“Shinmin!! Dengarkan penjelasan oppa
dulu!!” pinta Teuki oppa mengejar langkahku. Setelah hampir 2 minggu aku
menghindarinya, menolak teleponnya, dan sembunyi di rumah kakek demi agar tidak
bertemu dengannya saat dia mencariku di rumah. Hari ini akhirnya dia
menemukanku di kampus. Mencegatku di depan pintu kelas.
“Shinmin ga mau dengar apapun lagi,”
teriakku menutup telinga dengan kedua telapak tanganku. Mempercepat langkahku menyusuri
lorong kampus menuju halaman kampus. Sial!! Kenapa hari ini tepat pertama kali
aku masuk kuliah Kangin oppa harus ada operasi, sih???? Tangan Teuki oppa
berhasil mencekal lenganku dan menarikku untuk berhenti saat kami tepat ada di
jalan setapak taman. Memutar badanku setengah memaksa ke arahnya.
Untuk pertama kalinya setelah kejadian 2
minggu lalu aku berhadapan muka dengan Teuki oppa. Astaga!! Ternyata aku masih
mencintainya, degup jantung ini tak bisa berbohong. Aku membuang muka
menghindari tatapannya. Jangan sampai dia tahu masih ada cinta tersisa. Seharusnya aku membenci orang di hadapanku
ini, aku tidak boleh mencintainya lagi. Terdengar hela napas panjang Teuki
oppa. Belum ada suara keluar dari mulutnya, dia hanya menatapku.
“Shinmin, oppa…”
“Sejak kapan oppa tahu Shinmin adik Kangin
oppa??” tanyaku sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. Hatiku sakit
sekali….. harus aku tahan air mata ini, harus!! Tekadku dalam hati.
“Saat pertama kali kita bertemu di Padang,
aku sudah tahu,” sahut Teuki oppa lirih. Kupejamkan mataku menahan perih di
hatiku. Dari awal dia sudah berbohong, aku begitu bodoh untuk menyadarinya.
Ketulusan itu tak pernah ada.
“Oppa sangat baik padaku saat itu, karena
bermaksud balas dendam?” tanyaku lagi. Hari ini aku putuskan untuk
menghancurkan hatiku sedemikian rupa, demi sebuah kebenaran.
“Ne…”
“Oppa sengaja mendekatiku, lalu tiba – tiba
menghilang, bahkan saat kita ketemu lagi
di Seoul, Hyun Ra yang tiba – tiba magang di kantor oppa, menjadikan Shinmin pacar oppa, semua sudah
oppa rencanakan??” lanjutku bertanya. Alih – alih memandang Teuki oppa, ku
fokuskan mata dan pikiran pada deretan pepohonan di sekitar kami.
“Ne…”
“Kedatangan oppa di ulang tahunku juga
sudah oppa rencanakan?? Untuk membuat kedua oppaku terkejut dan terintimidasi?
Bukan karena Shinmin?? ” kali ini ada setitik air mata di pelupuk mataku yang
berusaha aku sembunyikan dengan mengerjapkan mata. Seuntai kalung pemberiannya
masih ada di leherku.
“Ne…” sahut Teuki oppa lirih. Kenapa tak
sekalipun dia mengeluarkan kata ‘tidak’ untuk pertanyaanku??
“Semua yang oppa lakukan untuk Shinmin
selama ini hanya bohong?? Demi balas dendam oppa?” tanyaku tajam, aku menatap
Teuki oppa sekilas.
“Ne..tapi…” dia tak melanjutkan
perkataannya, keburu aku potong dengan kalimat pedas yang juga menyakiti diriku
sendiri sebenarnya.
“Setelah semua itu, apalagi yang akan oppa
lakukan pada Shinmin untuk membalas kematian Hyun onnie? Membunuh Shinmin?”
“Shinmin!!” bentak Teuki oppa marah.
“Lakukan!! Kalau itu bisa membuat oppa memaafkan
Kangin oppa, kalau itu bisa menghapus duka oppa atas kematian Hyun onnie.
Lakukan, oppa!! Selesaikan dendam oppa!!” teriakku meluapkan segala emosi yang
ada.
“Kangin oppa sangat menyayangi Shinmin,
sama halnya dengan oppa pada Hyun onnie. Oppa sudah berhasil menjadi pacarku,
seperti Kangin oppa dan Hyun onnie. Oppa sudah membuat Shinmin terluka, patah
hati dan menangis. Apa yang Teuki oppa rasakan dulu, Kangin oppa sudah
mengalaminya sekarang. Tinggal satu hal. Kematian Shinmin!! Kalau Shinmin mati,
semua impas, kan!! Oke, Shinmin akan mati sekarang juga!!” kata – kata itu
meluncur begitu saja dari bibirku. Aku berteriak seperti orang gila saat
mengatakan semua itu, mencengkeram lengan Teuki oppa dan membiarkan air mata
membasahi pipiku.
Plakk!! Sebuah tamparan keras di pipiku
menyadarkanku. Teuki oppa menarikku dalam pelukannya. Sempat kulihat ada air
mata di sana.
“Shinmin!! Jangan bicara seperti itu,
jebal!!” bisiknya lirih. Membelai lembut rambutku, hal yang dulu sering dia
lakukan.
“WAe??? WAE??!!! Jangan katakan oppa sudah
jatuh cinta pada Shinmin, jangan bilang kalau semua itu bukan sandiwara lagi.
Oppa tidak boleh jatuh cinta pada Shinmin, adik orang yang telah menyebabkan
kematian Hyun onnie, adik kesayangan oppa!!” sahutku mendorong tubuhnya menjauh
dariku. Teuki oppa terperangah kaget, tak percaya dengan apa yang barusan aku
katakan.
“Shinmin, dengarkan penjelasan oppa,” kata
Teuki oppa memohon. Diraihnya lenganku yang langsung saja kutepiskan. Aku
menggeleng.
“Ga mau!! Shinmin ga mau dengar apa – apa
lagi dari oppa!! Shinmin sudah muak dengan kebohongan oppa! Shinmin ga tau apakah
kali ini oppa akan jujur atau tidak, bahkan tak tau dari sekian kata dan hal
yang udah oppa lakukan buat Shinmin apakah ada yang tulus. 1 menit saja dari
waktu kita bersama adakah yang benar – benar jujur, oppa?!!!” sahutku ketus di
sela tangis yang tak terbendung lagi. Tubuhku merosot sampai terduduk di
trotoar, entah darimana tiba – tiba sosok Hyun Ra datang dan memelukku erat. Dengan
sisa tenaga yang aku punya, merenggut paksa kalung di leherku dan membuangnya
ke tanah.
“Shinmin, mianhae…”
“Cukup oppa, cukup sampai sini saja.
Shinmin sudah hancur….. oppa berhasil. Chukhae…” kata Hyun Ra sinis. Teuki oppa tak bisa
berbuat apapun saat Hyun Ra mengangkatku berdiri dan membawa pergi dari hadapan
Teuki oppa.
“Teuki oppa, annyeong… good bye…” desisku
lirih, hanya mampu di dengar Hyun Ra yang makin mempererat pelukannya di
bahuku.
Hampir dua bulan aku berada di pulau Jeju,
menghabiskan liburan semester kuliah di rumah pamanku bersama Hyun Ra.
Peristiwa di kampus tempo hari merupakan terakhir kali aku bertemu dengan Teuki
oppa atau Park Jung Soo. Aku berusaha melupakannya, membuang semua kenangan
bersamanya, membunuh rasa cinta yang ada dalam hatiku. Seringkali berharap
waktu bangun tidur semuanya hanya mimpi atau tiba – tiba aku terkena amnesia,
tidak satupun kenangan itu kuingat. Kenyataannya, setiap membuka mata, semua
bagaikan film berputar begitu saja di kepalaku. Semakin aku berusaha melupakan,
semakin kuat ingatan itu menancap di kepalaku.
Selama 2 minggu sebelum berangkat ke pulau
Jeju, aku menyibukkan diri dengan ujian dan aktivitas di kampus. Berangkat pagi
– pagi dan pulang malam. Tidak lagi ikut serta makan bersama dengan keluargaku,
bahkan menolak membawa bekal bikinan omma. Kabur begitu saja setiap Kangin
oppa, Heechul oppa atau HanKyung oppa yang sudah kembali dari Afrika datang
menjemputku di kampus. Menyuruh temanku berbohong mengatakan aku sudah pulang
atau pergi kemana aja. Di rumah pun aku berusaha menghindari mereka semua, pura
– pura tidur saat salah satu dari mereka mengetuk pintu kamarku. Bukan karena
aku marah pada Kangin oppa atas apa yang terjadi padaku.
Kulakukan semua itu agar Kangin oppa,
Chulie oppa atau HanKyung oppa tak melihat kesedihan, patah hati, air mata dan
luka di hatiku. Terlebih Kangin oppa. Aku sekuat tenaga menutupinya, aku tak
mau dia merasa bersalah. Dia sudah menderita dengan selalu menyalahkan dirinya
sendiri atas kematian Hyun onnie, aku tak mau dia juga menyalahkan dirinya
sendiri karena menyebabkan aku jadi pelampiasan balas dendam Teuki oppa. Membayangkan
betapa hancur perasaannya melihat adik kesayangannya, aku, diperlakukan
sedemikian rupa. Kangin oppa mungkin beranggapan dia sudah mendapatkan balasan
setimpal telah merasakan hal yang sama dengan Teuki oppa beberapa tahun lalu.
Bagiku semua tak adil. Bukankah selama ini Kangin oppa adalah orang yang paling
terluka???
Sempat dua kali Teuki oppa datang ke rumah.
Aku mengintipnya dari balik pintu dapur, dia sedang bicara serius dengan Kangin
oppa. Tak ada pertengkaran antara mereka kala itu, tak seperti bayanganku,
mereka akan saling pukul. Kangin oppa bahkan tak bergeming untuk mengusirnya.
Aku tak mendengar apa yang mereka bicarakan, namun sejak hari itu hingga hari
ini aku tak lagi melihat Teuki oppa. Sehari setelah ujian semester usai, aku
langsung mengemasi koperku dan pergi bersama Hyun Ra tanpa berpamitan dengan
oppadeul yang waktu itu sedang ada di rumah sakit. Berkali – kali Kangin oppa
atau Chulie oppa menghubungiku, menanyakan kabarku. Aku baik – baik saja, hanya
lagi butuh sendiri menenangkan diri, begitu selalu jawabku. Dan mereka dengan
bijak membiarkanku.
Ada apa denganku??? Kenapa masih ada saja
rasa rindu ini untuk Teuki oppa?? Semua benda yang mengingatkanku pada orang
itu sudah aku buang atau aku bakar. Tersisa satu saja. Diriku!! Melihat diriku
sendiri di kaca mengingatkanku padanya. Rambutku, dia sering membelai atau
menarik – nariknya saat menggodaku. Pipi ini, dia pernah menciumnya. Mataku,
baginya bagai sepasang bola kristal. Bibir ini,
dia pernah menciumnya. Jemariku sering dia genggam, dan tanganku yang
selalu bergelayut manja padanya. Apa yang harus aku lakukan sekarang??
Menyingkirkan semua kenangan yang melekat pada tubuhku dengan apa? Bagaimana caranya??
“Shinmin….oppadeul datang,” bisik Hyun Ra
membangunkanku dari lamunan. Menoleh sebentar pada Hyun Ra dan mengikuti arah
pandangannya. Sosok Kangin oppa, Chulie oppa dan HanKyung oppa nampak turun
dari mobil.
“Ada…Teuki oppa juga,” sambung Hyun Ra
mengejutkanku. Dan, benar saja tak lama kemudian kulihat dia turun dari mobil
yang sama dengan oppadeul.
“Eh??? MWORAGO???? DIA…DISINI????” teriakku menoleh ke arah Hyun Ra. Kami saling berpandangan, sama – sama heran
melihat pemandangan aneh di depan mata kami. Bagaimana bisa orang itu bersama
dengan oppadeul??? Bukankah mereka saling bermusuhan?
“Hyun Ra, aku berharap ini semua cuma mimpi.
Aku ingin melupakan semuanya saat terbangun lagi, ga mau mengingat tentang
orang itu lagi,” keluhku. Memutar badan dan berjalan menjauhi Hyun Ra yang
langsung mencekal tanganku.
“Kau mau kemana?” tanya Hyun Ra dengan raut
khawatir. Aku memberikan kode dengan mataku kemana aku akan pergi, akhirnya
Hyun Ra melepaskan tanganku.
“Aku ga mau ketemu dengannya lagi. Suruh
dia pergi,” perintahku ke Hyun Ra.
“Shinmin!!” belum sempat aku berjalan jauh, panggilan Kangin oppa
menghampiri telingaku. Tak urung akupun berhenti melangkah dan berbalik
memandangnya yang sedang berjalan ke arahku.
“Kangin oppa…”
“Ada yang ingin oppadeul katakan padamu,
ini mengenai Jung Soo,” katanya setiba di hadapanku. Aku benci nama itu dan
ingin melupakannya, kenapa malah Kangin oppa menyebutnya??? Bukankah orang itu
yang ingin menghancurkan Kangin oppa?
“Shiro!!! Shinmin benci dia, kenapa oppa bawa dia kesini?? Shinmin benci
oppa!!!” teriakku memukuli Kangin oppa.
“Shinmin, dengar dulu. Ada yang harus kau
ketahui…” seru Kangin oppa mengguncang pundakku berusaha meredakan teriakan
kemarahanku.
“Shiro!! Shinmin ga mau dengar apapun tentang
dia. Shinmin benar – benar ingin melupakan segalanya tentang dia, oppa!!!”
teriakku seraya mendorong tubuh Kangin oppa sampai terjatuh ke tanah. Aku
berlari menjauh darinya. Tak mempedulikan teriakan Kangin oppa ataupun Hyun Ra.
Aku hanya ingin pergi jauh, ga mau melihat atau mengingat kenyataan ini. Semoga
semua ini hanya mimpi, hanya mimpi…..
“SHINMIN!!!”
Kemudian, hanya gelap dan rasa sakit luar
biasa yang aku ingat ketika sesuatu menabrakku.
-Emergency Room-
Kesibukan luar biasa tercipta sesaat
setelah tubuh Shinmin memasuki Emergency sebuah rumah sakit yang kebetulan
milik keluarga HanKyung. Kangin, Heechul, HanKyung dan 2 orang dokter lainnya
langsung sibuk memeriksa kondisi Shinmin. Hampir sebagian wajahnya tertutupi
darah, tangan Heechul berusaha menghapus darah itu dari wajah adiknya.
“Pendarahannya belum bisa berhenti,” teriak
Heechul melihat darah segar masih mengucur dari kepala Shinmin.
“Pasang tiga IV!” perintah HanKyung pada
perawat di sebelahnya yang langsung dengan sigap memasang selang ke tubuh
Shinmin.
“Beri dia oksigen, ambilkan beberapa unit
darah A positif!” giliran Heechul berteriak, tanpa banyak kata perawat lainnya
mengerjakan perintah Heechul.
“Ada luka di bagian belakang kepalanya,”
kata HanKyung pelan.
“Hyung, kita perlu foto scan kepala dan
foto sinar X!” seru HanKyung memberitahu Heechul. Sebenarnya perintah itu dia
tujukan pada assisten dokter bedah di sebelahnya.
“OKE!!”
“Awasi terus tanda vitalnya,” kata HanKyung
menoleh pada seorang perawat.
“Baik!”
“Ada patah tulang di bagian lengan kirinya,
retak di pundak kiri, tidak ada tanda trauma,” kata Kangin setelah melakukan
pemeriksaan sekilas pada tubuh Shinmin. Untuk saat ini dia tidak bisa berbuat
apa – apa, yang terpenting bagaimana agar Shinmin bisa melalui masa kritis ini.
Kangin memandang ke arah HanKyung yang dengan sigap melakukan pertolongan pada
Shinmin.
“Dok, tekanannya menurun,” seorang perawat
berteriak.
“Berikan dia lidokain dan epinefrin!
Sekarang!!” bentak HanKyung. Matanya tak lepas dari monitor yang menunjukkan diagram
tanda vital kehidupan Shinmin. Seorang anestesiolog mengerjakan perintah
HanKyung dan menginjeksikan sesuatu ke dalam pembuluh balik Shinmin.
“Kangin,
Hyung, aku ambil alih dari sini,” kata HanKyung tanpa mengalihkan pandangannya
dari monitor.
“Oke. Selamatkan dia Han, kami serahkan
Shinmin padamu,” kata Heechul menepuk pundak HanKyung.
“Jangan khawatir, aku pasti melakukan
segala yang aku bisa untuk menyelamatkannya,” janji HanKyung.
“Gomawo…” sebelum pergi meninggalkan ruang
Emergency, Heechul menatap tubuh Shinmin yang tergolek tak berdaya. Untuk saat
ini dia hanya bisa mempercayai kemampuan HanKyung dan dokter lainnya yang
menangani Shinmin. Dia bisa menangani kasus kanker, tapi untuk kasus kecelakaan
Shinmin, HanKyung ahlinya.
Di luar ruangan, Kangin dan Heechul
bergabung dengan Jung Soo, Hyun Ra dan kedua orang tua mereka. Hanya kesunyian
diantara doa yang terus diucapkan dalam hati mereka masing – masing. Sesekali
Kangin melirik ke arah Jung Soo yang pucat pasi, seandainya tadi dia tak memaksa
Shinmin menemui laki – laki itu mungkin kecelakaan ini tidak akan terjadi.
Seandainya dia tak mencetuskan ide gila beberapa hari lalu untuk menjemput
Shinmin dengan membawa Jung Soo, mungkin Shinmin sedang tertawa sekarang.
Seandainya dia memberitahukan pada Shinmin yang sebenarnya sebelum
mempertemukan mereka berdua, tidak akan seperti ini kejadiannya. Ah, penyesalan
tak akan merubah apapun.
Pikiran sama muncul dalam benak Jung Soo.
Tidak pernah terlintas dalam benaknya niat untuk meluruskan masalah antara
mereka berdua berakhir seperti ini. Sesekali dia memejamkan matanya, tersentak
saat menyadari sesuatu. Dia pernah merasakan betapa perih kehilangan seorang
adik kesayangan karena kecelakaan, dan sekarang pastinya Kangin dan juga
Heechul merasakan hal yang sama. Terngiang di kepalanya ucapan Shinmin sewaktu
mereka terakhir kali bertemu.
“Kangin oppa sangat menyayangi Shinmin,
sama halnya dengan oppa pada Hyun onnie. Oppa sudah berhasil menjadi pacarku,
seperti Kangin oppa dan Hyun onnie. Oppa sudah membuat Shinmin terluka, patah
hati dan menangis. Apa yang Teuki oppa rasakan dulu, Kangin oppa sudah
mengalaminya sekarang. Tinggal satu hal. Kematian Shinmin!! Kalau Shinmin mati,
semua impas, kan!! Oke, Shinmin akan mati sekarang juga!!”
Inikah yang dia inginkan??? Apa benar
kematian Shinmin bisa melepaskan dirinya dari niat balas dendam??? Sekarang
Kangin merasakan hal yang sama dengannya. Dan dia juga merasakan hal yang sama
dengan Kangin ketika mengetahui Hyun Young meninggal. Dia tak pernah berpikir untuk
menempatkan dirinya sendiri pada posisi Kangin. Mereka sama – sama kehilangan
orang yang mereka sayangi, kenapa dia begitu egois berpikir kalau hanya dia
saja yang terluka dan berduka karena kehilangan itu???
Dia… tidak bisa kehilangan lagi. Shinmin,
bertahanlah!!
Operasi penyelamatan Shinmin berlangsung
selama 6 jam. 6 jam yang bagaikan seabad bagi semua orang. Untuk operasi
selanjutnya yang memerlukan ahli ortopedi, HanKyung menyerahkannya pada Kangin.
Mereka berdua berusaha keras. Sudah ribuan kali Kangin menangani kasus
kecelakaan ataupun patah tulang, namun karena kali ini pasiennya adalah
Shinmin, dia meningkatkan seribu kali ketelitian. Membuang rasa gugup dan takut
kehilangan Shinmin.
Ketika operasi selesai dan Shinmin
dipindahkan ke ruang ICCU, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Meskipun
lelah, keempat dokter ahli, yaitu HanKyung, Kangin, Heechul dan Kim Sooro tidak
beranjak dari sebelah Shinmin. Mereka memberikan perhatian ekstra terhadap
Shinmin. Selain mereka berempat, untuk sementara tidak ada yang bisa
menjenguknya, termasuk Choi Min Ji, ibu Shinmin. Kondisi Shinmin masih kritis.
HanKyung memutuskan untuk sementara tak ada
lagi yang dapat dilakukan mereka. Sekarang semua bergantung pada usaha Shinmin
dan kemauan Shinmin untuk bertahan hidup serta berjuang dari masa kritis ini.
Napas Shinmin sudah lebih teratur dan denyut nadinya pun lebih kuat. Tidak ada
cedera parah di kepalanya, hanya sobekan kecil di kulit kepala dan memar di
bagian belakang kepalanya. Setelah Shinmin sadar, baru akan diketahui dampak
dari memar itu. Patah maupun retak yang di derita pada beberapa bagian tubuhnya
juga tidak begitu serius, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kangin menjamin
adiknya tidak akan cacat.
“Shinmin, bertahanlah!” bisik Kangin
menggenggam kuat jemari adik kesayanganya itu. Tanpa terasa air mata menetes.
Dalam hati dia meminta roh Hyun Young melindungi Shinmin.
---------------
Aduh, kenapa ini? Ada apa denganku?? Kepala
dan hampir sekujur tubuhku terasa sakit semua. Mataku juga terasa berat, berapa
kali aku berusaha membuka mata tapi sulit sekali. Kedua kakiku mati rasa.
Kepalaku…kepalaku…. Seperti ada batu menimpa, berat dan sakit sekali. Mana ini
tanganku?? Aku ingin menggapai atas kepalaku untuk menyingkirkan batu sialan
itu. Kenapa susah sekali. Dan ini lagi, suara apa itu terus berdengung di
telingaku. Berusaha mengumpulkan tenagaku yang entah berpencar kemana aja untuk
membuka mata dan menajamkan pendengaranku. Omma??? Suara tangis omma. Aku
mendengar namaku dipanggil. Siapa dia?? Oppa??
“Omma…” suaraku terdengar aneh. Aku membuka
mata dan berusaha melihat orang – orang yang ada di sekitarku. Wajah – wajah
terkejut dan bahagia mereka.
“Shinmin….gwenchana??” tanya omma membelai
lembut kepalaku. Aku meringis kesakitan. Aigoo… aku abis ngapain, sih??? Satu
persatu wajah yang semula kabur tampak membayang mulai jelas di mataku. Omma,
appa, Hyun Ra, Kangin oppa, Chulie oppa, HanKyung oppa dan beberapa orang yang
baru aku lihat hari ini. Pandanganku mulai kabur lagi.
“Omma, Shinmin dimana ini? Shinmin kenapa?”
tanyaku menoleh pada omma. Melihat semua orang itu membuatku pusing. Aku
memicingkan mataku berusaha fokus melihat wajah omma yang nampak kusut.
Sesekali tanganku berusaha menyentuh kepala namun segera dicegah oleh HanKyung
oppa.
“Ini di rumah sakit, kau kecelakaan,” jelas
omma diantara isak tangisnya. Kecelakaan??? Aku?!!! Kapan??? Aku belum bisa
mengingat apapun mengenai kecelakaan itu. Ah, oppa!!!
“Kangin oppa!! Bagaimana dengannya? Apa dia
tidak apa – apa??” tanyaku panik berusaha mencari sosok Kangin oppa. Saat
kecelakaan itu kami sedang bersama.
“Kangin??” ulang omma bingung. Dia menoleh
ke belakangnya. Satu sosok tiba – tiba menghampiri dan langsung menggenggam
tanganku.
“Shinmin, ini oppa…. gwenchana,” ada
seseorang berbisik di telingaku. Suara Kangin oppa. Aku menghela napas lega
melihat dia selamat.
“Syukurlah… syukurlah oppa tidak terluka,”
kataku diliputi rasa bahagia. Aku menggenggam tangan oppa tidak ingin
menlepaskannya lagi. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya lagi?
“Apa maksudmu?” tanya Kangin oppa menatapku
dengan pandangan tak mengerti. Beberapa suara berbisik agak jauh dari tempat
aku berbaring, ada suara appa.
“Bukankah kita dalam satu mobil waktu
kecelakaan ini?” kataku memandang Kangin oppa. Apa maksud oppa dengan pertanyaan
dan pandangan bingungnya itu. Aku makin bingung dengan reaksi omma dan Kangin
oppa yang nampak kaget dan saling bertukar pandang.
“EH??!!”
“Hmmm…Shinmin, sebaiknya kau jangan banyak
bicara dulu. Istirahatlah…” kata HanKyung oppa menyuruhku. Dia memberikan kode
pada Kangin oppa yang langsung tersenyum. Aku sempat melihat raut cemas di
mukanya tadi. Ada apa sebenarnya?? Kenapa semua orang bertindak aneh sekali???
Perlahan karena lelah dan rasa sakit, aku mulai tertidur lagi.
Kepalaku masih pusing. Keesokan harinya
oppadeul datang menjengukku, kecuali HanKyung oppa yang memakai seragam
dokternya semua memakai pakaian santai. Baru kali ini aku melihatnya seperti
itu, biasanya dia selalu memakai baju santai. Dari ketiga oppaku, menurutku
hanya HanKyung oppa yang benar – benar pantas sebagai dokter. Aku tersenyum menahan sakit menyambut mereka.
Kangin oppa langsung duduk di ujung tempat tidur dekat kakiku, Heechul oppa
mengambil kursi di sebelahku, HanKyung oppa berdiri di sebelahnya dan seorang
lagi, entah siapa berdiri tak jauh dari Kangin oppa. Raut cemas terbayang di
wajah mereka berempat. Ada apa, sih???
“Shinmin, apa kau ingat bagaimana kau
kecelakaan?” tanya HanKyung oppa menatapku.
“Ga. Terakhir kali yang Shinmin ingat,
pulang dari kantor Red Cross bersama Kangin oppa. Berniat belanja untuk
keperluan pergi ke Padang dan tertidur di mobil, sewaktu Shinmin bangun sudah
ada di rumah sakit,” sahutku berusaha mengingat hal terakhir apa yang aku
lakukan. Seharusnya kami pergi ke Padang kan, minggu ini.
“Benar itu hal terakhir yang kau ingat?”
giliran Heechul bertanya. Kangin oppa dan orang tak kukenal itu saling bertukar
pandang.
“Iya. Memangnya berapa lama Shinmin tidak
sadar diri?” jawabku. Aku menatap Heechul oppa. Terlihat banyak perubahan pada
dirinya, rambut merahnya sekarang jadi coklat dan agak pendek. Kapan dia potong
rambut??? Saat aku ga sadar diri??
“1 minggu,” sahut Heechul oppa membuatku
terperangah. Apa???!! 1 minggu???? Pantas saja aku merasa ada yang aneh pada
diriku.
“EH?? APA??!! Berarti… gara – gara Shinmin,
oppadeul tidak jadi ke Padang?” tanyaku merasa bersalah. Masyarakat Padang
membutuhkan bantuan HanKyung oppa dan Kangin oppa, dan hanya karena kecelakaan
kecil yang menimpaku mereka membatalkan berangkat kesana??? Bukannya menjadi penolong
seperti yang aku inginkan sewaktu mendaftar menjadi sukarelawan, aku malah
mencegah secara tidak langsung orang lain berbuat baik. Aku memandang dengan
tatapan sedih pada oppadeul yang sedari tadi tidak henti – hentinya saling
bertukar pandang.
“Shinmin….. apa kau kenal orang di sebelah
sana itu?” tanya HanKyung oppa menunjuk pada orang disebelah Kangin oppa. Aku
menatap orang itu…. siapa dia??? Meskipun aku tak mengenalnya kenapa aku merasa
bahwa aku dekat denganny? Aish!! Mikir apaan, sih!!
“Aniyo….,” sahutku menggeleng. Lagi – lagi
oppadeul bertukar pandangan satu sama lain. Lalu menoleh ke arahku dengan
tatapan tak percaya.
“Dia, Lee Teuk. Teuki,” kata Kangin oppa
memperkenalkan orang tersebut. Teuki??? Terasa tidak asing di telingaku.
“Ah… Teuki-ssi, annyeonghaseyo…” sapaku
seraya sedikit membungkukkan badanku. Dia hanya tersenyum kecil. Senyum yang
begitu dipaksakan.
“Shinmin, apa benar kau tidak ingat siapa
dia?” sekali lagi Heechul bertanya membuatku bingung, tak mengerti dengan
pertanyaan oppa yang sedari tadi diulang mulu. Kenapa hari ini aku merasa
diinterogasi.
“Apa sih, maksud oppa. Shinmin baru
melihatnya hari ini, memangnya dia siapa? Teman oppa?” aku balik bertanya pada
Heechul oppa. Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah memelukku erat sampai
aku sesak napas. Dari balik pelukan Heechul oppa, aku melihat orang bernama
Teuki menunduk dan pundaknya terus saja ditepuk oleh Kangin oppa. HanKyung oppa
kudapati menghela napas dan mencoba menahan air matanya. Emang siapa yang
mati?? Kenapa dari kemarin semua orang bersikap aneh?? Apa hubungannya
denganku, kecelakaan ini dan orang itu?? Apa sesuatu yang buruk terjadi
padaku??
“Oppa… sebenarnya ada apa?? Sesuatu yang
buruk menimpakukah?” aku memandang Heechul oppa meminta penjelasan. Dia menggelang
dan berusaha tersenyum, masih mengusap kepalaku dengan lembut.
“Aniyo… tidak ada apa – apa. Sudahlah, kau
istirahat dulu. Mungkin karena shock kau sedikit melupakan sesuatu,” sahutnya
menghiburku. Jawabannya malah membuatku bingung. Bergantian aku memandang
Heechul oppa dan Kangin oppa lalu beralih pada HanKyung oppa.
“Lupa??”
“Tidak usah kau pikirkan. Besok, oppa akan
melakukan serangkaian tes padamu. Sekarang sebaiknya kau istirahat dan tidak
usah berpikir macam – macam. Arrasseo??” HanKyung oppa tersenyum lembut dan
menggenggam tanganku pelan. Tumben Kangin oppa tidak bereaksi, biasanya kalau
HanKyung oppa menyentuhku dia langsung mencak – mencak. Aku tahu tanpa mereka
mengatakan sesuatu, ada yang tidak beres padaku, sesuatu yang serius.
Kuanggukkan kepalaku pelan.
“Ne. Oppa, gomawo…”
Tersisa Heechul oppa yang menjagaku.
Berkali – kali aku memergoki dia secara sembunyi – sembunyi menghapus air
matanya atau menghela napas. Pertanda kalau oppa sedang risau. Dan saat
mendapati aku memandangnya, dia melempar senyum. Apa aku akan mati???
No comments:
Post a Comment