Friday, August 24, 2012

MEMORIES


I never wanna see your back!!  Just once!! 
I wish you turn back and looking at me, then i'll run to you. i never wanna leave you but i won't see your back too. I hope you'll hold my hand and say "Don't go!"

Do you know?? 
I'll always hold back my tears while i walk away from you.
I wanna turn a back but i'm too scared i'll not see you again standing at there.
Sometimes  i hope you'll run after me and say "I'll never go"

Entah sudah berapa lama aku duduk termangu memandangi tetesan air hujan dari balik jendela kaca besar yang ada di kafe. Jari jemariku mengetuk pelan meja kayu kafe mendendangkan sebuah nada lagu dari album terbaruku. Topi hijau army Levi’s dan kacamata hitam Dior masih menyamarkan identitas asliku. Aku tak ingin pengunjung kafe heboh melihat kehadiranku dan mengusik kedamaianku. Untung saja sore ini hujan mengguyur Seoul sehingga orang-orang malas keluar rumah, apalagi ditambah udara dingin yang menusuk.
Aku masih terdiam, sesekali mengaduk pelan secangkir cappucino hangat di depanku yang mulai mendingin. Menunggu. Sama seperti waktu dulu, aku selalu menjadi pihak yang menunggu tanpa jelas akan kedatangannya. Sesekali aku melirik jam di pergelangan tanganku, aku menghela napas panjang saat menyadari sudah lebih 2 jam aku menunggunya dan entah akan berapa lama lagi aku menunggu. Aroma wangi cappucino dan strawberry shortcake menguar menghampiri hidungku membawa kembali memori – memori tentangnya, tentang kita. Terlalu banyak cerita yang belum selesai antara kita menyisakan sesak di dada ini. Tanpa sadar aku menyentuh sebuah cincin yang aku kalungkan di leherku. Akankah cincin ini terus ada di sini ataukah berpindah ke jari manisku???
Kliiing....
Suara denting lonceng pintu kafe yang terbuka membuyarkan lamunanku, ku lihat sosok orang yang aku tunggu berdiri di depan pintu mengedarkan pandangannya, sejurus kemudian dia tersenyum lebar mendapati keberadaanku dan berjalan ke arahku. Dia... berubah banyak dari terakhir kali aku bertemu setahun lalu. Rambut panjangnya kini dipotong pendek, rapi, tanpa warna mencolok hanya hitam natural. Celana jeans warna hitam dan jaket berwarna senada membalut tubuh kurus semampainya. Aku menghela napas lagi saat mataku terantuk pada syal berwarna merah di lehernya, yang aku tahu itu dari siapa.
Begitu sampai di hadapanku dia langsung menghempaskan tubuhnya dan tanpa basa basi meraih cangkir cappucinoku, langsung meneguknya sampai habis. Kebiasaan yang tak pernah berubah, hanya denganku dia mau berbagi makan dan minum. Belum sempat salah satu diantara kami membuka suara, ponselnya berbunyi dan tanpa melihat siapa yang menelpon dia mematikan ponselnya begitu saja. Lagi – lagi dia tersenyum, senyum yang selalu bisa meluluhkan hatiku meskipun aku takkan mau mengakuinya di depan dia. Setelah melepas syal merahnya, dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan mungil lalu menyodorkan padaku. Aku menatapnya dan bungkusan itu bergantian.
“Bukalah... itu sebagai ucapan maaf karena telat dan membuatmu menunggu,” katanya seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku. Aku tersenyum seraya membuka pelan bungkusan itu, tapi langsung melotot saat tahu apa isinya, sebuah jepit rambut berbentuk kupu – kupu berwarna pink!!! Dia bercanda!!! Aku mendelik kesal padanya yang terkekeh geli melihat ekspresiku.
“Yaah, Oppa!!! Kau.... sudah membuatku menunggu, tapi masih berani memberikan benda menggelikan ini?? Kau benar – benar minta dihajar!” gerutu kesal, namun tak urung memasukkan kotak berisi jepitan itu ke dalam tasku. Dia tertawa, tangan panjangnya menjulur ke arahku, mengacak lembut rambutku. Ku tepis tangannya pelan, bukan aku tak suka dengan perlakuannya, tapi karena akan mengingatkanku pada memori dulu dan perasaan yang masih ada dalam hati ini.
“Mian Hyeon... kau tak suka hadiah itu?” tanya dia menatapku. Aku melengos mengalihkan pandangan ke luar jendela yang masih menyuguhkan derai hujan.
“Kau marah Hyeon??? Mian, tadi oppa ada rapat di kantor makanya telat datang,” kata dia lagi saat melihatku masih terdiam. Aku menoleh ke arahnya dan menggeleng pelan.
“Ani... aku ga marah kok. Hanya kesal saja, kau sengajakan memberikan barang itu. Orang yang minta maaf tu kan seharusnya memberikan benda yang bisa buat orang senang, bukan malah sebaliknya seperti kau ini,” cerocosku menumpahkan kekesalan. Dia nyengir dan tanpa mempedulikan ocehanku dia memanggil waitress untuk memesan makanan. Aku lapar, gumamnya lirih tertangkap telingaku. Aku hanya bisa menghela napas berusaha membuang rasa kesal dalam hati ini, menatapnya sekilas dan mendapati tubuh kurusnya terlihat jelas dibalik tshirt merahnya.
“Kau kurus sekali, oppa,” kataku lirih. Dia menatapku dan tersenyum.
“Kenapa? Kau khawatir melihatku kurus? Atau kau takut tersaingi karena oppa lihat kau makin gemuk aja,” celanya lagi – lagi membuatku ingin menusuknya dengan garpu kue yang ada di depanku. Aku mendelik ke arahnya yang tertawa.
“Enak aja!!! Kau ini benar – benar menyebalkan!! Tidak pernah berubah dari dulu selalu membuat orang kesal. Mengejutkan kau datang juga meski telat hampir 2,5 jam, dulu kau suka membatalkan janji tiba – tiba,” sahutku kesal. Dia terdiam sejenak. Memandang derai hujan di luar sana, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Kenapa kau suka sekali mengungkit masa lalu, Hyeon?? Tak bisakah kau melihat sekarang dan esok?” tanya dia dengan raut muka yang sulit aku tebak. Masa lalu..... Jadi, dia tidak suka aku mengungkitnya. Itu artinya dia tidak ingin mengingat apapun yang berhubungan denganku atau kisah kami di masa lalu? Dia....
“Mian, oppa. Aku tak bermaksud marah padamu atau mengungkit masa lalu, mungkin aku hanya sedikit lelah,” sahutku menunduk menghindari pandangannya. 
“Kau tak berubah sedikitpun, aku kira Amerika akan menjadikanmu sedikit... kalem atau feminin,” katanya entah bernada mengejek, kecewa, atau becanda. Aku kadang tidak bisa menebak apa yang ada di balik otak anehnya itu. Aku hanya bisa menghela napas panjang menanggapi ucapannya.
“Amerika bukan sekolah kepribadian, oppa!! Dan kenapa aku harus merubah diriku? Oppa tidak suka denganku yang seperti ini?” sahutku sedikit ketus. Ya.. ya... aku tahu aku bukanlah gadis yang feminin, anggun, seperti gadis – gadis yang ada di sekitarnya.
“Aigoooo... kau masih  saja suka ngambek, ya” serunya seraya mencubit lembut pipiku.
“Oppa, bisa tidak kau berhenti memperlakukan aku seperti anak kecil?” kataku masih sedikit kesal. Dia nyengir dan pura – pura tak mendengar apa yang aku katakan barusan. Suasana hening kemudian karena dia sibuk menikmati makanan di depannya dan aku sibuk memperhatikannya sekaligus memutar kembali memoriku. Masa dimana aku masih memilikinya.
“Hyeon, jangan menatapku seperti itu. Aku tau pesonaku mampu membuat semua orang terpana, tapi ini di tempat umum dan aku sedang makan,” tegurnya usil membuyarkan lamunanku. Terkesiap kaget buru – buru aku mengalihkan pandanganku, kurasakan panas menjalari wajahku yang merah seperti kepiting rebus. Dia terkekeh geli dan lagi – lagi mengacak rambutku dengan gemas. Kali ini aku membiarkannya. Karena, jujur aku merindukannya. Sangat.
“Sudah waktunya aku pergi,” kataku membuat tangannya yang sibuk mengacak rambutku berhenti. Dia menatapku.
“Pergi?? Pergi kemana? Mokpo?” tanya dia bingung. Aku menggeleng lemah.
“Ani... aku akan ke Jepang hari ini. Dari sana aku langsung kembali ke Amerika,” jelasku lesu. Aku tidak mau pergi. Kalau bisa memilih, aku ingin ada disini, dekat dengannya meskipun tidak pernah bertemu sekalipun. Tapi berada dalam satu negara akan terasa dekat, bukan? Pelan aku mengangkat kepala dan terkejut mendapati raut mukanya yang lesu.
“Kapan kau kembali ke Korea?” tanya dia.
“Entahlah. Minggu depan album terbaruku rilis, setelahnya kau tau sendiri aku harus promo dan tour. Belum lagi jadwal SuperGirls juga padat. Wae??” makin nampak jelas gurat kelam di wajah tampannya. Wait.... kelam??? Kenapa dia harus memasang tampang seperti itu?? Tidak mungkin kan dia berharap aku tetap di sini, meskipun sebenarnya itu yang aku inginkan. Dia... menahan kepergianku. Dia terdiam tak menjawab pertanyaanku.
“Oppa, ada satu hal yang ingin aku tanyakan sebelum pergi. Pertanyaan yang selama ini menggantung dalam pikiranku,” kataku lagi. Dia melihat ke dalam mataku membuat jengah.
“Apa?”
“Sebelum kecelakaan itu kau membuat janji denganku. Apa yang ingin kau katakan?” tanyaku membuatnya terperanjat. Dia menggeleng lemah, lalu mulai memakai jaket serta syal merah bersiap beranjak pergi. Selalu begitu.
“Bukankah sudah aku katakan jangan mengungkit masa lalu? Apa kau lupa, Hyeon-ah, aku paling tidak suka dengan masa lalu?” kali ini ada nada kesal saat dia bicara. Tanpa bersuara akupun mulai membenahi barangku dan beranjak pergi. Tangan kekarnya menahan tanganku yang akan mengeluarkan dompet dari tasku.
“Hari ini biar oppa yang mentraktirmu,” katanya. Aku tersenyum kecut.
“Sebagai apa? Makan siang perpisahan?” sahutku ketus. Tangannya mulai mengendur sampai akhirnya dia melepaskan tanganku. Aku melangkah pergi meninggalkan dia yang masih mematung menuju meja kasir dan membayar, bukan Cuma makananku tapi bagian dia juga. Biar... Biar.... aku anggap ini sebagai ucapan terima kasihku karena dia datang menepati janjinya, tidak seperti terdahulu. Oh ya, aku tidak boleh mengenang masa lalu. Biarlah semua berlalu.
“Hyeon, apa nanti waktu kita bertemu lagi akan seperti ini??? Selalu bertengkar?” kata dia saat kami sudah berada dalam mobilnya. Dia bersikeras mengantarkanku ke bandara setelah menyuruh sopirku pergi duluan ke bandara membawa bagasiku. Aku terdiam. Hanya bertengkar sarana komunikasi kita, bukan? Dari dulu sampai sekarang kisah kita selalu diwarnai pertengkaran, kan. Dan itu juga pada akhirnya membuat kita lelah, oh..tidak...lebih tepatnya kau lelah lalu memutuskan pergi dariku.
“Entahlah, aku tak tau. Masa depan belum terjadi, kalau sudah terjadi baru kita tau. Dan saat itu tidak mungkin kan aku mengungkit masa lalu, bukankah oppa tidak suka??” sindirku ketus. Bisa aku dengar hela napasnya. Sesekali aku melirik lelaki yang ada di sampingku ini. Sekali saja aku ingin dia membiarkanku memasuki dunianya. Sekali saja.


New York
Malam menjelang midnite. Buliran air hujan mengaburkan jendela kaca mobil yang aku tumpangi. Jalanan berhiaskan lampu-lampu beraneka warna, seperti magic menyedotku larut dalam lamunan yang tak berujung. Aktifitasku untuk hari ini sudah berakhir tak seperti saat aku di Korea semua bakal berakhir saat pagi menjelang dan kembali beraktifitas bahkan sebelum matahari terbit. Hidup di New York memang tak seberat di Korea tapi siapa bilang tak perlu usaha keras????
Saat mobil berhenti di sebuah lampu merah dua blok dari apartemen, aku memberi kode pada sopir untuk menepikan mobil. Manager hanya menatapku dengan mata lelah kemudian mengangguk mengijinkan aku turun disana, dia tahu kondisi wilayah itu aman sehingga tak khawatir untuk membiarkan aku sendirian.
Sesaat setelah turun, udara dingin menyergapku. Musim semi hampir datang tapi memang suhu udara New York terkenal ekstrim bahkan lebih dingin dari puncak musim dingin di Korea sekalipun. Makin aku rapatkan mantel di badanku dan berjalan menyusuri jalanan yang mulai lengang menuju sebuah kafe di ujung jalan. Tanpa ragu mendorong pintu, melangkah masuk menuju kasir dan setelah memesan berjalan gontai ke arah meja favoriteku di balik pilar dekat jendela, sedikit tersembunyi.
Semua pelayan di kafe ini mengenalku, pada awalnya mereka heboh lambat laun mereka menganggapku konsumen biasa mereka dan menjaga privasiku. Ini yang aku suka dengan kehidupan New York, ‘just think your own bisnis’ tak seperti di Korea kemanapun aku melangkah fans, sasaeng, paparazi bahkan antis merendeng di sekitarku membuatku susah bernapas dan tak punya kehidupan. Salah satu alasan hubunganku dengan oppa tak berjalan mulus. Yah, bukan berarti keberadaanku di kafe ini tak beresiko kepergok fans atau paparazi. Hanya saja mereka lebih ‘manusiawi’ dan besok menjadi headline salah satu majalah.
Bosan mengamati jalanan lengang di luar kafe, aku mengeluarkan ipad dari tasku dan mulai berkelana di dunia maya.  Twitter. Satu persatu membalas mention orang – orang terdekatku, mention beberapa fans yang aku anggap menarik. Ada sekitar 5 mention dari adik kesayanganku mengatakan betapa dia merindukanku. Aku pun demikian. Ingin saat itu juga aku menelponnya, tersadar bahwa zona waktu kami berbeda. Disana dia pasti sibuk dengan aktifitas keartisannya apalagi sekarang dia sedang comeback. Ah.. mengingatnya membuatku teringat pada oppa.
Dia, cinta pertamaku dan sampai sekarang aku masih mencintainya. Semua orang kecuali orang – orang terdekat kami tidak tahu hubungan kami, mereka selalu mengira kami hanya sebatas oppa-dongsaeng karena itu yang selalu oppa katakan di variety show. Dan orang – orang percaya begitu saja setelah melihat perlakuan dia selayaknya pada seorang adik yang manja. Kalaupun orang memergoki kami sedang kencan berdua, tidak akan berpikir kami pacaran. Kedekatannya dengan beberapa artis perempuan, berpoto dan menguploadnya di berbagai sosial network yang dia punya terkadang membuatku cemburu dan kesal, meskipun aku tahu mereka hanya berteman.
Sampai sekarang aku tak pernah yakin posisiku di hatinya. Perlakuannya padaku sama seperti ke semua sahabatnya, tak terlalu istimewa mungkin hanya status ‘my girl’ yang itu juga tak terlalu dia umbar. Kadang aku berpikir dia lebih mencintai gadis itu karena di setiap variety show dia membicarakannya, wallpaper ponselnya pun gadis itu. Dia beralasan untuk menghindari gosip hubungan kami. Bahkan sampai detik ini, cincin yang dia hadiahkan untukku hanya tersimpan di balik bajuku menyatu dengan liontin kalung.
Tanpa sadar menghela napas panjang saat mataku tertumbuk pada salah satu postingan oppa yang menunjukkan potonya bersama seorang gadis dari salah satu group girl yang minggu kemarin baru aku temui di salah satu showcase, aku mengenalnya dan aku juga tahu dia hanya salah satu teman oppa. Entah kenapa masih ada rasa cemburu.
Yaaa.... hanya aku dan Tuhan yang tahu seberapa dalam dia ada dalam hatiku. Mungkin bagi sebagian orang yang tahu kisah kami, sudah tak ada lagi cinta untuknya di hatiku. Salah!! Hati ini masih sepenuhnya ada dia. Dia.. dan diaa.... Kim Heechul.

“Onnie.... semalam pulang jam berapa???? Saat kita kembali dari studio Onnie belum ada, tapi waktu aku ke kamar mandi kulihat kamar Onnie sudah terang..” cecar Sohyun sambil bergayut manja di lenganku. Kulirik sekilas wajah manja magnae SuperGirls itu. Mata bulatnya menatapku seperti anak anjing membuat siapa aja yang melihat langsung luluh.
“Kau ini... pagi – pagi sudah ribut seperti omma aja,” sahutku seraya mengaduk secangkir coklat panas. Sohyun merengut, masih bergayut manja, memaksaku setengah menyeretnya saat berjalan ke ruang makan. Di sana sudah ada magnae kedua, Hyuna sibuk menyisihkan sayuran dari sarapannya diiringi tatapan Jihyo.
“Kau juga Hyun, sampai kapan kayak anak kecil ga mau makan sayur?” tegurku sambil duduk di hadapan Hyuna masih dengan Sohyun yang bergayut.
“Aduuhh... onnie!! Sapa sih yang masak sarapan?? Udah tau kan aku ga suka sayur kok masih aja dikasih,” gerutunya tanpa menghiraukan teguranku. Jihyo hanya menggeleng menghadapi tingkah Hyuna.
“Onnie yang masak!! Sayuran kan sehat, Hyun. Udah jangan protes!!” seru Ming dari dapur. Hyuna memanyunkan mukanya dan mulai makan meski kadang masih melototi piringnya saat menemukan sayuran berwarna hijau.
Rutinitas pagi hari di dorm SuperGirls, selalu dipenuhi celoteh duo magnae yang super manja dan si super galak Ming. Tinggal aku dan Jihyo yang menjadi penonton. Suasana ini kadang membuatku kangen kalau sedang melakukan kegiatan solo dan harus pergi dari dorm untuk jangka waktu yang lama. Untung saja sekarang aku serta SuperGirls melakukan debut di Amerika jadi kami bisa tinggal di dorm bersama.
Aku, yang tertua menjadi leader sekaligus lead vocal di SuperGirls. Kemudian Ming, member keturunan China menjadi lead dance. Jihyo, tertua ketiga menjadi lead vocal. Kemudian duo magnae Sohyun dan Hyuna, sama – sama menjadi rapper di grup. Sebenarnya masih ada satu lagi member, seumuran dengan  Jihyo, EunHye, lead dancer. Dan seperti biasa pagi ini dia pasti sudah tenggelam dengan bukunya, di salah satu pojok ruangan dorm ini.
“Onnie!” seru Sohyun  mencubit lenganku membuatku berjengit dan buyarlah semua lamunan itu. Kutoleh magnae satu itu yang tengah melotot ke arahku.
“Pagi – pagi onnie sudah melamun. Pasti terjadi sesuatu semalam, ya?” selidiknya tidak saja membuat Hyuna menghentikan makan, bahkan EunHye melempar bukunya dan melesat ke arah meja makan dan tiba – tiba sudah duduk manis di sebelah Hyuna. Astagaaaa.....
“Aniya...” sahutku pendek menggelengkan kepala. Tapi sepertinya kelima pasang mata di depanku tak percaya.
“Aku dengar dari Seunghyun oppa, semalam onnie turun dari mobil 2 blok dari sini. Biasanya onnie suka sendirian kalau lagi galau,” kata Hyuna cuek masih mengaduk makanan bersayurnya. Astagaaa.... sejak kapan managerku itu jadi informan bagi Hyuna. Dan sejak kapan dongsaengku ini jadi paparazi??? Tuhaaannnn....
“Sejak datang dari Korea, onnie bersikap aneh. Pasti terjadi sesuatu di Korea, berhubungan dengan oppa, kan?” kali ini giliran mulut EunHye yang berkoar. Berharap ini bocah tenggelam dalam bukunya. Dari sekian dongsaengku, paling ngeri kalau EunHye udah bicara karena analisa dia selalu benar.
“Bukan. Onnie sedang memikirkan album solo Onnie berikutnya dan kebetulan semalam ada ide untuk menulis lagu baru SuperGirls,” kilahku. Bukan suatu kebohongan mengenai menulis lagu karena semalam memang menghasilkan satu lirik lagu, meski itu setelah mengusir kegalauan hatiku.
“Bukan karena oppa, kan? Semalam aku lihat dia ngetwit...” ucapan Sohyun terpotong oleh tatapan tajam Ming dan langsung membungkam mulut cerewet si magnae. Aku tersenyum simpul, tahu apa yang akan Sohyun ucapkan. Mereka kadang terlalu mengkhawatirkanku sejak terjadi kecelakaan 3 tahun lalu.
“Sudahlah, onnie baik – baik aja kalian jangan khawatir. Sudah... sudah... ayo kalian sana cek jadwal. Onnie hari ini ada showcase, sorenya baru ada jadwal SuperGirls. Onnie harus siap – siap nih,” kataku melepas gayutan Sohyun dan beranjak menuju kamar untuk siap – siap. Sayup kudengar suara Ming dari balik pintu kamarku sedang memarahi duo magnae.
Aku menghela napas panjang. Menatap potretku bersama dongsaeng dan oppa kesayanganku yang aku taruh di atas nakas dekat tempat tidurku.  Merindukan mereka di saat seperti ini, apa yang sedang mereka lakukan sekarang di Korea??? Apa mereka juga mengkhawatirkanku seperti member SuperGirls diluar sana??? Terlebih dongsaengku berhati lembut itu, kalau aku menelponnya sekarang, aku yakin dia menyadari ada sesuatu yang terjadi padaku dan langsung terbang seketika itu juga menyusulku ke New York. Andwee... aku tak boleh membuat semua khawatir. Andweee....


*TO BE CONTINUE*

No comments:

Post a Comment