Wednesday, January 23, 2013

AUTUMN SONATA

  Jalanan begitu sepi, kiri kanan hanya kegelapan yang menyelimuti. Penerangan satu – satunya di jalan yang aku lalui hanyalah lampu di ujung jalan. Sunyi mencekam. Menurut legenda, di tempat ini dulu ada seorang pemuda meninggal entah bunuh diri atau dibunuh lalu arwahnya gentayangan. Karena itu, walau jarum jam masih menunjukkan pukul 9 malam, jalanan ini sudah sepi bahkan nyamukpun tidak ada. Benar atau tidaknya cerita itu aku tak tahu dan tidak mau tahu. Lagian, buat apa aku ngurusin hal yang tidak penting seperti itu??
Takut?? Pasti kalian heran kok bisa aku seberani ini keluyuran malam – malam di tempat yang notabene ‘berhantu’. Tentu saja aku berani!! Kalaupun ada hantu benaran, pasti dia yang akan gemetar ketakutan sampai ngompol. Oke... aku tidak tahu apakah hantu bisa ngompol seperti manusia. Karena aku belum menjadi hantu dan tidak pernah menjadi manusia. Lalu aku ini apa?? Yang pasti, aku bukan hantu, siluman atau sebangsanya.

Setelah kurang lebih 5 menit menyusuri jalan ‘berhantu’ tadi, akhirnya aku sampai juga di ujung jalan. Setelah menoleh ke kanan kiri memastikan tidak salah jalan, aku mengambil arah kiri dan kembali berjalan. 10 menit lagi aku akan sampai ke tempat tujuan. Mengingatnya saja sudah membuatku deg – degan. Tidaakk... aku tidak akan pergi ke dokter atau rumah sakit. Yeaahh.. meskipun saking bencinya dengan rumah sakit bisa membuat jantungku nyaris berhenti, tapi kali ini aku deg – degan dengan alasan yang berbeda. Excited!
Itu dia!! Baru juga kakiku melewati pintu masuk, sosoknya sudah terlihat jelas. Tingginya tidak kurang dari 180 sentimeter, rambutnya pendek keperakan, matanya yang hitam tajam terkesan sadis, kontras dengan kulit putihnya. Wajahnya biasa saja, tidak tampan seperti pria yang berdiri di sebelahnya itu, mungkin kalau dia tersenyum akan lebih tampan. Entahlah... aku tidak pernah melihatnya tersenyum lagi. Dia dingin. Misterius.
Apa aku suka dia?? Tidak. Aku tidak suka melainkan cinta. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama melihatnya di tempat itu beberapa tahun lalu. Aku jatuh cinta pada matanya, jatuh cinta pada sosok misteriusnya, jatuh cinta pada lagunya, jatuh cinta pada alunan gitarnya. Dan, cinta itu tersimpan rapat di hatiku. Hanya aku yang tahu dan tentu saja, Tuhan. Aku tidak cukup bodoh untuk muncul di depannya dan mengakui perasaanku. Sebelum sempat mengutarakan isi hatiku atau bahkan mengucapkan salam, dia mungkin akan membunuhku.
Ya, demikianlah hubungan antara aku dan dia. Jangan berpikir ini kisah Romeo Juliet, kisah tragis mereka akan terasa lebih menyenangkan karena walaupun keluarga mereka bermusuhan, mereka bisa saling jatuh cinta meski akhirnya mati. Keluarga kami... oh... bukan... Dunia. Duniaku dan laki – laki itu berbeda. Bagaikan air dan minyak, disatukan, diaduk menjadi satupun tidak akan pernah bisa. Terlihat sama, tapi sangatlah berbeda. Meskipun kami berdua sekarang berpijak di satu tempat, nyatanya tidak sebagaimana mata melihat.
Dia.... makhluk berasal dari neraka.
Dan aku... makhluk yang tidak dimiliki neraka maupun surga.

Jepang, penghujung musim panas.
Langkah kaki tersaruk – saruk menyusuri setapak menuju sebuah lembah di balik bukit. Matahari musim panas sore itu terasa hangat dan menyilaukan. Sesekali aku menudungkan tangan ke mataku menghindari sinar yang menerobos diantara sela – sela pohon. Di belakangku seorang gadis berjalan berjingkat seanggun mungkin dengan menggunakan yukata dan getanya. Rambutnya disanggul rapi dan hiasan bunga sakura tersemat diantara untaian manik – manik di kepalanya. Berbeda sekali denganku yang hanya menggunakan baju casual.
“Aki... sampai kapan kita harus berjalan?” rengek gadis itu menghentikan langkahku. Aku berbalik dan melihat dia menghentakkan kaki kesal.
“Sebentar lagi,” sahutku sambil berjalan lagi. Namun, rengekan gadis itu kembali menghentikanku.
“Kau sudah bilang ‘sebentar lagi’ 10 kali dan iniiiii....BUKAN SEBENTAR!!!”
“Berisik!!! Setelah kelokan ini, kita akan sampai!!” teriakku sebal.
“Kau tahuuuuu... susah sekali berjalan di bukit mengenakan baju seperti ini!!” gerutunya menunjuk pada geta dan yukata yang membalut tubuh mungilnya. Aku menyeringai saja.
“Suruh siapa kau pakai baju itu!! Jangan salahkan orang lain,” sahutku. Dia memanyunkan bibirnya kesal. Tangannya sibuk memainkan kipas kertas bergambar bunga sakura. Lalu, dia mengangkat muka dan menatapku. Pasti dia akan merengek lagi, gumamku.
“Kenapa sih kita tidak menggunakan cara biasanya untuk sampai ke sana?”
“Ini musim panas, bodoh!!!” gadis dungu di depanku mengangguk mendengar jawabanku. Dia tertawa kecil.
“Ah, iya. Aku lupa,” katanya sembari berjalan melewatiku, seanggun dia bisa. Dari bibirnya terdengar nyanyian.
Sejenak aku hanya menatapnya, ingin rasanya menendang pantat gadis itu biar jatuh terguling sepanjang kelokan sampai ke lembah. Pasti menyenangkan melihat gadis yang sok anggun itu jumpalitan. Hahaha... tapi, aku tidak mau ambil resiko dengan pembalasannya yang sangat kejam, tidak selaras dengan paras cantik dan anggunnya dia. Akupun kembali berjalan, kini lebih memilih berada di belakang gadis itu.
“Kalian terlambat!” tegur seorang gadis yang sedang merendam kakinya di danau pada kami berdua setibanya disana. Sakura, gadis yang beryukata menyerucutkan bibirnya lagi.
“Maaf. Aku harus menunggu tuan putri berdandan tadi,” sahutku menyindir Sakura. Tanpa banyak kata aku mengambil tempat di bawah pohon tak jauh dari Sakura berdiri. Yuki, gadis berkulit putih nyaris pucat yang sedang asyik bermain air hanya meringis mendengar ucapanku.
“Sebentar lagi Natsu akan kembali,” jelasnya setelah melihat mataku menjelajahi sekitar danau. Aku mengangguk. Lalu senyap.
Suara kecipak air karena kaki Yuki terdengar diantara desauan angin. Sakura berjongkok di tepi danau, menjadikan air sebagai cermin dan mulai membenahi tatanan rambut yang sedari tadi dia keluhkan rusak gara – gara tersibak ranting pohon. Aku memilih diam dan duduk sambil memainkan daun kering di sekitarku sampai  akhirnya aku melihat sosok yang kami tunggu muncul dari balik pepohonan, dengan seringai lebar di wajahnya.
“Yo!! Aki, Yuki, Sakura.... hisashiburi! Genkidane?!” serunya ceria. Yuki dan Sakura serempak menoleh dan membalas sapaan ala kadarnya.  Natsu menghampiriku, menyalami tanganku lalu duduk di sebelahku.
“Tidak terasa, ya, sebentar lagi musim panas berakhir dan musim gugurpun datang. Kau pasti senang kan, Aki,” lanjutnya membuka pembicaraan. Aku menggumam tidak jelas. Tangan hangat Natsu menepuk kepalaku pelan. Kemudian dia mengambil sesuatu dari balik lengan bajunya dan menyerahkannya padaku.
Benda logam berwarna silver berkilauan terkena matahari senja. Terasa hangat saat mengenai jemariku. Logam yang mulanya berbentuk matahari itu perlahan berubah bentuk seperti daun momiji, warna silvernya mulai pudar menjadi merah keemasan begitu menyentuh tanganku. Aku memasukkan benda itu ke lengan bajuku tanpa banyak kata.
“Kenapa sih, kita harus bertemu di tempat ini?”  celetuk Sakura. Rupanya gadis itu masih kesal karena harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke lembah ini hanya demi sebuah transaksi antara aku dan Natsu.
“Ya... karena di sini nyaman dan tersembunyi. Lagipula kita kan jarang berkumpul kalau tidak sedang peralihan musim. Oh ya, Sakura, apa kau tidak bosan selalu mengenakan yukata seperti itu?” sahut Natsu masih dengan nada ceria seperti biasa. Sakura memberengut kesal mendengar ucapan Natsu membuat Yuki terkikik.
“Karenaaaa.... aku lambang kecantikan dan keanggunan!! Beda denganmu!!” serunya kesal seraya menegakkan badannya, angkuh. Aku membuat gerakan seakan sedang muntah, Yuki langsung menutup kupingnya sedangkan Natsu terkekeh geli.
Percakapan biasa. Pertemuan biasa. Semua sangat biasa diantara kami. Setiap tiga bulan sekali, kami berempat akan berkumpul di sini. Sebuah lembah di balik perbukitan yang berada di Hokkaido. Saat penghujung musim semi dimana danau ini akan dihiasi putik bunga sakura, penghujung musim panas seperti sekarang dimana pohon menghijau dan sinar hangat matahari, penghujung musim gugur saat semua terlihat merah keemasan dan penghujung musim dingin saat semua permukaan danau berubah menjadi es dan berwarna putih.
Kalian pasti tahu kan, Jepang mempunyai empat musim. Semi, panas, gugur dan dingin. Sakura, Natsu, Aki dan Yuki. Itulah kami.
Sakura, gadis yang selalu mengenakan yukata berwarna merah muda lengkap dengan hiasan kepala sakura itu merupakan pemilik musim semi. Anggun, centil, cantik, dan sedikit angkuh. Dia sosok paling cantik dan feminin diantara kami berempat. Rambut hitam legamnya, mata berbentuk almond berwarna senada, kulit putih susu dan wajah cantik proposional. Siapapun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta. Ya, dia Haru. Pemilik musim semi dan pohon sakura.
Natsu, atau musim panas. Gadis tomboy yang selalu ceria dan hangat. Tidak pernah senyuman hilang dari wajah tirus kecoklatan miliknya itu. Matanya selalu berbinar seperti bintang, rambut cepaknya agak kemerahan karena sinar matahari, tubuhnya sedikit berotot karena dia suka sekali lari kesana kemari melakukan hal yang tidak jelas. Siapapun yang berada di dekatnya akan merasa kehangatan dan keceriaannya, sedemikian rupa sampai kesedihanpun hilang. Natsu, pemilik matahari, bintang dan musim panas.
Sedangkan Yuki, gadis berambut panjang, tinggi semampai, wajah pucat dengan ekspresi dingin. Salju, badai, dingin, semua ada padanya. Gadis pendiam yang cenderung pemarah itu paling tidak suka datang ke pertemuan kami melebihi Sakura meskipun tidak ada sepatah kata keluar dari mulutnya. Hanya melihat bagaimana air disekitar kakinya mendadak berubah menjadi es di penghujung musim panas disaat matahari terik itulah buktinya. Dari kami berempat, dia yang selalu misterius, menyendiri, tak tersentuh dan dingin. Pernah suatu ketika aku melihat dia berdiri di tengah badai salju yang dia sendiri buat hanya karena kesal melihat seorang pemburu melukai seekor rusa. Mata coklatnya berubah menjadi biru, menakutkan. Selebihnya, dia gadis baik, kuat dan bijaksana.  Ya, dia pemilik musim dingin.
Sedangkan aku? Aki. Pemilik musim gugur, tinggal diantara pepohonan momiji. Tidak begitu bisa bergaul, tidak secantik Sakura, tidak sehangat Natsu dan tidak  sebijaksana ataupun sekuat Yuki. Nyaris dingin tanpa kehangatan, selalu murung, hidup di dunianya sendiri, begitu kata Natsu. Suka melakukan hal bodoh yang sentimentil, komentar Sakura. Selalu galau, lemah seakan tidak punya harapan hidup dan terkurung pada ketidak percayaan diri, gerutu Yuki setiap aku menyerahkan medali padanya di penghujung musim gugur. Rambut merahku nampak kontras dengan mata coklatku, postur tubuhku sendiri tidak begitu tinggi dan sedikit kurus.
Ya, kami berempat adalah pemilik musim. Bukan... kami bukan iblis, setan, siluman, hantu, dewa dewi, roh ataupun malaikat. Bukan. Kami tidak terdefinisi salah satu diantara mereka semua. Iblis, setan, siluman, hantu adalah penghuni neraka. Dewa dewi, malaikat berasal dari surga. Sedangkan kami? Tidak berasal dari surga maupun neraka, melainkan diantara keduanya.
Kekuatan yang kami punya akan muncul bersamaan dengan musim yang kami miliki tiba. Selebihnya, kami akan menjadi biasa selayaknya manusia, tanpa kekuatan. Kadang, kami akan membaur dengan manusia atau memilih tinggal di rumah kami. Seperti Yuki, yang memilih tinggal di gunung Fuji melebur menjadi satu dengan salju. Aku, kadang akan bersemayam di pohon momiji, kadang akan turun ke pemukiman manusia. Tidak ada manusia yang bisa membedakan kami, karena kami berpenampilan seperti manusia.
Tentu saja makhluk selain manusia, hantu, misalnya bisa melihat kami. Para hantu, roh dan iblis pada umumnya memilih tidak berurusan dengan kami. Dan satu lagi, shinigami. Mereka merupakan manusia yang bisa melihat dan mencium keberadaan makhluk selain manusia. Kami harus waspada dan sebisa mungkin menghindari mereka atau mereka akan membunuh kami.
Apakah pemilik musim hanya kami?? Tentu saja tidak. Bagaimana bisa kami mengurusi banyak hal di setiap musimnya kalau hanya sendiri. Kami hanyalah simbol dari semua pengurus musim. Istilah kerennya ‘Princess’.
Hanya satu peraturan: tidak boleh jatuh cinta pada siapapun! Terutama pada Shinigami.
“Aki, apa kau masih suka pergi ke tempat itu?” suara Yuki membangunkanku dari lamunan. Ketika mengangkat kepala aku mendapati dia sedang menatapku tajam, demikian juga Sakura dan Natsu.
“Tidak,” sahutku berbohong yang belakangan aku sesali karena malah membuat Yuki curiga.
“Kau benar – benar menyukainya??? Kau kan tahu, kita tidak boleh jatuh cinta pada manusia. Apa kau ingin mati?!!” teriak Yuki kesal. Seketika terdengar suara keretak dari batu di sebelahnya yang berubah menjadi es. Aku bergidik ngeri, demikian pula Sakura.
“Diaa... bukan manusia...” sahutku lirih tidak berani menatap Yuki.
“Lalu apa? Hantu?? Itu lebih buruk lagi!!” serunya melotot. Sebentar lagi dia pasti jantungan.
“Dia.... vampire...” kata terakhir nyaris tidak aku ucapkan.  Lebih tepatnya vampire yang menjadi shinigami, batinku. Tentu saja kenyataan ini tidak aku utarakan atau aku akan diseret menghadap Ketua oleh Yuki.
“APA?!!!!! Itu paling buruk dari yang terburuk!!! Mereka kaum tak diinginkan di neraka sekalipun!!! Terkutuk!! Apa kau sudah gila?!!! Apa kau ingin seperti Oneesan?? Oh... oke... oneesan jatuh cinta pada iblis. Ah!! Itu sama saja!!” omel Sakura mendahului Yuki yang siap menyemprotkan amarah. Sakura mengipasi wajahnya yang merah padam. Aku makin tertunduk.
“Aki, lebih baik kau jangan menemui dia lagi. Atau aku terpaksa mengatakan pada Ketua mengenai hal ini. Kau tahu kan, akibatnya?? Kita tidak akan lagi bisa bertemu,” kali ini Yuki kembali menemukan kesempatan untuk bersuara.
“Baiklah, aku tidak akan menemuinya lagi,” sahutku menatap Yuki. Aku menyilangkan jemari yang sedari tadi berada di dalam saku jaketku.
“Kau janji?!!” tanya Yuki memastikan. Aku mengangguk.
“Iya, aku janji. Aku tidak ingin berpisah dengan kalian meskipun kadang Sakura membuatku jengkel,” sahutku meringis disambut derai tawa Natsu.
“Kau...” Sakura menghentikan aktifitas mengipasi wajahnya dan melirikku kesal. Aku membuat sign ‘peace’ dengan kedua jariku. Natsu mengalungkan lengannya ke leherku sambil meleletkan lidah pada Sakura. Dia memang paling senang menggoda Sakura.
Perkataan Sakura barusan mengingatkanku tentang legenda pemilik pohon sakura sebelum Sakura. Gadis itu lebih cantik dari Sakura, lebih lemah lembut dan anggun, tidak seperti Sakura yang berusaha menganggunkan dirinya. Gadis itu jatuh cinta pada iblis dan entah bagaimana caranya, gadis itu hancur menjadi buliran putik sakura. Ada yang bilang dia dimusnahkan Ketua, ada yang bilang dia dibunuh shinigami yang bekerja sama dengan iblis itu, entahlah mana yang benar.
Sepertinya sangat keren kalau menghilang menjadi buliran sakura. Nah, kalau aku?? Karena identik dengan momiji, apakah kalau aku dimusnahkan akan menjadi serpihan daun momiji?? Apa akan nampak keren?? Aku bergidik ngeri. Kakekku, yang kebetulan Ketua musim gugur mungkin tidak akan memusnahkanku, hanya akan mencabut kepemilikanku dan menjadikan aku spirit pohon momiji. Aku akan selamanya terkurung dalam sebuah pohon momiji, memperlakukan pohon itu sesuai suasana hatiku. Aku pernah menegur sebatang pohon momiji yang seharusnya mengubah warna daunnya menjadi merah, seenaknya mengubahnya kuning karena sedang kesal. Sangat tidak lucu.

“Jung!!” seru seseorang yang sedang berlari ke arah pemuda yang sedari tadi mematung dibawah deretan pohon.  Pemuda yang dipanggil ‘Jung’ itu menoleh lalu mengulas sebuah senyuman.
“Hyung..”
“Jung, apa yang kau lakukan di sini?”  tanya pria yang dia panggil Hyung itu pada Jung.
“Menikmati.. senja??” sahut Jung meringis.
“APA?!! Menikmati senja??? Sejak kapan kau melankolis?” pria itu tertawa terbahak. Jung hanya menyeringai, tentu saja tanpa menunjukkan kedua taringnya. Dia tidak ingin melihat Jay, sahabatnya itu kencing di celana sambil lari terbirit – birit setelah tahu kalau dia seorang vampire, meskipun adegan itu sangat menyenangkan untuk dilihat.
“Sebentar lagi musim gugur,” kata Jung sambil mengalihkan pandangannya ke arah deretan pohon di depannya. Jay mengikuti arah pandangnya.
“Lalu?”
“Daun – daun hijau ini akan berubah menjadi merah kuning keemasan,” sahut Jung dengan nada melamun. Jay mendengus geli. Dia bukannya tidak tahu kalau orang disebelahnya ini aneh. Dibalik wajahnya yang penuh senyuman itu dia punya dunia sendiri yang kadang Jay tidak bisa mengerti.
“Kenapa kau suka sekali musim gugur?” tanya Jay. Jung menatap Jay dengan tatapan ‘apa kau bercanda, Hyung?’
“Memangnya kau tidak suka, Hyung?” Jay menggeleng.
“Musim gugur itu paling indah, Hyung. Warna merah dan keemasan menutupi seluruh bukit. Hangat,” sahut Jung sambil menyentuh permukaan sebatang pohon.
“Bagiku terlihat suram. Aku lebih suka musim dingin yang berselimut salju. Cantik!” kata Jay berjalan ke sebuah bangku dan duduk di sana.
“Aku benci dingin.” Jay mendengus geli. Apa Jung tidak sadar kalau kadang dia sendiri terkesan dingin?
“Musim semi?”
“Terlalu pinky. Tidak cocok dengan kepribadianku,” sahut Jung mengacu pada deretan pohon sakura di musim semi. Dia menggelengkan kepala.
“Musim panas?”
“Terlalu panas. Aku benci di bawah matahari, membuatku berkeringat seakan meleleh,” kata Jung. Tentu saja. Dia kan vampire yang bermusuhan dengan matahari.
“Baiklah kau cocok dengan musim semi yang suram, sedih dan sentimentil,” kata Jay meledek Jung.
“Tidak juga. Musim gugur tidak sedepresi itu, Hyung. Penuh pengharapan, kedamaian, kesederhanaan,” sanggah Jung menoleh pada Jay. Jung melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar di sebuah pohon. Seleret sinar matahari senja menimpa tubuh jangkungnya.
“Kau memang beda dari orang lain, ya, Jung,” Jay tertawa.
“Tentu saja. Aku kan JungMo. Kim Jungmo,” sahut Jung menepuk pundaknya membanggakan diri.
“Ah, sudahlah. Aku ikutan gila meladenimu,” kata Jay seraya berdiri dari tempat dia duduk. Jung berjalan ke arahnya setelah menaruh tas berisi gitar kesayangannya di pundak.
“Ayo kita pergi, Hyung. Aku akan kembali lagi kalau semua daun berubah merah,” ajak Jung seraya mengalungkan tangan ke pundak Jay. Mereka berjalan beriringan.
“Untuk apa?” tanya Jay penasaran.
“Tentu saja untuk pacaran dengan pohon – pohon ini sambil menyanyikan lagu romantis,” sahut Jung sambil melambaikan tangan ke deretan pohon sepanjang taman.
“Kau memang sudah gila,” gerutu Jay tertawa.  Jung menepuk pelan pundak Jay lalu berbisik pelan.
“Ah.. aku hanya mengikuti jejakmu, Hyung.”
“Kau ini,” gerutu Jay mendorong Jung menjauh dari dirinya. Jung hanya tertawa geli melihat tingkah Jay.
“Hahahahahaha...”
Huft...
Setelah kedua pria itu hilang dari pandanganku, akupun keluar dari persembunyian dan menghirup udara sepuasnya. Sedari Jung datang ke taman ini, bertepatan dengan aku berada di sana dan langsung saja aku bersembunyi menyatu dengan sebatang pohon. Kalau aku menampakkan diri, Jung pasti bisa mencium dan langsung memusnahkanku. Rasanya lega setelah keluar dari dalam pohon, berada di sana sangat sesak dan menyebalkan.
Aku menyandarkan tubuh di pohon dimana barusan Jung juga menyandarkan tubuhnya. Berusaha merasakan hangat tubuhnya yang tertinggal di sana. Iya... dia, Jung. Seorang vampire. Seorang shinigami. Pria yang diam – diam aku sukai. Musuh abadi dari kaumku. Mendengar ucapannya barusan yang mengatakan bahwa dia menyukai musim gugur melebihi musim semi membuatku serasa dia sedang mengungkapkan cintanya padaku. Hahahaha... sungguh gila.
Tunggu saja sampai Natsu, Sakura dan Yuki tahu kalau Jung tidak suka pada mereka. Eh...tunggu, aku tidak mungkin menceritakan hal ini pada mereka. Ku hela napas panjang teringat ucapan Yuki tempo hari. Aku tidak boleh menyukai manusia, terlebih lagi Jung. Dia vampire dan lebih buruk lagi dia juga shinigami. Perpaduan yang unik, bukan? Seunik kepribadiannya.
Pertama kali aku melihatnya adalah di musim gugur beberapa tahun lalu. Waktu itu dia sedang memburu iblis. Mata yang biasanya teduh terlihat tajam menyeramkan ditambah kedua taring dan sebilang pedang di tangannya. Aku saja yang sedang bersembunyi waktu itu ikutan gemetar ketakutan. Lalu, tiba – tiba sosoknya berubah menjadi pria tampan. Kekejaman yang awalnya terlihat hilang tergantikan sosok yang lembut dan penuh kasih. Karena penasaran aku memberanikan diri mengintip.
Dia berdiri di depan gadis kecil. Bukan, gadis kecil itu bukan manusia, melainkan hantu. Tapi, kenapa Jung tidak memusnahkannya malah terlihat ramah pada hantu itu. Yang lebih membuatku terkejut, Jung berjongkok dan memegang kedua pundak hantu kecil itu yang menatapnya dengan mata penuh ketakutan.
“Kau bukan hantu jahat, aku tidak akan memusnahkanmu. Jadilah hantu yang baik dan aku akan memberimu hadiah permen, bagaimana??” hantu kecil itu mengangguk pelan dan Jung mengelus puncak kepala hantu itu. Dia merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan sebatang permen lalu menyerahkan pada hantu kecil itu.
“Pergilah...”
Jung melihat kepergian hantu kecil itu. Sejenak aku kira dia menyadari kehadiranku saat tiba – tiba dia menoleh ke arahku, rupanya ada sosok lain muncul sambil tertawa pada Jung. Orang itu menertawakan perbuatan Jung dan Jung hanya menjawab bahwa tidak semua hantu itu jahat dan pantas dimusnahkan. Mungkin saja mereka masih berkeliaran di dunia karena ada urusan yang belum diselesaikan. Dan orang semacam pria –awalnya aku kira dia wanita- bernama Minwoo itu yang harusnya membantu hantu – hantu itu. Kalau semua beres hantu – hantu itu pasti suka rela pergi ke tempat dia seharusnya berada.
Pria yang keanggunan dan kecantikannya bahkan melebihi Sakura itu hanya tertawa. Mereka berdua shinigami. Bedanya, Minwoo manusia bukan vampire seperti Jung. Aku tidak mengerti kenapa seorang vampire bisa menjadi shinigami. Entah apa dia dulunya manusia terus menjadi vampire atau dari awal memang seorang vampire. Kalau ada waktu buatku bertanya pada Jung, pastinya saat aku akan mati. Sejak hari itu, Jung sering ke taman ini kalau semua daun berubah warna, duduk di bangku itu lalu menyanyikan sebuah lagu.

“Keluarlah, aku tidak akan melukaimu,” kata Jung sambil mengotak atik gitar di tangannya. Ragu, aku keluar dari tempat persembunyianku.
Beberapa menit sebelum Jung datang, aku sedang berjalan – jalan diantara pohon momiji, melakukan tugasku. Tiba – tiba Jung muncul membuatku kelabakan. Ingin bersembunyi dalam pohon yang ada di depanku tapi ada spirit yang mendiami dan dia sedang ngambek padaku.
“Kau bukan hantu, juga bukan iblis. Kau siapa?” selidiknya menatapku seksama. Aku diam tidak menjawabnya. Berusaha sekuat tenaga menahan gemetar. Mungkin dia bisa berlaku baik pada hantu kecil itu tapi tidak padaku, kan.
 “Jadi, kau ini semacam penguasa musim gugur?” tanyanya lagi.
“Ya,” sahutku lirih.
“Kau yang membuat daun – daun ini berubah warna?” Jung menengadahkan kepala melihat daun – daun merah kekuningan di atasnya.
“Begitulah..”
“Kau selalu di sini?” kali ini dia melirikku.
“Ya,”
“Tempo hari juga bau yang aku cium itu kau?”
“Ya,”
“Beberapa tahun lalu aku mengira melihat seorang gadis di sini. Jangan – jangan itu kau...” aku bingung dengan pertanyaan Jung kali ini. Beberapa tahun lalu? Kapan tepatnya? Aku menatapnya bingung.
“Eh?”
“Malam dimana aku mengejar iblis dan bertemu hantu kecil disana,” jelas Jung menunjuk sebuah tempat. Aku mengangguk paham.
“Ya..”
“Apa bisa kau mengatakan selain kata ‘ya’, ‘begitulah’?” tanya Jung menatapku tajam. Jantungku hampir meledak antara ketakutan dan grogi.
“Hmm... baiklah...”
“Ah, terserah kau saja!!” sahut Jung tak sabar seraya menutup kembali tas gitarnya.
“Ya..”
“Jadi, seharusnya aku membunuhmu, kan?” kata Jung sambil berdiri. Mataku melotot ketakutan. Tanpa sadar aku mundur selangkah meski Jung tetap diam di tempatnya.
“Se..seharusnya... begitu...”
“Apa kau tidak takut?” tanya Jung menyeringai jahil, melipat kedua tangannya di depan dada. Aku sadar, dia hanya menggodaku.
“Tentu saja aku takut!!! Apa kau tidak lihat aku gemetaran??!!!” teriakku kesal. Ternyata dari awal Jung mempermainkanku dengan nada suara dinginnya itu.
“Wah, rupanya kau bisa bicara juga,” kata Jung pura – pura takjub.
“Tentu saja aku bisa!! Aku kan perlu komunikasi dengan manusia,” sahutku sewot. Hampir saja aku menendang batang pohon di sampingku kalau tidak ingat aku bakal dijewer kakek kalau melakukannya.
“Aku kira kau tidak bisa bahasa manusia,” ledek Jung nyengir. Tatapan matanya belum beralih dariku.
“Itu karena aku ketakutan!!” pekikku kesal. Jung tertawa lebar. Baru kali ini aku melihatnya tertawa. Dan, wajahku memanas.
“Apa sekarang kau tidak takut lagi?” tanya Jung.
“Tentu saja masih!!” teriakku kencang. Karena kesal aku tidak sadar meninggikan volume suaraku.
“Kau galak juga!!”  Jung menyipitkan matanya.
“Cih!”
“Kau tahu aku sebenarnya?”
“Tahu, kau shinigami. Juga vampire,” sahutku blak – blakan.
“Kau menguntitku?” tuduh Jung membuatku kesal.
“A..apa?!!! Tentu saja tidak!!!” elakku. Aku tidak menguntitnya hanya mengawasi, batinku.
“Lalu, darimana kau tahu?” selidik Jung lagi.
“Itu karena kau sering berkeliaran di tempat ini dan temanmu yang bernama Minwoo itu berkata demikian,” jelasku. Jung mengangguk. Sunyi sejenak diantara kami. Aku menebak – nebak apakah selanjutnya Jung akan mengeluarkan pedangnya atau membiarkan pergi setelah memberiku permen???
 “Apa pemarah merupakan sifat musim gugur atau itu hanya kau saja? Aku kira musim gugur lekat dengan suasana kelam, sedih, keputus asaan, suram!” suara ledekan Jung membangunkan lamunanku. Ternyata... dia menyebalkan!! Tidak seperti yang aku lihat selama ini.
“Kami tidak demikian!! Bukankah kau sendiri bilang musim gugur itu sederhana, penuh pengharapan, damai?” sanggahku membuatnya tertawa. Sialan, aku keceplosan. Dia pasti akan menertawakanku lagi.
“Selain suka mengintip kau suka menguping juga?” Jung terkekeh penuh kemenangan. Dia tersenyum lebar saat melihat mukaku merona merah.
“APA?!! Enak saja!! Salah sendiri mengira kami, para pohon momiji tidak bisa mendengar atau melihat!!” elakku membela diri.
“Hahahaha.... kau jangan marah – marah, aku hanya bercanda,” kata Jung tersenyum.
“....”
“Aku Jungmo, kau bisa memanggilku Jung. Kau?”
“Aku... Aki, Aki no Himesama. Princess of autumn,” sahutku lirih.
“Aku tidak akan membunuhmu dengan bersalaman, kan?” kata Jung seraya mengulurkan tangannya ke arahku. Ragu, dengan jantung berdebar kencang aku menerima uluran tangannya. Tangan besarnya terasa hangat.
“Sepertinya tidak,”

Author POV
“Jadiii... siapa gadis itu?” tanya Jay merangkul pundak Jungmo setelah mereka selesai manggung. Jung melirik Jay sekilas lalu menyibukkan diri dengan gitarnya. Jay menarik lengan Jungmo dan membuatnya duduk kembali saat Jungmo beranjak berdiri.
“Apa?” tanya Jung.
“Kau harus menjawab kalau hyungmu bertanya,” paksa Jay.
“Pertanyaanmu itu tidak layak untuk dijawab, makanya aku diam,” sahut Jung mendapat jitakan dari Jay.
“Dimana kau bertemu gadis itu? Apa dia gadis yang selama ini kau temui di taman dengan dalih bernyanyi untuk pohon?” tanya Jay lagi tanpa mempedulikan ledekan Jung barusan.
“Untuk apa kau mau tahu, Hyung? Lebih baik kau cari pacar sana!” kata Jung sambil beranjak pergi meninggalkan Jay yang cemberut kesal.
“YA!! Kau ini....”
Tanpa mempedulikan omelan Jay, Jung melangkah keluar dari ruang tunggu. Di depan pintu tubuh jangkung Minwoo menghadangnya dengan seringaian lebar di wajahnya. Jung paling sebal dengan cowok satu ini. Suka sekali mencampuri urusan orang lain.
“Kau tidak seharusnya berteman atau malah berpacaran dengan gadis itu,” tegur Minwoo tajam. Jung memberi tatapan Minwoo setajam dia bisa.
“Itu bukan urusanmu,” desis Jung kesal.
“Dia memang tidak ada dalam daftar buruanku. Dia bukan siluman, iblis atau hantu. Tapi, dia juga bukan manusia yang harus kita lindungi,” lanjut Minwoo tanpa menghiraukan ucapan Jung.
“Aki tidak jahat,” bela Jung. Gadis itu mungkin bukan manusia, tapi Jung tahu gadis itu tidak jahat.
“Kau hanya belum tahu, Jung. Mungkin tugasmu tidak untuk membunuh dia, tapi takdirmu yang mengharuskanmu,” kata Minwoo menepuk pundak Jung. Minwoo tahu identitas Jung yang sebenarnya.
“Aku tidak mengerti maksudmu,” Jung menatap Minwoo bingung.
“Kau paham dengan jelas. Kalau gadis itu terluka, dia akan marah dan membawa bencana. Dia hanya belum menyadari seberapa menakutkannya kekuatan yang dia miliki. Kau harus membunuhnya sebelum dia membunuhmu. Ini bukan kisah Romeo Juliet, Jung,” lanjut Minwoo memberikan sedikit sindiran. Dia tidak membenci Aki maupun Jung, malah ini semua demi kebaikan mereka berdua.
“Dia tidak seperti yang kau kira, Minwoo,” masih keukeuh Jung membela Aki. Minwoo meghela napas panjang, sepertinya dia harus membongkar semuanya pada Jung.
“Menurutmu bagaimana perasaannya kalau dia tahu kalau yang memusnahkan ibunya beberapa ratus tahun lalu itu adalah.... kau?”
“Apa maksudmu?” Jung terperangah kaget? Ibu Aki????
“Kau lupa? Hal yang membuatmu berjanji untuk tidak memusnahkan hantu dan siluman sembarangan?? Karena kau tidak ingin membunuh makhluk tak berdosa untuk kedua kalinya, kan?” seketika Jung memahami maksud dari ucapan Minwoo dan itu membuatnya nyaris jantungan, seandainya jantungnya masih berdetak.
“Wanita itu....”
“Ya, dia ibu Aki,”
“.......”
“Jauhi dia kalau kau tidak ingin membunuhnya sebelum terlambat,” bisik Minwoo tepat di telinga Jung. Setelah memberi tepukan pelan di punggung Jung, pemuda cantik bertubuh jangkung itupun pergi meninggalkan Jung yang terpaku diselimuti rasa terkejut dan bersalah. Jung berbalik ingin memanggil Minwoo namun sosok pemuda itu sudah hilang entah kemana.
Langkah Jung yang semula ringan kini terasa berat. Membayangkan wajah Aki yang tersenyum lebar saat menyambutnya di taman. Mata sipitnya senantiasa menatap Jung saat dia memainkan gitarnya. Jung tidak tahu apa ini cinta?? Apa dia telah jatuh cinta pada gadis yang notabene berada di dunia yang berbeda dengannya?? Entahlah... Jung hanya tahu dia merasa nyaman berada di dekat Aki, naluri ingin melindungi muncul begitu saja. Dia tidak ingin Aki sedih atau terluka. Dan kenyataan bahwa dia sendiri yang melukai Aki tidak pernah terlintas di benak Jung.

“Saat tidak musim gugur, apa yang kau lakukan?” tanya Jungmo pada gadis di sebelahnya suatu sore saat mereka berdua duduk di taman.
“Kekuatanku akan hilang. Saat itu aku akan tertidur dalam pohon, membaur dengan manusia, atau bersembunyi di pegunungan sampai musim gugur berikutnya,” sahut Aki sambil tersenyum. Jungmo suka sekali melihat senyuman gadis itu. Seperti ada ribuan volt aliran listrik menyentak jantungnya dan membuatnya kembali berdetak.
“Berapa usiamu sebenarnya?”
“Entahlah... ratusan?” kata Aki tertawa menunjukkan deretan gigi putihnya.
“Sepertinya kita seumuran,” sahut Jungmo tersenyum simpul disambut anggukan kepala Aki.
“Sepertinya begitu,”
“Kau sendiri sejak kapan menjadi vampire dan shinigami?” Aki balik bertanya.
“Sejauh yang aku ingat, sejak aku lahir. Saat aku beranjak dewasa dan tanpa sengaja memusnahkan satu siluman, saat itulah aku tahu aku shinigami,” sahut Jungmo menceritakan masa lalu dirinya.
“Sudah berapa banyak... hmm... kau tahu kan?” tanya Aki, alih – alih menyelesaikan pertanyaannya gadis itu melempar lirikan ke arah pedang yang tersembunyi di balik case gitar Jungmo.
“Entahlah.... aku tidak bisa menghitungnya,” sahut Jungmo paham maksud gadis itu.
“Apa yang kau rasakan saat memusnahkan mereka?” lagi – lagi Aki melontarkan suatu pertanyaan yang membuat Jungmo kaget dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Dia tak mengerti kenapa mendadak gadis itu banyak bertanya.
“Ada rasa kasihan, tapi dunia ini bukan tempat mereka dan itu lebih baik bagi mereka daripada berkeliaran dan mengganggu manusia,” sahut Jungmo memilih kata dengan hati – hati. Gadis itu tidak perlu tahu bahwa kenyataannya saat Jungmo melakukan tugasnya, dia tidak merasakan apapun.
“Hmm... tempat kita juga bukan disini, Jung. Kenapa kau tidak memusnahkanku?? Apa kau tidak tahu mengenai legenda kaum kami?” kata Aki menatap Jungmo lekat.
“Aku tahu. Hanya saja aku tidak mempercayainya, itu hanya legenda,” sahut Jungmo menoleh ke arah deretan pohon momiji berusaha menghindari tatapan Aki.
“Bukan berarti itu tidak benar, Jung,” kata Aki lirih membuat Jungmo tersentak kaget. Dia menatap gadis itu yang kini tertunduk menatap daun – daun di ujung kakinya. Jungmo menyentuh dagu gadis itu, mengangkat wajahnya agar memandangnya. Terlihat manik kelam di mata gadis itu.
“Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Aki?”
“Jung, sebaiknya kita tidak usah ketemu lagi,” ucapan Aki membuat Jungmo bangkit dari duduknya.
“Tapi, kenapa?”
“Karena kita ditakdirkan untuk saling bermusuhan,” sahut Aki beralasan. Jungmo memejamkan mata berusaha mengatur emosinya sebelum memberi jawaban atas ucapan Aki.
“Aki, semua terjadi karena sejarah. Kita bisa merubahnya, yang hidup di masa sekarang adalah kita, bukan nenek moyang kita yang membuat aturan ini,”
“Jung.... meskipun kaumku tidak pernah mengakuinya, kami.... tetap siluman. Dan kau... shinigami,” mendengarnya, Jungmo mulai mengerti kemana arah pembicaraan Aki yang mendadak serius. Selama dia mengenal Aki, dia tidak pernah melihat gadis itu sekelam ini.
“Aki.. aku benar – benar tidak tahu arah pembicaraanmu. Oke.. kau siluman dan aku vampire... lalu??? Bukankah kita sama – sama makhluk terkutuk???  Dimana letak kesalahannya??”
“Aku tidak boleh jatuh cinta pada manusia, shinigami dan kau, Jung!” teriak Aki sedikit emosi.
“Tidak boleh jatuh cinta pada manusia dan Shinigami, aku bisa memahami itu. Yang tidak aku mengerti kenapa kau tidak boleh menyukaiku?? Apa karena aku vampire?  Atau shinigami? Aku bisa meluruhkan kekuatanku dan seutuhnya hanya vampire. Aki, kau tahu alasan sebenarnya aku menyukai musim gugur, kan? Itu semua karena dirimu,” jelas Jungmo. Ada rasa senang terselip di hati Aki saat mendengarnya, paling tidak diakhir pertemuan mereka dia tahu bagaimana perasaan Jungmo pada dirinya.
“Bukan karena kau seorang vampire atau shinigami, Jung,” kata Aki setelah menguasai diri untuk tidak memeluk Jungmo.
“Lalu?”
“Karena kau adalah kau, Jung!”
“Maksudmu?” dahi Jungmo mengerenyit tidak mengerti.
“Aku tidak mungkin jatuh cinta pada orang yang telah membunuh ibuku, Jung!!!” kata Aki membuang muka. Jungmo membelalakkan mata, bagaimana bisa gadis itu tahu mengenai hal ini. Minwoo kah?
“I...kau tahu darimana, Aki?”
“Kau memandang remeh kami, Jung? Sudah aku bilang, kami, para pohon momiji bisa mendengar dan melihat. Kami tidak bicara, bukan berarti tidak tahu,” jelas Aki berusaha menahan air matanya. Sekilas dia melihat perubahan raut muka Jungmo dan itu membuat hampir saja pertahanan Aki runtuh. Oh..tidak... dia harus mengakhiri semuanya hari ini atau akan ada bencana besar terjadi.
“Aki, aku bisa menjelaskan semua itu,” kata Jungmo menyentuh kedua pundak Aki dan membalikkan badan gadis itu menghadap dirinya.
“Tidak perlu. Aku tahu kau hanya menjalankan tugasmu. Demikian pula aku sebagai putri penjaga musim gugur, aku tidak bisa berhubungan dengan musuh kaumku. Kau paham, Jung?” Aki menatap mata Jungmo. Dia harus kuat!!
“Terserah apa katamu. Suatu saat aku akan membuat perbedaan antara kita menghilang. Tidak ada siluman, shinigami, vampire. Hanya kau dan aku. Aki dan Jungmo,” Jungmo berkata sambil melepaskan pegangannya pada pundak Aki, berbalik mengangkat case gitar ke punggungnya dan berlalu pergi tanpa menoleh melihat ke arah Aki.
“Jungmo....”
Aki terduduk di tanah yang lembab, seakan tahu perasaannya, pohon yang berada di sekitarnya perlahan merontokkan daun – daun warna merah keemasan ke tanah. Putri yang selama ini mereka kenal ceria meski selalu menampakkan muka ‘sok kelam’nya berubah benar – benar kelam seperti musim gugur.
Aki tidak pernah bermaksud melukai Jungmo, dia hanya tidak ingin Jungmo menderita. Bagaimanapun dunia mereka berbeda. Dan, mengenai ibunya Aki sudah tahu jauh sebelumnya. Kalaupun hari ini dia mengungkit masalah itu, tidak lebih sebagai alasan agar Jungmo menjauh. Pergi. Namun, kenapa ada rasa ngilu di hatinya? Seharusnya dia tidak boleh mempunyai emosi. Dia tidak boleh bersedih atau bencana akan datang. Musim gugur yang identik dengan kesedihan, keputus asaan itu ada benarnya. Mereka, para spirit pohon momiji dan juga dia, Princess of Autumn –yang sebenarnya siluman meskipun kaumnya tidak pernah mau mengaku- menyerap kesedihan, depersi, amarah dari manusia lalu membalikkan pada manusia itu sendiri sehingga mereka akan merasa sudah tidak punya harapan hidup dan memutuskan bunuh diri. Itu... kekuatan dari Aki yang selama ini dia kontrol agar tidak keluar. Lebih menakutkan lagi, saat dia seperti ini dia bisa menyeret manusia manapun untuk mati.
“Hmm...dia sangat keras kepala, bukan?” tiba – tiba suara lembut Sakura membangunkan Aki dari lamunan panjangnya. Gadis itu mengangkat kepala dan mendapati Sakura sudah berdiri di hadapannya, menatap ke arah jalanan dimana sesaat lalu Jungmo menghilang. Aki terkesiap kaget.
“Sakura, sejak kapan kau disana?” tanya Aki sedikit panik.
“Sejak...awal aku sudah ada disini. Kalian terlalu serius sampai tidak menyadari kehadiranku. Lebih tepatnya, Jungmo terbutakan olehmu sampai tidak tahu siluman lain muncul,” sahut Sakura menyeringai usil. Dia lalu berjongkok di depan Aki, sahabatnya yang terlihat makin kelam itu. Jari jemari Sakura menyisir rambut Aki yang berantakan dengan lembut.
“Kau mendengar semuanya?”
“Kata demi kata. Aku tidak menyangka kau masih menemuinya. Lebih mengejutkan, kalian saling menyukai. Seandainya Yuki atau kakekmu tahu hal ini, kau tahu resikonya, kan?” sahut Sakura santai. Terdengar helaan napas panjang dari Aki.
“Aku tahu,” sahut Aki lirih. Sakura bangkit dan memainkan hiasan pada obi yukatanya.
“Tapi kenapa kau masih menemuinya??? Kau sudah berjanji pada kami waktu itu,” kata Sakura dengan nada menuntut. Dia menyesalkan tindakan ceroboh Aki.
“Bukan aku yang menemuinya. Dia mencariku,” sahut Aki membela diri. Tapi, memang benar kan, Jungmo yang selalu datang ke tempat ini mencari dia meskipun dia enggan menampakkan diri, tapi Jungmo selalu memaksanya muncul.
“Aki, aku tidak ingin kau mengalami hal yang sama dengan kakakku. Kau harus melupakan Jungmo, sudah waktunya kau pergi ke Hokkaido. Tempatmu disana,” kata Sakura. Teringat peristiwa saat kakaknya berubah menjadi serpihan kelopak sakura, menghilang ditiup angin karena tebasan pedang seorang shinigami berwajah cantik. Sakura tidak menyalahkan shinigami itu karena dia tahu semua salah kakaknya yang berubah jahat demi melindungi iblis yang dia cintai. Dia... tidak ingin Aki melakukan hal yang sama.
“Sakura.... berjanjilah satu hal padaku,” tiba – tiba suara Aki memecah kesunyian diantara keduanya. Sakura menunduk menatap sepasang mata Aki.
“Apa?”
“Jangan biarkan hal buruk terjadi pada Jungmo,” pinta Aki membuat Sakura tersentak mundur ke belakang. Dia tidak suka dengan ini. Dia tidak ingin berjanji.
“Aki!!”
“Onegai...”
“Un, wakatta,” pasrah akhirnya Sakura mengangguk. Aki tersenyum, seiring dengan itu Aki menghilang dari pandangan Sakura meninggalkan gadis itu termangu di tengah hujan daun momiji. Sehelai daun merah jatuh ke tangannya.

Jepang, musim semi.
Jungmo meletakkan case gitarnya di sebuah bangku, memutar badannya untuk melihat sekeliling taman yang beberapa bulan lalu berwarna merah karena momiji sekarang menjelma menjadi hijau. Beberapa meter dari tempat dia berdiri terdapat pohon sakura yang sedang mekar meskipun belum sepenuhnya. Musim semi sudah tiba. Jungmo menghela napas panjang, merindukan musim gugurnya. Lebih tepatnya, Aki. Tangan besarnya menyentuh batang – batang pohon momiji saat berjalan memutari taman.
“Jung!” suara sapaan seseorang menghentikan langkah Jungmo, dia segera menoleh ke sumber suara dan menemukan sosok laki – laki cantik, Minwoo, melambai ke arahnya.
“Ah.. kau,”  desah Jungmo kembali meneruskan langkahnya. Minwoo tersenyum sambil menggaruk kepalanya, perlahan menyejajari langkah kaki Jungmo, mengikuti arah pandangannya.
“Rupanya kau di sini, aku mencarimu kemana – mana,” kata Minwoo.
“Ada apa?”
“Ingin memastikan berita yang aku dengar, kau... tidak akan menggunakan kekuatan shinigami mu lagi, apa benar?” sahut Minwoo memegang pundak Jungmo dan sedikit menyentaknya agar laki – laki di sampingnya itu berhenti.
“Hmmmm..” hanya itu yang terdengar dari mulut Jungmo.
“Karena gadis itu? Kau benar – benar mencintainya?” selidik Minwoo menatap tajam Jungmo.
“Apa perlu aku menjawabnya?” sahut Jungmo sarkastis. Minwoo menggeleng. Melepas tangannya dari pundak Jungmo, merentangkan kedua tangannya sambil berputar. Dia berkata di sela senyumnya.
“Tidak. Dengan melihatmu sore ini disini sudah merupakan suatu jawaban.”
“....”
“Sekarang masih musim semi, seharusnya kau memandangi bunga sakura, bukan daun – daun hijau ini,” lanjut Minwoo saat melihat Jungmo hanya terdiam.
“Hmmm.. sakura, kau yang menyukai sakura, bukan aku,” kata Jungmo sedikit sinis tanpa menghiraukan derai tawa dari mulut Minwoo.
“Hahahahaha... kau benar, Jung,”
“Minwoo...” tiba – tiba suara Jungmo yang berubah serius menghentikan tawa Minwoo. Dia langsung menegakkan badan dan menatap wajah Jungmo, dari perubahan ekspresinya Minwoo sudah menebak apa yang mengganggu pikiran temannya itu.
“Apa?”
“Menurutmu salah satu pohon di sini adalah dia?” tanya Jungmo. Aki. Seperti tebakan Minwoo sebelumnya.
“Dia?  Siapa maksudmu? Aki?”
“Ya..”
“Entahlah. Dia sudah lenyap, Jung. Sudah tidak exis lagi sebagai siluman ataupun bentuk lainnya di dunia ini. Kau tahu itu kan?” sahut Minwoo jujur. Dia tidak ingin berbohong demi melegakan perasaan Jungmo. Toh, Jungmo juga sudah tahu jawabannya.
“Ya, aku tahu. Hanya....”
“Berharap ada keajaiban?” tebak Minwoo dijawab anggukan Jungmo yang masih memandang lurus pada sebuah pohon di depannya. Berharap tiba – tiba dari balik pohon itu muncul Aki, seperti yang sering gadis itu lakukan dulu setiap mereka bertemu.
“Begitulah,”
“Paling tidak kau sudah membuktikan janjimu pada Aki. Sekarang yang ada hanya kalian berdua, kau dan Aki. Yaa... meskipun dalam bentuk yang beda,” kata Minwoo berusaha menghibur. Namun, Jungmo menggeleng.
“Aku ingin menjaganya, tidak ingin melukainya. Malah aku yang menyebabkan dia tidak bisa tersenyum lagi,” elak Jungmo menghela napas. Rasanya penat. Minwoo tidak tahan melihatnya. Dia mengenal Jungmo bukan sehari dua hari, sudah bertahun – tahun dan baru kali ini melihat temannya yang selalu kuat, bijak dan cuek itu terlihat menderita bahkan seperti enggan untuk hidup. Well... dia sudah mati sih, sebenarnya.
“Jung, aku tahu kau sangat kehilangan dia. Andai ada yang bisa aku lakukan untukmu, akan aku lakukan. Katakan!” kata Minwoo menepuk dadanya.
“Mendengar hal itu dari mulutmu rasanya menggelikan,” sahut Jungmo meledek. Senyuman merekah di bibirnya dan itu sedikitnya membuat Minwoo lega.
“Sialan kau!” gerutu Minwoo mendorong tubuh Jungmo.
“Aku ingin tahu dimanapun dia, dalam bentuk apapun apakah dia bahagia dan sudah memaafkanku. Itu saja,” kata Jungmo.
“Simple tapi susah, Jung. Kecuali kau merengek pada kakeknya dengan resiko dia akan membunuhmu karena secara tidak langsung kau yang membuat Aki pergi,” kata Minwoo berusaha mengingatkan kenangan buruk itu sekali lagi pada Jungmo agar temannya itu tidak gegabah lagi. Minwoo memang shinigami, dia memburu hantu dan iblis. Bukan tugasnya berhadapan dengan kaum Aki.
Jungmo terpekur. Terakhir kali dia bertemu Aki adalah sore itu dimana mereka bertengkar karena Aki ingin mereka tidak usah bertemu lagi. Seandainya Jungmo menuruti keinginan Aki, mungkin Aki masih ada dan Jungmo masih bisa melihatnya meski diam – diam. Ketidak puasaan Jungmo hanya bisa melihat Aki tanpa bisa memiliki gadis itu yang menyebabkan semua ini.
Keputusan yang bodoh, sesalnya dalam hati. Dia pergi ke hutan di pegunungan Hokkaido menemui ketua kaum Aki yang ternyata adalah kakek Aki. Segala usaha sudah Jungmo tempuh dari cara yang paling halus sampai yang sedikit memaksa, hasilny??? Bukannya membunuh Jungmo, kakeknya malah membuat Aki kehilangan medalinya. Belakangan, Jungmo tahu dari Yuki dan Natsu, bahwa itu perjanjian antara Aki dan kakeknya. Memang Jungmo tidak tahu secara mendetail apa isi perjanjian Aki dan kakeknya, pada intinya Aki menukar jiwanya dengan keselamatan Jungmo.
“Sepertinya itu hukuman bagiku. Aku akan menyimpan rasa bersalah ini selamanya sampai aku musnah dan itu mungkin masih ribuan tahun lagi,” sesal Jungmo. Sehelai daun jatuh di atas kepalanya. Jungmo meraih dan menatap daun hijau itu. Ayolah, Aki.... kembalilah... keluhnya dalam hati.
“Apa perlu aku membunuhmu sekarang biar kau tidak usah merasa bersalah lagi?” tawar Minwoo pura – pura mengeluarkan belati dari balik kemejanya. Jungmo memukul kepala laki – laki cantik di sampingnya, mendelik kesal.
“Kau...”
“Becanda, Jung!! Hahahaha... aku rasa kau lebih mengenal Aki ketimbang aku,”
“Sangat mengenalnya dengan baik dan itu malah membuatku makin bersalah,” sahut Jungmo. Minwoo menggeleng melihat kelakuan temannya ini. Kalau tingkah Jungmo terjadi di depan pohon momiji waktu musim gugur, mungkin spirit pohon momiji akan sangat gembira melahap kesedihan, keputus asaan Jungmo dan menyeret laki – laki itu dalam kematian perlahan. Apalagi sekarang pemilik medali musim gugur bukan Aki lagi.
“Sudahlah, mau sampai kapan kau galau begini?? Apa kau masih ingin disini? Aku akan memberimu waktu untuk sendiri,” kata Minwoo seraya menepuk pundak Jungmo. Tanpa menunggu jawaban dari temannya, Minwoo memutar badannya dan berjalan menyusuri jalan setapak meninggalkan Jungmo yang langsung tersadar.
“Minwoo, tunggu! Aku akan pergi juga,”
Pluukkk..
Baru selangkah Jungmo berjalan, tiba – tiba sehelai daun momiji berwarna merah keemasan jatuh di depannya. Dia baru saja akan menunduk saat matanya menangkap fenomena aneh yang tidak mungkin terjadi di musim semi. Satu pohon yang berada 4 langkah di depan dia dan Minwoo merubah warna daun hijau menjadi merah seluruhnya. Terlihat menyolok di tengah lautan warna hijau dan merah muda. Minwoo yang tak kalah kaget berteriak pada Jungmo.
“Jung....”
“Aki....” desis Jungmo berkaca – kaca. Luapan emosi tak terbendung. Sedih, rindu, senang dan lega.
“Sepertinya kau sudah mendapatkan jawaban darinya,” suara Minwoo tersekat. Jungmo tersenyum diantara buliran air mata yang jatuh di pipinya. Aki.
“Ya...”

Prolog
Lagi – lagi Aki melihat sosok Jungmo muncul di tengah taman. Dia senang sekaligus sedih. Senang bisa melihat Jungmo sehat, sedih tatkala mendapati raut muka Jungmo yang sengsara. Seperti sore – sore sebelumnya sejak mereka terpisah, Jungmo selalu datang dengan menenteng gitar kesayangannya. Duduk di bangku dimana dulu mereka berdua selalu duduk, menyanyikan lagu kesukaan Aki. Kemudian, Jungmo akan memberesi gitarnya, berjalan memutari taman. Menyentuh kulit batang pohon dengan lembut seolah dia sedang memegang tangan Aki.
Aki ingin berteriak memberitahukan bahwa dia ada disana. Menjawab pertanyaan Jungmo ‘apakah dia memaafkan Jungmo?’, tentu saja tidak. Aki tidak perlu memaafkan Jungmo karena dia tidak bersalah apapun pada Aki. Aki sendiri yang memutuskan jalan hidupnya agar dia bisa memiliki Jungmo, agar Jungmo bisa memiliki dia tanpa terikat takdir yang mengerikan. Meskipun dalam wujud berbeda.
Sakura, yang juga berada tak jauh dari tempat Aki ikut terenyuh. Dia, Natsu dan Yuki tidak akan bisa lagi berkumpul di lembah untuk saling bertukar medali karena tugas Aki sudah selesai digantikan yang lain. Ikut sakit melihat air mata Aki yang tak terlihat mata, melihat Aki kini membisu terkurung dalam sebuah pohon. Dengan persetujuan Natsu dan Yuki, dia memutuskan memberikan hadiah bagi keduanya, Aki dan Jungmo.
“Aki, anggap ini ucapan perpisahan dan hadiah dari kami,” bisik Sakura pada sebuah pohon di tengah taman.
“Apa maksudmu?” tanpa menjawab pertanyaan Aki, Sakura menggunakan medalinya dan merubah semua daun pada pohon itu menjadi merah.
Musim semi
Musim panas
Musim gugur
Musim dingin
Sepanjang tahun, selamanya. Di tengah taman akan ada satu pohon yang daunnya selalu berwarna merah dan seorang pemuda yang menyandarkan kepalanya ke batang pohon itu.









No comments:

Post a Comment