling indah, Hyung. Warna merah dan keemasan menutupi seluruh bukit.
Hangat,” sahut Jung sambil menyentuh permukaan sebatang pohon.
“Bagiku
terlihat suram. Aku lebih suka musim dingin yang berselimut salju. Cantik!”
kata Jay berjalan ke sebuah bangku dan duduk di sana.
“Aku
benci dingin.” Jay mendengus geli. Apa Jung tidak sadar kalau kadang dia
sendiri terkesan dingin?
“Musim
semi?”
“Terlalu
pinky. Tidak cocok dengan kepribadianku,” sahut Jung mengacu pada deretan pohon
sakura di musim semi. Dia menggelengkan kepala.
“Musim
panas?”
“Terlalu
panas. Aku benci di bawah matahari, membuatku berkeringat seakan meleleh,” kata
Jung. Tentu saja. Dia kan vampire yang bermusuhan dengan matahari.
“Baiklah
kau cocok dengan musim semi yang suram, sedih dan sentimentil,” kata Jay
meledek Jung.
“Tidak
juga. Musim gugur tidak sedepresi itu, Hyung. Penuh pengharapan, kedamaian,
kesederhanaan,” sanggah Jung menoleh pada Jay. Jung melipat kedua tangannya di
depan dada dan bersandar di sebuah pohon. Seleret sinar matahari senja menimpa
tubuh jangkungnya.
“Kau
memang beda dari orang lain, ya, Jung,” Jay tertawa.
“Tentu
saja. Aku kan JungMo. Kim Jungmo,” sahut Jung menepuk pundaknya membanggakan
diri.
“Ah,
sudahlah. Aku ikutan gila meladenimu,” kata Jay seraya berdiri dari tempat dia
duduk. Jung berjalan ke arahnya setelah menaruh tas berisi gitar kesayangannya
di pundak.
“Ayo
kita pergi, Hyung. Aku akan kembali lagi kalau semua daun berubah merah,” ajak
Jung seraya mengalungkan tangan ke pundak Jay. Mereka berjalan beriringan.
“Untuk
apa?” tanya Jay penasaran.
“Tentu
saja untuk pacaran dengan pohon – pohon ini sambil menyanyikan lagu romantis,”
sahut Jung sambil melambaikan tangan ke deretan pohon sepanjang taman.
“Kau
memang sudah gila,” gerutu Jay tertawa.
Jung menepuk pelan pundak Jay lalu berbisik pelan.
“Ah..
aku hanya mengikuti jejakmu, Hyung.”
“Kau
ini,” gerutu Jay mendorong Jung menjauh dari dirinya. Jung hanya tertawa geli
melihat tingkah Jay.
“Hahahahahaha...”
Huft...
Setelah
kedua pria itu hilang dari pandanganku, akupun keluar dari persembunyian dan
menghirup udara sepuasnya. Sedari Jung datang ke taman ini, bertepatan dengan
aku berada di sana dan langsung saja aku bersembunyi menyatu dengan sebatang
pohon. Kalau aku menampakkan diri, Jung pasti bisa mencium dan langsung
memusnahkanku. Rasanya lega setelah keluar dari dalam pohon, berada di sana
sangat sesak dan menyebalkan.
Aku
menyandarkan tubuh di pohon dimana barusan Jung juga menyandarkan tubuhnya.
Berusaha merasakan hangat tubuhnya yang tertinggal di sana. Iya... dia, Jung.
Seorang vampire. Seorang shinigami. Pria yang diam – diam aku sukai. Musuh
abadi dari kaumku. Mendengar ucapannya barusan yang mengatakan bahwa dia
menyukai musim gugur melebihi musim semi membuatku serasa dia sedang
mengungkapkan cintanya padaku. Hahahaha... sungguh gila.
Tunggu
saja sampai Natsu, Sakura dan Yuki tahu kalau Jung tidak suka pada mereka.
Eh...tunggu, aku tidak mungkin menceritakan hal ini pada mereka. Ku hela napas
panjang teringat ucapan Yuki tempo hari. Aku tidak boleh menyukai manusia,
terlebih lagi Jung. Dia vampire dan lebih buruk lagi dia juga shinigami.
Perpaduan yang unik, bukan? Seunik kepribadiannya.
Pertama
kali aku melihatnya adalah di musim gugur beberapa tahun lalu. Waktu itu dia
sedang memburu iblis. Mata yang biasanya teduh terlihat tajam menyeramkan
ditambah kedua taring dan sebilang pedang di tangannya. Aku saja yang sedang
bersembunyi waktu itu ikutan gemetar ketakutan. Lalu, tiba – tiba sosoknya
berubah menjadi pria tampan. Kekejaman yang awalnya terlihat hilang tergantikan
sosok yang lembut dan penuh kasih. Karena penasaran aku memberanikan diri
mengintip.
Dia
berdiri di depan gadis kecil. Bukan, gadis kecil itu bukan manusia, melainkan
hantu. Tapi, kenapa Jung tidak memusnahkannya malah terlihat ramah pada hantu
itu. Yang lebih membuatku terkejut, Jung berjongkok dan memegang kedua pundak
hantu kecil itu yang menatapnya dengan mata penuh ketakutan.
“Kau
bukan hantu jahat, aku tidak akan memusnahkanmu. Jadilah hantu yang baik dan
aku akan memberimu hadiah permen, bagaimana??” hantu kecil itu mengangguk pelan
dan Jung mengelus puncak kepala hantu itu. Dia merogoh saku mantelnya dan
mengeluarkan sebatang permen lalu menyerahkan pada hantu kecil itu.
“Pergilah...”
Jung
melihat kepergian hantu kecil itu. Sejenak aku kira dia menyadari kehadiranku
saat tiba – tiba dia menoleh ke arahku, rupanya ada sosok lain muncul sambil
tertawa pada Jung. Orang itu menertawakan perbuatan Jung dan Jung hanya
menjawab bahwa tidak semua hantu itu jahat dan pantas dimusnahkan. Mungkin saja
mereka masih berkeliaran di dunia karena ada urusan yang belum diselesaikan.
Dan orang semacam pria –awalnya aku kira dia wanita- bernama Minwoo itu yang
harusnya membantu hantu – hantu itu. Kalau semua beres hantu – hantu itu pasti
suka rela pergi ke tempat dia seharusnya berada.
Pria
yang keanggunan dan kecantikannya bahkan melebihi Sakura itu hanya tertawa.
Mereka berdua shinigami. Bedanya, Minwoo manusia bukan vampire seperti Jung.
Aku tidak mengerti kenapa seorang vampire bisa menjadi shinigami. Entah apa dia
dulunya manusia terus menjadi vampire atau dari awal memang seorang vampire.
Kalau ada waktu buatku bertanya pada Jung, pastinya saat aku akan mati. Sejak
hari itu, Jung sering ke taman ini kalau semua daun berubah warna, duduk di bangku
itu lalu menyanyikan sebuah lagu.
“Keluarlah,
aku tidak akan melukaimu,” kata Jung sambil mengotak atik gitar di tangannya.
Ragu, aku keluar dari tempat persembunyianku.
Beberapa
menit sebelum Jung datang, aku sedang berjalan – jalan diantara pohon momiji,
melakukan tugasku. Tiba – tiba Jung muncul membuatku kelabakan. Ingin
bersembunyi dalam pohon yang ada di depanku tapi ada spirit yang mendiami dan
dia sedang ngambek padaku.
“Kau
bukan hantu, juga bukan iblis. Kau siapa?” selidiknya menatapku seksama. Aku
diam tidak menjawabnya. Berusaha sekuat tenaga menahan gemetar. Mungkin dia
bisa berlaku baik pada hantu kecil itu tapi tidak padaku, kan.
“Jadi, kau ini semacam penguasa musim gugur?”
tanyanya lagi.
“Ya,”
sahutku lirih.
“Kau
yang membuat daun – daun ini berubah warna?” Jung menengadahkan kepala melihat
daun – daun merah kekuningan di atasnya.
“Begitulah..”
“Kau
selalu di sini?” kali ini dia melirikku.
“Ya,”
“Tempo
hari juga bau yang aku cium itu kau?”
“Ya,”
“Beberapa
tahun lalu aku mengira melihat seorang gadis di sini. Jangan – jangan itu
kau...” aku bingung dengan pertanyaan Jung kali ini. Beberapa tahun lalu? Kapan
tepatnya? Aku menatapnya bingung.
“Eh?”
“Malam
dimana aku mengejar iblis dan bertemu hantu kecil disana,” jelas Jung menunjuk
sebuah tempat. Aku mengangguk paham.
“Ya..”
“Apa
bisa kau mengatakan selain kata ‘ya’, ‘begitulah’?” tanya Jung menatapku tajam.
Jantungku hampir meledak antara ketakutan dan grogi.
“Hmm...
baiklah...”
“Ah,
terserah kau saja!!” sahut Jung tak sabar seraya menutup kembali tas gitarnya.
“Ya..”
“Jadi,
seharusnya aku membunuhmu, kan?” kata Jung sambil berdiri. Mataku melotot
ketakutan. Tanpa sadar aku mundur selangkah meski Jung tetap diam di tempatnya.
“Se..seharusnya...
begitu...”
“Apa kau
tidak takut?” tanya Jung menyeringai jahil, melipat kedua tangannya di depan
dada. Aku sadar, dia hanya menggodaku.
“Tentu
saja aku takut!!! Apa kau tidak lihat aku gemetaran??!!!” teriakku kesal.
Ternyata dari awal Jung mempermainkanku dengan nada suara dinginnya itu.
“Wah, rupanya
kau bisa bicara juga,” kata Jung pura – pura takjub.
“Tentu
saja aku bisa!! Aku kan perlu komunikasi dengan manusia,” sahutku sewot. Hampir
saja aku menendang batang pohon di sampingku kalau tidak ingat aku bakal
dijewer kakek kalau melakukannya.
“Aku
kira kau tidak bisa bahasa manusia,” ledek Jung nyengir. Tatapan matanya belum
beralih dariku.
“Itu
karena aku ketakutan!!” pekikku kesal. Jung tertawa lebar. Baru kali ini aku
melihatnya tertawa. Dan, wajahku memanas.
“Apa
sekarang kau tidak takut lagi?” tanya Jung.
“Tentu
saja masih!!” teriakku kencang. Karena kesal aku tidak sadar meninggikan volume
suaraku.
“Kau
galak juga!!” Jung menyipitkan matanya.
“Cih!”
“Kau
tahu aku sebenarnya?”
“Tahu,
kau shinigami. Juga vampire,” sahutku blak – blakan.
“Kau
menguntitku?” tuduh Jung membuatku kesal.
“A..apa?!!!
Tentu saja tidak!!!” elakku. Aku tidak menguntitnya hanya mengawasi, batinku.
“Lalu,
darimana kau tahu?” selidik Jung lagi.
“Itu
karena kau sering berkeliaran di tempat ini dan temanmu yang bernama Minwoo itu
berkata demikian,” jelasku. Jung mengangguk. Sunyi sejenak diantara kami. Aku
menebak – nebak apakah selanjutnya Jung akan mengeluarkan pedangnya atau
membiarkan pergi setelah memberiku permen???
“Apa pemarah merupakan sifat musim gugur atau
itu hanya kau saja? Aku kira musim gugur lekat dengan suasana kelam, sedih,
keputus asaan, suram!” suara ledekan Jung membangunkan lamunanku. Ternyata...
dia menyebalkan!! Tidak seperti yang aku lihat selama ini.
“Kami
tidak demikian!! Bukankah kau sendiri bilang musim gugur itu sederhana, penuh
pengharapan, damai?” sanggahku membuatnya tertawa. Sialan, aku keceplosan. Dia
pasti akan menertawakanku lagi.
“Selain
suka mengintip kau suka menguping juga?” Jung terkekeh penuh kemenangan. Dia
tersenyum lebar saat melihat mukaku merona merah.
“APA?!!
Enak saja!! Salah sendiri mengira kami, para pohon momiji tidak bisa mendengar
atau melihat!!” elakku membela diri.
“Hahahaha....
kau jangan marah – marah, aku hanya bercanda,” kata Jung tersenyum.
“....”
“Aku
Jungmo, kau bisa memanggilku Jung. Kau?”
“Aku...
Aki, Aki no Himesama. Princess of
autumn,” sahutku lirih.
“Aku
tidak akan membunuhmu dengan bersalaman, kan?” kata Jung seraya mengulurkan
tangannya ke arahku. Ragu, dengan jantung berdebar kencang aku menerima uluran
tangannya. Tangan besarnya terasa hangat.
“Sepertinya
tidak,”
Author POV
“Jadiii...
siapa gadis itu?” tanya Jay merangkul pundak Jungmo setelah mereka selesai
manggung. Jung melirik Jay sekilas lalu menyibukkan diri dengan gitarnya. Jay
menarik lengan Jungmo dan membuatnya duduk kembali saat Jungmo beranjak
berdiri.
“Apa?”
tanya Jung.
“Kau
harus menjawab kalau hyungmu bertanya,” paksa Jay.
“Pertanyaanmu
itu tidak layak untuk dijawab, makanya aku diam,” sahut Jung mendapat jitakan
dari Jay.
“Dimana
kau bertemu gadis itu? Apa dia gadis yang selama ini kau temui di taman dengan
dalih bernyanyi untuk pohon?” tanya Jay lagi tanpa mempedulikan ledekan Jung
barusan.
“Untuk
apa kau mau tahu, Hyung? Lebih baik kau cari pacar sana!” kata Jung sambil
beranjak pergi meninggalkan Jay yang cemberut kesal.
“YA!!
Kau ini....”
Tanpa
mempedulikan omelan Jay, Jung melangkah keluar dari ruang tunggu. Di depan
pintu tubuh jangkung Minwoo menghadangnya dengan seringaian lebar di wajahnya.
Jung paling sebal dengan cowok satu ini. Suka sekali mencampuri urusan orang
lain.
“Kau
tidak seharusnya berteman atau malah berpacaran dengan gadis itu,” tegur Minwoo
tajam. Jung memberi tatapan Minwoo setajam dia bisa.
“Itu
bukan urusanmu,” desis Jung kesal.
“Dia
memang tidak ada dalam daftar buruanku. Dia bukan siluman, iblis atau hantu.
Tapi, dia juga bukan manusia yang harus kita lindungi,” lanjut Minwoo tanpa
menghiraukan ucapan Jung.
“Aki
tidak jahat,” bela Jung. Gadis itu mungkin bukan manusia, tapi Jung tahu gadis
itu tidak jahat.
“Kau
hanya belum tahu, Jung. Mungkin tugasmu tidak untuk membunuh dia, tapi takdirmu
yang mengharuskanmu,” kata Minwoo menepuk pundak Jung. Minwoo tahu identitas
Jung yang sebenarnya.
“Aku
tidak mengerti maksudmu,” Jung menatap Minwoo bingung.
“Kau paham
dengan jelas. Kalau gadis itu terluka, dia akan marah dan membawa bencana. Dia
hanya belum menyadari seberapa menakutkannya kekuatan yang dia miliki. Kau
harus membunuhnya sebelum dia membunuhmu. Ini bukan kisah Romeo Juliet, Jung,”
lanjut Minwoo memberikan sedikit sindiran. Dia tidak membenci Aki maupun Jung,
malah ini semua demi kebaikan mereka berdua.
“Dia
tidak seperti yang kau kira, Minwoo,” masih keukeuh Jung membela Aki. Minwoo
meghela napas panjang, sepertinya dia harus membongkar semuanya pada Jung.
“Menurutmu
bagaimana perasaannya kalau dia tahu kalau yang memusnahkan ibunya beberapa
ratus tahun lalu itu adalah.... kau?”
“Apa
maksudmu?” Jung terperangah kaget? Ibu Aki????
“Kau
lupa? Hal yang membuatmu berjanji untuk tidak memusnahkan hantu dan siluman
sembarangan?? Karena kau tidak ingin membunuh makhluk tak berdosa untuk kedua
kalinya, kan?” seketika Jung memahami maksud dari ucapan Minwoo dan itu
membuatnya nyaris jantungan, seandainya jantungnya masih berdetak.
“Wanita
itu....”
“Ya, dia
ibu Aki,”
“.......”
“Jauhi
dia kalau kau tidak ingin membunuhnya sebelum terlambat,” bisik Minwoo tepat di
telinga Jung. Setelah memberi tepukan pelan di punggung Jung, pemuda cantik
bertubuh jangkung itupun pergi meninggalkan Jung yang terpaku diselimuti rasa terkejut
dan bersalah. Jung berbalik ingin memanggil Minwoo namun sosok pemuda itu sudah
hilang entah kemana.
Langkah
Jung yang semula ringan kini terasa berat. Membayangkan wajah Aki yang
tersenyum lebar saat menyambutnya di taman. Mata sipitnya senantiasa menatap
Jung saat dia memainkan gitarnya. Jung tidak tahu apa ini cinta?? Apa dia telah
jatuh cinta pada gadis yang notabene berada di dunia yang berbeda dengannya??
Entahlah... Jung hanya tahu dia merasa nyaman berada di dekat Aki, naluri ingin
melindungi muncul begitu saja. Dia tidak ingin Aki sedih atau terluka. Dan
kenyataan bahwa dia sendiri yang melukai Aki tidak pernah terlintas di benak
Jung.
“Saat
tidak musim gugur, apa yang kau lakukan?” tanya Jungmo pada gadis di sebelahnya
suatu sore saat mereka berdua duduk di taman.
“Kekuatanku
akan hilang. Saat itu aku akan tertidur dalam pohon, membaur dengan manusia,
atau bersembunyi di pegunungan sampai musim gugur berikutnya,” sahut Aki sambil
tersenyum. Jungmo suka sekali melihat senyuman gadis itu. Seperti ada ribuan
volt aliran listrik menyentak jantungnya dan membuatnya kembali berdetak.
“Berapa
usiamu sebenarnya?”
“Entahlah...
ratusan?” kata Aki tertawa menunjukkan deretan gigi putihnya.
“Sepertinya
kita seumuran,” sahut Jungmo tersenyum simpul disambut anggukan kepala Aki.
“Sepertinya
begitu,”
“Kau
sendiri sejak kapan menjadi vampire dan shinigami?” Aki balik bertanya.
“Sejauh
yang aku ingat, sejak aku lahir. Saat aku beranjak dewasa dan tanpa sengaja
memusnahkan satu siluman, saat itulah aku tahu aku shinigami,” sahut Jungmo
menceritakan masa lalu dirinya.
“Sudah
berapa banyak... hmm... kau tahu kan?” tanya Aki, alih – alih menyelesaikan
pertanyaannya gadis itu melempar lirikan ke arah pedang yang tersembunyi di
balik case gitar Jungmo.
“Entahlah....
aku tidak bisa menghitungnya,” sahut Jungmo paham maksud gadis itu.
“Apa
yang kau rasakan saat memusnahkan mereka?” lagi – lagi Aki melontarkan suatu
pertanyaan yang membuat Jungmo kaget dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.
Dia tak mengerti kenapa mendadak gadis itu banyak bertanya.
“Ada
rasa kasihan, tapi dunia ini bukan tempat mereka dan itu lebih baik bagi mereka
daripada berkeliaran dan mengganggu manusia,” sahut Jungmo memilih kata dengan
hati – hati. Gadis itu tidak perlu tahu bahwa kenyataannya saat Jungmo
melakukan tugasnya, dia tidak merasakan apapun.
“Hmm...
tempat kita juga bukan disini, Jung. Kenapa kau tidak memusnahkanku?? Apa kau
tidak tahu mengenai legenda kaum kami?” kata Aki menatap Jungmo lekat.
“Aku
tahu. Hanya saja aku tidak mempercayainya, itu hanya legenda,” sahut Jungmo
menoleh ke arah deretan pohon momiji berusaha menghindari tatapan Aki.
“Bukan
berarti itu tidak benar, Jung,” kata Aki lirih membuat Jungmo tersentak kaget.
Dia menatap gadis itu yang kini tertunduk menatap daun – daun di ujung kakinya.
Jungmo menyentuh dagu gadis itu, mengangkat wajahnya agar memandangnya.
Terlihat manik kelam di mata gadis itu.
“Apa
yang sebenarnya ingin kau katakan, Aki?”
“Jung,
sebaiknya kita tidak usah ketemu lagi,” ucapan Aki membuat Jungmo bangkit dari
duduknya.
“Tapi,
kenapa?”
“Karena
kita ditakdirkan untuk saling bermusuhan,” sahut Aki beralasan. Jungmo
memejamkan mata berusaha mengatur emosinya sebelum memberi jawaban atas ucapan
Aki.
“Aki, semua terjadi karena sejarah. Kita
bisa merubahnya, yang hidup di masa sekarang adalah kita, bukan nenek moyang
kita yang membuat aturan ini,”
“Jung.... meskipun kaumku tidak pernah
mengakuinya, kami.... tetap siluman. Dan kau... shinigami,” mendengarnya,
Jungmo mulai mengerti kemana arah pembicaraan Aki yang mendadak serius. Selama
dia mengenal Aki, dia tidak pernah melihat gadis itu sekelam ini.
“Aki.. aku benar – benar tidak tahu arah
pembicaraanmu. Oke.. kau siluman dan aku vampire... lalu??? Bukankah kita sama
– sama makhluk terkutuk??? Dimana letak
kesalahannya??”
“Aku tidak boleh jatuh cinta pada manusia,
shinigami dan kau, Jung!” teriak Aki sedikit emosi.
“Tidak boleh jatuh cinta pada manusia
dan Shinigami, aku bisa memahami itu. Yang tidak aku mengerti kenapa kau tidak
boleh menyukaiku?? Apa karena aku vampire?
Atau shinigami? Aku bisa meluruhkan kekuatanku dan seutuhnya hanya
vampire. Aki, kau tahu alasan sebenarnya aku menyukai musim gugur, kan? Itu
semua karena dirimu,” jelas Jungmo. Ada rasa senang terselip di hati Aki saat
mendengarnya, paling tidak diakhir pertemuan mereka dia tahu bagaimana perasaan
Jungmo pada dirinya.
“Bukan karena kau seorang vampire atau
shinigami, Jung,” kata Aki setelah menguasai diri untuk tidak memeluk Jungmo.
“Lalu?”
“Karena kau adalah kau, Jung!”
“Maksudmu?” dahi Jungmo mengerenyit
tidak mengerti.
“Aku tidak mungkin jatuh cinta pada
orang yang telah membunuh ibuku, Jung!!!” kata Aki membuang muka. Jungmo
membelalakkan mata, bagaimana bisa gadis itu tahu mengenai hal ini. Minwoo kah?
“I...kau tahu darimana, Aki?”
“Kau memandang remeh kami, Jung? Sudah
aku bilang, kami, para pohon momiji bisa mendengar dan melihat. Kami tidak
bicara, bukan berarti tidak tahu,” jelas Aki berusaha menahan air matanya.
Sekilas dia melihat perubahan raut muka Jungmo dan itu membuat hampir saja
pertahanan Aki runtuh. Oh..tidak... dia harus mengakhiri semuanya hari ini atau
akan ada bencana besar terjadi.
“Aki, aku bisa menjelaskan semua itu,”
kata Jungmo menyentuh kedua pundak Aki dan membalikkan badan gadis itu
menghadap dirinya.
“Tidak perlu. Aku tahu kau hanya
menjalankan tugasmu. Demikian pula aku sebagai putri penjaga musim gugur, aku
tidak bisa berhubungan dengan musuh kaumku. Kau paham, Jung?” Aki menatap mata
Jungmo. Dia harus kuat!!
“Terserah apa katamu. Suatu saat aku akan
membuat perbedaan antara kita menghilang. Tidak ada siluman, shinigami,
vampire. Hanya kau dan aku. Aki dan Jungmo,” Jungmo berkata sambil melepaskan
pegangannya pada pundak Aki, berbalik mengangkat case gitar ke punggungnya dan
berlalu pergi tanpa menoleh melihat ke arah Aki.
“Jungmo....”
Aki terduduk di tanah yang lembab,
seakan tahu perasaannya, pohon yang berada di sekitarnya perlahan merontokkan
daun – daun warna merah keemasan ke tanah. Putri yang selama ini mereka kenal
ceria meski selalu menampakkan muka ‘sok kelam’nya berubah benar – benar kelam
seperti musim gugur.
Aki tidak pernah bermaksud melukai
Jungmo, dia hanya tidak ingin Jungmo menderita. Bagaimanapun dunia mereka
berbeda. Dan, mengenai ibunya Aki sudah tahu jauh sebelumnya. Kalaupun hari ini
dia mengungkit masalah itu, tidak lebih sebagai alasan agar Jungmo menjauh.
Pergi. Namun, kenapa ada rasa ngilu di hatinya? Seharusnya dia tidak boleh
mempunyai emosi. Dia tidak boleh bersedih atau bencana akan datang. Musim gugur
yang identik dengan kesedihan, keputus asaan itu ada benarnya. Mereka, para
spirit pohon momiji dan juga dia, Princess of Autumn –yang sebenarnya siluman
meskipun kaumnya tidak pernah mau mengaku- menyerap kesedihan, depersi, amarah
dari manusia lalu membalikkan pada manusia itu sendiri sehingga mereka akan
merasa sudah tidak punya harapan hidup dan memutuskan bunuh diri. Itu...
kekuatan dari Aki yang selama ini dia kontrol agar tidak keluar. Lebih
menakutkan lagi, saat dia seperti ini dia bisa menyeret manusia manapun untuk
mati.
“Hmm...dia sangat keras kepala, bukan?”
tiba – tiba suara lembut Sakura membangunkan Aki dari lamunan panjangnya. Gadis
itu mengangkat kepala dan mendapati Sakura sudah berdiri di hadapannya, menatap
ke arah jalanan dimana sesaat lalu Jungmo menghilang. Aki terkesiap kaget.
“Sakura, sejak kapan kau disana?” tanya
Aki sedikit panik.
“Sejak...awal aku sudah ada disini.
Kalian terlalu serius sampai tidak menyadari kehadiranku. Lebih tepatnya,
Jungmo terbutakan olehmu sampai tidak tahu siluman lain muncul,” sahut Sakura
menyeringai usil. Dia lalu berjongkok di depan Aki, sahabatnya yang terlihat
makin kelam itu. Jari jemari Sakura menyisir rambut Aki yang berantakan dengan
lembut.
“Kau mendengar semuanya?”
“Kata demi kata. Aku tidak menyangka kau
masih menemuinya. Lebih mengejutkan, kalian saling menyukai. Seandainya Yuki
atau kakekmu tahu hal ini, kau tahu resikonya, kan?” sahut Sakura santai.
Terdengar helaan napas panjang dari Aki.
“Aku tahu,” sahut Aki lirih. Sakura
bangkit dan memainkan hiasan pada obi yukatanya.
“Tapi kenapa kau masih menemuinya??? Kau
sudah berjanji pada kami waktu itu,” kata Sakura dengan nada menuntut. Dia
menyesalkan tindakan ceroboh Aki.
“Bukan aku yang menemuinya. Dia
mencariku,” sahut Aki membela diri. Tapi, memang benar kan, Jungmo yang selalu
datang ke tempat ini mencari dia meskipun dia enggan menampakkan diri, tapi
Jungmo selalu memaksanya muncul.
“Aki, aku tidak ingin kau mengalami hal
yang sama dengan kakakku. Kau harus melupakan Jungmo, sudah waktunya kau pergi
ke Hokkaido. Tempatmu disana,” kata Sakura. Teringat peristiwa saat kakaknya
berubah menjadi serpihan kelopak sakura, menghilang ditiup angin karena tebasan
pedang seorang shinigami berwajah cantik. Sakura tidak menyalahkan shinigami
itu karena dia tahu semua salah kakaknya yang berubah jahat demi melindungi
iblis yang dia cintai. Dia... tidak ingin Aki melakukan hal yang sama.
“Sakura.... berjanjilah satu hal
padaku,” tiba – tiba suara Aki memecah kesunyian diantara keduanya. Sakura
menunduk menatap sepasang mata Aki.
“Apa?”
“Jangan biarkan hal buruk terjadi pada
Jungmo,” pinta Aki membuat Sakura tersentak mundur ke belakang. Dia tidak suka
dengan ini. Dia tidak ingin berjanji.
“Aki!!”
“Onegai...”
“Un, wakatta,” pasrah akhirnya Sakura
mengangguk. Aki tersenyum, seiring dengan itu Aki menghilang dari pandangan
Sakura meninggalkan gadis itu termangu di tengah hujan daun momiji. Sehelai
daun merah jatuh ke tangannya.
Jepang, musim semi.
Jungmo meletakkan case gitarnya di
sebuah bangku, memutar badannya untuk melihat sekeliling taman yang beberapa
bulan lalu berwarna merah karena momiji sekarang menjelma menjadi hijau. Beberapa
meter dari tempat dia berdiri terdapat pohon sakura yang sedang mekar meskipun
belum sepenuhnya. Musim semi sudah tiba. Jungmo menghela napas panjang,
merindukan musim gugurnya. Lebih tepatnya, Aki. Tangan besarnya menyentuh
batang – batang pohon momiji saat berjalan memutari taman.
“Jung!” suara sapaan seseorang
menghentikan langkah Jungmo, dia segera menoleh ke sumber suara dan menemukan
sosok laki – laki cantik, Minwoo, melambai ke arahnya.
“Ah.. kau,” desah Jungmo kembali meneruskan langkahnya.
Minwoo tersenyum sambil menggaruk kepalanya, perlahan menyejajari langkah kaki
Jungmo, mengikuti arah pandangannya.
“Rupanya kau di sini, aku mencarimu
kemana – mana,” kata Minwoo.
“Ada apa?”
“Ingin memastikan berita yang aku
dengar, kau... tidak akan menggunakan kekuatan shinigami mu lagi, apa benar?”
sahut Minwoo memegang pundak Jungmo dan sedikit menyentaknya agar laki – laki di
sampingnya itu berhenti.
“Hmmmm..” hanya itu yang terdengar dari
mulut Jungmo.
“Karena gadis itu? Kau benar – benar
mencintainya?” selidik Minwoo menatap tajam Jungmo.
“Apa perlu aku menjawabnya?” sahut
Jungmo sarkastis. Minwoo menggeleng. Melepas tangannya dari pundak Jungmo,
merentangkan kedua tangannya sambil berputar. Dia berkata di sela senyumnya.
“Tidak. Dengan melihatmu sore ini disini
sudah merupakan suatu jawaban.”
“....”
“Sekarang masih musim semi, seharusnya
kau memandangi bunga sakura, bukan daun – daun hijau ini,” lanjut Minwoo saat
melihat Jungmo hanya terdiam.
“Hmmm.. sakura, kau yang menyukai
sakura, bukan aku,” kata Jungmo sedikit sinis tanpa menghiraukan derai tawa
dari mulut Minwoo.
“Hahahahaha... kau benar, Jung,”
“Minwoo...” tiba – tiba suara Jungmo
yang berubah serius menghentikan tawa Minwoo. Dia langsung menegakkan badan dan
menatap wajah Jungmo, dari perubahan ekspresinya Minwoo sudah menebak apa yang
mengganggu pikiran temannya itu.
“Apa?”
“Menurutmu salah satu pohon di sini
adalah dia?” tanya Jungmo. Aki. Seperti tebakan Minwoo sebelumnya.
“Dia?
Siapa maksudmu? Aki?”
“Ya..”
“Entahlah. Dia sudah lenyap, Jung. Sudah
tidak exis lagi sebagai siluman ataupun bentuk lainnya di dunia ini. Kau tahu
itu kan?” sahut Minwoo jujur. Dia tidak ingin berbohong demi melegakan perasaan
Jungmo. Toh, Jungmo juga sudah tahu jawabannya.
“Ya, aku tahu. Hanya....”
“Berharap ada keajaiban?” tebak Minwoo
dijawab anggukan Jungmo yang masih memandang lurus pada sebuah pohon di
depannya. Berharap tiba – tiba dari balik pohon itu muncul Aki, seperti yang
sering gadis itu lakukan dulu setiap mereka bertemu.
“Begitulah,”
“Paling tidak kau sudah membuktikan
janjimu pada Aki. Sekarang yang ada hanya kalian berdua, kau dan Aki. Yaa...
meskipun dalam bentuk yang beda,” kata Minwoo berusaha menghibur. Namun, Jungmo
menggeleng.
“Aku ingin menjaganya, tidak ingin
melukainya. Malah aku yang menyebabkan dia tidak bisa tersenyum lagi,” elak
Jungmo menghela napas. Rasanya penat. Minwoo tidak tahan melihatnya. Dia mengenal
Jungmo bukan sehari dua hari, sudah bertahun – tahun dan baru kali ini melihat
temannya yang selalu kuat, bijak dan cuek itu terlihat menderita bahkan seperti
enggan untuk hidup. Well... dia sudah mati sih, sebenarnya.
“Jung, aku tahu kau sangat kehilangan
dia. Andai ada yang bisa aku lakukan untukmu, akan aku lakukan. Katakan!” kata
Minwoo menepuk dadanya.
“Mendengar hal itu dari mulutmu rasanya
menggelikan,” sahut Jungmo meledek. Senyuman merekah di bibirnya dan itu
sedikitnya membuat Minwoo lega.
“Sialan kau!” gerutu Minwoo mendorong
tubuh Jungmo.
“Aku ingin tahu dimanapun dia, dalam
bentuk apapun apakah dia bahagia dan sudah memaafkanku. Itu saja,” kata Jungmo.
“Simple tapi susah, Jung. Kecuali kau
merengek pada kakeknya dengan resiko dia akan membunuhmu karena secara tidak
langsung kau yang membuat Aki pergi,” kata Minwoo berusaha mengingatkan
kenangan buruk itu sekali lagi pada Jungmo agar temannya itu tidak gegabah
lagi. Minwoo memang shinigami, dia memburu hantu dan iblis. Bukan tugasnya
berhadapan dengan kaum Aki.
Jungmo terpekur. Terakhir kali dia
bertemu Aki adalah sore itu dimana mereka bertengkar karena Aki ingin mereka
tidak usah bertemu lagi. Seandainya Jungmo menuruti keinginan Aki, mungkin Aki
masih ada dan Jungmo masih bisa melihatnya meski diam – diam. Ketidak puasaan
Jungmo hanya bisa melihat Aki tanpa bisa memiliki gadis itu yang menyebabkan
semua ini.
Keputusan yang bodoh, sesalnya dalam
hati. Dia pergi ke hutan di pegunungan Hokkaido menemui ketua kaum Aki yang
ternyata adalah kakek Aki. Segala usaha sudah Jungmo tempuh dari cara yang
paling halus sampai yang sedikit memaksa, hasilny??? Bukannya membunuh Jungmo,
kakeknya malah membuat Aki kehilangan medalinya. Belakangan, Jungmo tahu dari
Yuki dan Natsu, bahwa itu perjanjian antara Aki dan kakeknya. Memang Jungmo
tidak tahu secara mendetail apa isi perjanjian Aki dan kakeknya, pada intinya
Aki menukar jiwanya dengan keselamatan Jungmo.
“Sepertinya itu hukuman bagiku. Aku akan
menyimpan rasa bersalah ini selamanya sampai aku musnah dan itu mungkin masih
ribuan tahun lagi,” sesal Jungmo. Sehelai daun jatuh di atas kepalanya. Jungmo
meraih dan menatap daun hijau itu. Ayolah, Aki.... kembalilah... keluhnya dalam
hati.
“Apa perlu aku membunuhmu sekarang biar
kau tidak usah merasa bersalah lagi?” tawar Minwoo pura – pura mengeluarkan
belati dari balik kemejanya. Jungmo memukul kepala laki – laki cantik di
sampingnya, mendelik kesal.
“Kau...”
“Becanda, Jung!! Hahahaha... aku rasa
kau lebih mengenal Aki ketimbang aku,”
“Sangat mengenalnya dengan baik dan itu
malah membuatku makin bersalah,” sahut Jungmo. Minwoo menggeleng melihat
kelakuan temannya ini. Kalau tingkah Jungmo terjadi di depan pohon momiji waktu
musim gugur, mungkin spirit pohon momiji akan sangat gembira melahap kesedihan,
keputus asaan Jungmo dan menyeret laki – laki itu dalam kematian perlahan. Apalagi
sekarang pemilik medali musim gugur bukan Aki lagi.
“Sudahlah, mau sampai kapan kau galau
begini?? Apa kau masih ingin disini? Aku akan memberimu waktu untuk sendiri,”
kata Minwoo seraya menepuk pundak Jungmo. Tanpa menunggu jawaban dari temannya,
Minwoo memutar badannya dan berjalan menyusuri jalan setapak meninggalkan
Jungmo yang langsung tersadar.
“Minwoo, tunggu! Aku akan pergi juga,”
Pluukkk..
Baru selangkah Jungmo berjalan, tiba –
tiba sehelai daun momiji berwarna merah keemasan jatuh di depannya. Dia baru
saja akan menunduk saat matanya menangkap fenomena aneh yang tidak mungkin
terjadi di musim semi. Satu pohon yang berada 4 langkah di depan dia dan Minwoo
merubah warna daun hijau menjadi merah seluruhnya. Terlihat menyolok di tengah
lautan warna hijau dan merah muda. Minwoo yang tak kalah kaget berteriak pada
Jungmo.
“Jung....”
“Aki....” desis Jungmo berkaca – kaca. Luapan
emosi tak terbendung. Sedih, rindu, senang dan lega.
“Sepertinya kau sudah mendapatkan
jawaban darinya,” suara Minwoo tersekat. Jungmo tersenyum diantara buliran air
mata yang jatuh di pipinya. Aki.
“Ya...”
Prolog
Lagi – lagi Aki melihat sosok Jungmo
muncul di tengah taman. Dia senang sekaligus sedih. Senang bisa melihat Jungmo
sehat, sedih tatkala mendapati raut muka Jungmo yang sengsara. Seperti sore –
sore sebelumnya sejak mereka terpisah, Jungmo selalu datang dengan menenteng
gitar kesayangannya. Duduk di bangku dimana dulu mereka berdua selalu duduk,
menyanyikan lagu kesukaan Aki. Kemudian, Jungmo akan memberesi gitarnya,
berjalan memutari taman. Menyentuh kulit batang pohon dengan lembut seolah dia
sedang memegang tangan Aki.
Aki ingin berteriak memberitahukan bahwa
dia ada disana. Menjawab pertanyaan Jungmo ‘apakah dia memaafkan Jungmo?’,
tentu saja tidak. Aki tidak perlu memaafkan Jungmo karena dia tidak bersalah
apapun pada Aki. Aki sendiri yang memutuskan jalan hidupnya agar dia bisa
memiliki Jungmo, agar Jungmo bisa memiliki dia tanpa terikat takdir yang
mengerikan. Meskipun dalam wujud berbeda.
Sakura, yang juga berada tak jauh dari
tempat Aki ikut terenyuh. Dia, Natsu dan Yuki tidak akan bisa lagi berkumpul di
lembah untuk saling bertukar medali karena tugas Aki sudah selesai digantikan
yang lain. Ikut sakit melihat air mata Aki yang tak terlihat mata, melihat Aki
kini membisu terkurung dalam sebuah pohon. Dengan persetujuan Natsu dan Yuki,
dia memutuskan memberikan hadiah bagi keduanya, Aki dan Jungmo.
“Aki, anggap ini ucapan perpisahan dan
hadiah dari kami,” bisik Sakura pada sebuah pohon di tengah taman.
“Apa maksudmu?” tanpa menjawab
pertanyaan Aki, Sakura menggunakan medalinya dan merubah semua daun pada pohon
itu menjadi merah.
Musim semi
Musim panas
Musim gugur
Musim dingin
Sepanjang tahun, selamanya. Di tengah
taman akan ada satu pohon yang daunnya selalu berwarna merah dan seorang pemuda
yang menyandarkan kepalanya ke batang pohon itu.
No comments:
Post a Comment