Saturday, January 23, 2016

COAGULATION: part 6

    “Oppa, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku heran melihat kemunculan mendadak Teuki oppa. Dan dia datang sendirian, padahal biasanya selalu bersama oppadeul. Tak menjawab pertanyaanku malah tersenyum dan menghampiri tempat aku duduk. Dia menyerahkan sebuket bunga tulip, bunga kesukaanku.
    “Kenapa?? Kau tak suka oppa datang?” tanya dia lembut. Aku menggeleng.
   “Bukan begitu. Kan Shinmin besok udah pulang ke Seoul, kenapa oppa harus repot – repot datang kesini?” kataku beralasan. Sebenarnya aku sedikit merasa tak nyaman saat ini kalau hanya berdua saja dengannya.
    “Tidak ada salahnya kan, oppa datang menjemput pacar oppa?” kata Teuki oppa sambil tersenyum.
    “Menjemputku??” seruku membelalak.
    “Ne. Lebih baik menjemputmu langsung di sini daripada di bandara, kan? Keberatan?”
   “Aniyo… Shinmin sama sekali ga keberatan,” sahutku tersenyum simpul. Teuki oppa menatapku tajam, entah kenapa saat melihat matanya aku merasakan sesak di dada. Ada apa ini?
    “Kenapa oppa melihat Shinmin seperti itu?” tanyaku salah tingkah, bisa aku rasakan rasa panas menjalar di kedua pipiku. Lagi – lagi Teuki oppa hanya tersenyum. Dia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya lembut, jantungku berhenti berdetak.
    “Sebelum kembali ke Seoul ada yang oppa mau bicarakan denganmu,” kata Teuki oppa lirih. Meskipun bibirnya terus tersenyum, entah kenapa aku tahu dia sedang sedih. Mungkin kah karena kami sepasang kekasih makanya aku bisa merasakan suasana hatinya?
   “Ada apa? Apa yang ingin oppa katakan?” tanyaku penasaran, sebagian hatiku sebenarnya tidak ingin mendengarnya. Sekali lagi Teuki oppa menatapku dan menghela napas.
    “Oppa tidak ingin kau mengingat apapun tentang oppa, tentang kita. Oppa tidak ingin memaksamu melakukan hal yang tidak kau inginkan, lupakan oppa. Mulailah hidup baru, tanpa oppa,” kata – kata itu meluncur dari bibirnya dan menusuk di relung hatiku. Aku mungkin tidak mengingatnya sama sekali, tapi hati tidak pernah bisa berbohong kan. Hatiku mengatakan bahwa aku pernah mencintainya orang itu dan mungkin sekarangpun masih. Aku menatap Teuki oppa tak percaya.
    “Oppa....”
   “Shinmin, apa kau tahu penyebab kau kecelakaan? Itu karena oppa. Hari dimana kau kecelakaan, oppa bermaksud mengakhiri hubungan kita karena oppa akan pergi ke Amerika. Ini...akan lebih mudah bagi kita berdua. Kau juga tidak akan merasakan sakitnya perpisahan kita karena di memorimu oppa tidak ada. Lagipula oppa tidak bisa memaksamu mengingat demi keegoisan oppa,” sambung Teuki oppa berusaha tersenyum. Perlahan dia melepaskan kedua tanganku. Aku terperangah tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Ada rasa sesal dan bersalah dalam hatiku, tak tau apa.
    “Oppa, mianhae....” desisku pelan. Teuki oppa menggelengkan kepalanya, dia menyentuh kepalaku lembut.
    “Untuk apa kau minta maaf?? Tidak ada yang perlu dimaafkan karena kau tak melakukan kesalahan. Oppa yang seharusnya minta maaf, membuatmu melalui ini semua. Setiap kau berusaha mengingat tentang oppa, kepalamu sakit bukan? Mianhae.... mulai sekarang kau tidak akan merasakan sakit itu,” sahutnya .
   “Oppa, ini tidak adil untukmu. Mianhae... jinjja mianhaeyo... Shinmin tidak mengingat oppa,” sebutir air mata turun di pipiku. Teuki oppa mengusapnya dengan lembut, membuat air mataku menderas. Sejurus kemudian Teuki oppa membawa tubuhku ke pelukannya. Ada perasaan familiar dengan pelukan ini.
    “Oppa... bukan yang terpenting dalam hidupmu. Melupakan oppa bukan suatu kesalahan, jangan merasa bersalah. Selama kau tersenyum, oppa akan bahagia,” bisiknya menepuk punggungku pelan. Sebenarnya aku berharap dia memelukku lebih erat lagi, tapi dia malah melepaskanku dan mundur selangkah sambil tersenyum menatapku.
     “Oppa....”
   “Nah, sepertinya ini hari terakhir oppa menjadi kekasihmu. Setiba di Seoul, jadilah Shinmin yang dulu sebelum bertemu dengan oppa,” kata Teuki oppa secerah mungkin. Dia berjalan ke arah jendela dan menatap keluar, punggungnya seakan berkata betapa dia terluka. 
    Sejenak tidak ada percakapan diantara kami berdua, sibuk dengan pikiran masing-masing. Dulu, pertama kali aku siuman aku melihatnya sebagai orang asing. Bahkan beberapa hari setelah tahu dia adalah kekasihku, aku masih menganggap dia bukan siapa – siapa. Tapi kenapa hari ini aku merasa terluka?? Kenapa aku seperti tidak rela melepaskan orang yang ada di depanku ini?? Aku masih menatap dia yang masih asyik melihat laut di kejauhan dari jendela kamarku, walau aku yakin dia seperti itu karena tidak ingin memperlihatkan wajah sedihnya pada diriku.
    “Kapan oppa ke Amerika?” tanyaku memecah keheningan. Dia mengalihkan perhatiannya dari jendela dan menatapku.
     “Lusa,” sahutnya singkat. APA??!
    “Sehari setelah Shinmin kembali ke Seoul??!!” tanyaku kaget. Ku kerjap – kerjapkan mata tak percaya.
    “Seharusnya oppa pergi 2 minggu yang lalu. Kenapa?? Kau tidak ingin bilang ‘jangan pergi’ ke oppa, kan?” katanya sedikit menggodaku. Aku tersenyum.
    “Bagaimana kalo tiba – tiba Shinmin ingat tentang oppa?” tanyaku.
   “Jangan. Jangan pernah ingat tentang oppa atau tentang kita. Ini akan lebih baik bagi kita dan semuanya. Biarlah semuanya terkubur, biarlah semuanya jadi kenangan indah bagi oppa. Cukup begitu saja. Oppa tidak bisa menyakitimu lagi,” kata Teuki oppa menatapku lembut.
    “Oppa, apa ada sesuatu yang tidak seharusnya Shinmin ingat? Bagaimanapun pasti ada kenangan indah dengan oppa, Shinmin tidak bisa melepaskannya begitu saja.”
Teuki oppa menggelengkan kepalanya. Dia menghampiriku dan mengusap puncak kepalaku penuh kasih. Entah kenapa aku ingin sekali memeluknya, tapi dari gestur tubuh oppa dia seperti mendirikan tembok penghalang antara aku dan dia.
    “Shinmin, kalo suatu saat ingatanmu kembali, oppa akan kembali padamu. Tapi oppa tidak bisa bersamamu sekarang, oppa berharap kau tidak terlalu keras berusaha mengembalikan ingatanmu,” ucap Teuki oppa berjanji. Dia berlutut di hadapanku, menatapku lembut dan menggenggam jemariku.
    “Apa ini artinya oppa tidak ingin bersama Shinmin?? Apa dulu Shinmin melakukan kesalahan pada oppa sampai oppa begitu membenci Shinmin?” tanyaku penasaran. Bagaimana mungkin ada orang rela dilupakan oleh kekasihnya??? Kesalahan apa yang aku perbuat sampai Teuki oppa bahkan tidak menginginkan ingatanku kembali?? Aku menatapnya dengan penuh tanya, seulas senyum membayang di bibirnya.
    “Tidak, justru oppa yang bersalah padamu. Dan karena oppa sangat menyayangimu, ini semua demi kebaikan Shinmin,” katanya lagi – lagi menyalahkan dirinya sendiri.
    “Oppa.....”
    Sejenak hening melanda.... jemariku masih dalam genggaman tangan Teuki oppa yang terasa hangat. Kehangatan itu menjalar ke hatiku tapi diiringi dengan rasa nyeri yang aneh. Sekuat tenaga aku berusaha mengingat secuil kenanganku dengannya, menyebabkan kepala terasa tertusuk. Tanpa sadar aku meringis menahan sakit. Tiba – tiba aku rasakan tangan besar dan hangat Teuki menyentuh kedua pipiku, saat aku membuka mata wajah kami berjarak tidak lebih dari sejengkal. Aku bisa melihat mata Teuki oppa berwarna coklat, menyejukkan, ingin sekali aku tenggelam di dalamnya. Dan tanpa aku sadari, rasa sakit di kepalaku menghilang.
    “Shinmin, jebal.... jangan berusaha mengingat apapun,” kata Teuki oppa lirih. Aku terkesiap saat menyadari ada kristal bening membayang di kedua matanya. Seperti tersihir, aku mengangguk. Dia lalu melepaskan kedua tangannya dari pipiku, berdiri dan berjalan menuju pintu. Ketika tangannya memegang knop pintu, dia menoleh ke arahku.
    “Mau jalan – jalan ke pantai?? Kau masih punya waktu 2 jam lagi untuk check up kan??” Tanpa pikir panjang lagi aku menerima ajakannya dan berlari menghampiri Teuki oppa yang langsung menarik lenganku. Seperti dejavu. Berjalan berdua bergandengan tangan menyelusuri lorong panjang, aku tertawa dan Teuki oppa tersenyum simpul saat aku sandarkan kepalaku di pundaknya. Aku......  termangu menghentikan langkahku, menatap Teuki oppa yang juga menghentikan langkahnya balik menatapku heran. Tadi... apa yang aku lihat??? Ingatan masa laluku bersama Teuki oppa kah?? Terlihat sangat bahagia diriku.
    “Ada apa?” tanya Teuki oppa heran. Segera aku tepiskan bayangan itu dari benakku. Dan tersenyum pada Teuki oppa.
    “Aniyo... “ Aku menggeleng dan menarik tangan Teuki oppa menuju pantai yang tak jauh dari rumah sakit.
    Sepanjang sore itu, tidak ada percakapan apapun antara kami. Diam membisu hanya bahasa tubuh yang bicara. Mungkin aku tidak ingat siapa Teuki oppa, kekasihku, kenangan bersamanya. Tapi, sore itu aku memutuskan untuk membuat kenangan baru bersamanya. Hari ini adalah hari terakhirku sebagai kekasihnya, dan meskipun hari ini adalah satu – satunya kenangan indah yang bisa aku ingat saat menjadi kekasihnya aku tak menyesal. Menyusuri pantai menapaki pasir putih membiarkan ombak menjilati kaki – kaki kami dan menghapus jejak yang telah kami buat. Tidak usah peduli, bukankah masih bisa membuat jejak baru, biarlah jejak yang tertinggal itu menghilang tak perlu di toleh atau di sesali. Sama halnya dengan ingatanku dengan Teuki oppa, yang terpenting adalah saat ini. Kalaupun ada suatu yang menyakitkan, biarlah! Biarlah hilang dibawa ombak ke tengah lautan.

    Hari bergulir cepat, minggu berganti dan  setahun sudah berlalu.
    Musim gugur sudah hampir di depan mata. Pagi ini aku terbangun dengan sakit di kepala seperti pagi – pagi sebelumnya. Aku sudah mulai terbiasa dan tidak sekalipun mengatakan pada oppadeul atau appa karena akan membuat mereka khawatir saja. Masih berselimut aku duduk di tempat tidur menghela napas panjang mengingat mimpi yang aku alami. Mimpi yang sama, membuatku terbangun dengan kepala seperti mau pecah. Jalanan dengan pohon sakura, mobil berwarna silver, secangkir coffelatte, seiris puding caramel dan kalung berhiaskan angel. Bagai potongan puzzle yang harus ditata, sayangnya aku tidak tahu cara untuk merangkainya.
    Mimpi ini selalu datang sejak 3 bulan lalu. Sejak aku bertemu dengan salah satu teman Teuki oppa. Dia menunjukkan selembar potoku dengan Teuki oppa saat menghadiri pernikahannya, nampak bahagia sekali. Tertawa lepas sambil bergelayut manja di lengan Teuki oppa. Itu aku. Orang itu terperanjat mengetahui aku tidak ingat sama sekali tentang Teuki oppa dan masa lalu kami, dia ikut menyesal dan prihatin.
    “Teuki pasti hancur karena aku tahu dia sangat mencintaimu lebih dari hidupnya sendiri.” Kata – kata itu terus terngiang di benakku. Dan mimpi itu datang. Awalnya begitu kabur dan tidak jelas, namun lambat laun menjadi jelas seperti sebuah film. Membingungkan. Apakah ini bagian dari ingatanku yang hilang??
    Yah.. sejak pertemuan terakhirku dengan Teuki oppa, aku benar – benar tidak sedikitpun berusaha mengingat segala hal yang terlupakan. Memulai hidup baru seakan memang tidak pernah ada kenangan itu, hari dimana aku bertemu dengan Teuki oppa aku anggap tidak pernah terjadi. Dia bukan siapa – siapa. Tapi, akhir – akhir ini mulai hadir keraguan dalam hatiku. Sedikit bagian dari diriku menginginkan ingatan itu kembali, tapi aku tidak tahu cara untuk mengingatnya. Dan sepertinya semua orang di sekitarku tidak ada yang berniat membantuku. Membiarkan hidupku mempunyai lubang hitam. Sebenarnya aku pernah minta tolong Hyun Ra, hanya senyum sinis yang aku dapat karena rupanya selama ini aku tidak pernah mengatakan apapun mengenai hubunganku dengan Teuki oppa. Aku rasa dia menyembunyikan sesuatu dariku.
    Ah, sudahlah. Ku tepis bayangan dan segala mimpi yang baru aku dapat. Hari ini aku ada janji dengan Han oppa. Bukan janji untuk check up atau yang berhubungan dengan amnesiaku, tapi semacam.... kencan??!! Hihihi....kenapa aku bisa berpikiran itu, sih? Hubungan kami kan belum jelas mengarah kesana meskipun aku tahu Han oppa menyimpan perasaan itu untukku, sama halnya dengan diriku sejak dulu suka padanya. Dan aku tidak tahu kenapa bisa pacaran dengan Teuki oppa bukan dengan Han oppa, karena hal terakhir yang aku ingat sebelum berangkat ke Padang adalah rasa suka ini untuk Han oppa. Sekarang, kehilangan 2 tahun ingatanku rasa itu ada lagi. Aku bertanya – tanya dalam hati, apakah saat ingatanku kembali rasa untuk Han oppa akan hilang?? Ah.... sungguh dilematis.
    Setelah mandi aku bergegas turun menuju dapur, cacing – cacing di perutku sudah berteriak kelaparan semenjak bangun tidur tadi. Kulihat omma sedang sibuk menata sesuatu seperti bekal, langsung menoleh ke arahku sekilas kemudian tanpa bicara menyiapkan makanan untukku. Omma sudah terbiasa melihat aku sarapan menjelang makan siang, malah sering menu makan siangku beda dengan oppadeul karena bagi omma aku makan sarapan dan ga boleh makan menu makan siang. Omma yang aneh. Hehehe....
    “Shinmin, abis makan tolong kau antar makanan ini untuk Heechul. Dia tadi nelpon omma ingin makanan rumah soalnya dari kemarin oppamu itu ga pulang dan dari tadi pagi belum sempat makan, katanya,” kata omma sedikit memerintah. Aku bengong menghentikan suapanku dan menatap omma tak percaya. Udah semalem dapat mimpi yang bikin sakit kepala ini ditambah dengan perintah tak masuk akal. Apa omma lupa aku benci rumah sakit???
    “Jangan memberi tatapan ‘omma sudah gila?’ pada omma!” seru omma berkacak pinggang. Aku menggeleng dan pura – pura sibuk dengan makanan di depanku padahal nafsu makanku sudah menghilang dari tadi.
    “Kamu kan udah terbiasa dengan rumah sakit. Pasti udah ga takut lagi, kan? Lebih seram masuk rumah hantu daripada rumah sakit. Lagian kasihan oppa kamu, masa kamu tega biarin mereka kelaparan?” cerocos omma panjang padahal dari tadi aku diam tak membantah atau meng-iyakan perintahnya, kok nadanya seakan aku ini menolak pergi ke rumah sakit?
    “Arraseo, omma.... Shinmin kan ga bilang ga mau pergi. Shinmin pergi abis makan,” sahutku sedikit kesal, omma melirikku tajam mendengar nada ketus pada suaraku. Aku berdehem pura – pura batuk.
   “Soalnya, kamu itu paling susah disuruh antar makanan kesana,” sahut omma membuatku terkejut. Jadi... ini bukan pertama kalinya aku mengantar makanan ke rumah sakit?? Apa rentang waktu 2 tahun itu??
     “Mau kemana kau?!” teriak omma melihat aku berdiri dan berjalan menjauh. Aku menoleh ke omma sedikit memberengut.
     “Mau ganti baju dulu, omma!”
    Deg!! Dejavu!! Aku....pernah mengatakan hal yang sama. Suasana yang tak jauh beda.  Omma berdiri di ujung meja makan melipat tangan di dadanya menatapku yang berdiri di ujung anak tangga. Makanan. Oppadeul. Rumah sakit. Tiba – tiba bayanganku mengenakan baju biru terusan kotak – kotak, rambut dikuncir kuda dengan muka masam muncul di kepalaku. Dan... ada kalung di leherku. Ini....
    “Ngapain bengong disitu?? Katanya mau ganti baju, buruan. Bentar lagi waktunya makan siang,” tegur omma membuyarkan lamunanku. Tanpa berkata apapun, aku menaiki tangga satu persatu menuju kamar dengan  benak dipenuhi bayangan yang barusan aku lihat.

    1 jam kemudian aku sudah menapakkan kakiku di pelataran parkir rumah sakit. Entah kenapa aku mengenakan baju yang sama seperti bayangan yang aku lihat, kecuali kalungnya. Meski aku mencarinya di seluruh sudut kamar tidak juga aku temukan. Sambil mendekap rantang makanan aku melangkah ringan menuju pintu masuk rumah sakit, langkahku terhenti tatkala menemukan mobil Han oppa terparkir diantara mobil oppadeul. Ngapain dia disini? Senyumku makin lebar. Asyiiiikk... ketemu Han oppa lebih cepat dari jadwal.
    Lagi – lagi aku merasakan dejavu itu saat menyusuri lorong menuju kantor Kangin oppa. Yup... seharusnya aku ke kantor Chulie oppa, tapi kata assistennya dia lagi di kantor Kangin oppa. Karena itulah aku menyeret kakiku kesana. Apa aku pernah kesini sebelumnya?? Sepanjang ingatanku aku tidak pernah melangkahkan kaki kesini, bahkan waktu mengalami kecelakaan kemarin tak sekalipun aku keluar kamar kecuali untuk medical check up. Tapi... kenapa aku merasa sudah familiar dan kaki ini seakan sudah tahu harus kemana. 
Dr Kim YoungWoon,SpOT. Dokter bedah ortopedi
    “Onnie...” panggilku pada seseorang yang baru keluar dari ruangan oppa. Chae Yon onnie menoleh kaget melihatku berdiri di depan pintu.
    “Shinmin, sudah 2 kali onnie melihatmu kesini. Antar makanan?” hanya kalimat pertama yang terdengar olehku, membuatku terkesiap kaget. 2 kali? Jadi, sebelumnya aku pernah kesini? Kapan? Kenapa aku tidak ingat sama sekali. Aku menatap bengong Chae Yon onnie dengan seribu pertanyaan terlintas di otakku.
     “Ah, onnie lupa. Pasti kau tak ingat sama sekali karena kejadiannya baru beberapa bulan lalu,” jelas Chae Yon onnie yang melihat tampang cengoku. Oh...
     “Jadi, Shinmin pernah kesini sebelumnya ya?” Chae Yon onnie mengangguk menjawab pertanyaanku.
   “Ah, onnie harus buru – buru pergi. Kamu masuk aja, oppa mu ada di dalam. HanKyung-ssi juga ada. Sepertinya mereka juga sudah menunggu makanan itu,” kata Chae Yon onnie menyilahkanku masuk. Sepeninggal Chae Yon onnie aku masih termangu di depan pintu. Pantes saja saat aku masuk tadi semua orang tidak merasa heran melihat aku berkeliaran disini. Rupanya aku pernah kesini.
     Tanpa suara aku masuk ke ruangan oppa. Sepi. Mereka pasti ada di kantor oppa. Tiba – tiba kepalaku serasa ditusuk seribu pisau saat aku akan membuka pintu. Chulie oppa dan Kangin oppa duduk menghadap Han oppa, terlihat bicara serius. Aku pernah melihat adegan ini. Sama persis. Tapi aku yakin orang yang duduk di depan oppadeul bukan Han oppa dan suasananya juga beda, waktu itu ada suasana intimidasi. Tunggu... intimidasi???? Kok aku bisa tahu? Adegan berikutnya tergambar di otakku, mobil silver di parkiran rumah sakit yang membuat aku gembira sekaligus was – was. Perasaan berbeda saat aku melihat mobil Han oppa barusan. Sekali lagi aku menyipitkan mata melihat ke dalam kantor oppa, mereka masih belum  menyadari kehadiranku dan asyik berbicara. Aku tidak bisa mendengar apapun karena sakit di kepalaku menulikanku.
     “Park Jung Soo...”
    Tiba – tiba tanpa sadar nama itu meluncur dari bibirku bersamaan dengan rantang makanan terlepas dari tanganku. Aku jatuh terduduk di depan pintu. Sepasang tangan kekar memelukku dan berusaha membuatku berdiri, memapahku masuk ke kantor oppa. Kangin oppa. Masih menahan nyeri di kepala aku mengerenyit melirik Kangin oppa yang memucat. Sama halnya dengan Chulie oppa dan Han oppa. Tanpa banyak kata Han oppa menghampiriku dan memeriksaku. Aku tidak bisa mendengar suara mereka. Kepalaku serasa mau pecah. Yang aku ingat hanya wajah mereka memucat saat aku sekali lagi mengucapkan nama ‘Park Jung Soo’ sebelum aku terkulai pingsan.
-------------

     Hari ini sekali lagi aku menapakkan kakiku di kampus setelah sekian waktu mengambil cuti. Bukan untuk kuliah lagi, karena appa dan pihak kampus belum memperbolehkan aku mengikuti kuliah lagi melihat kondisiku belum stabil, hari ini aku ada janji dengan Hyun Ra untuk makan siang bersama. Pertama kalinya hari ini aku pergi keluar mengendarai mobil, tentu saja bukan aku yang menyetir tapi sopir pribadi yang sengaja dipekerjakan oleh appa mengingat kondisiku, lagipula mereka tidak mau aku nyasar karena mendadak lupa jalan ke rumah. Aigoo.. entah harus senang atau sedih dengan overprotectiv mereka ini.
    Semenjak kejadian pingsan di ruang kerja Kangin  oppa tempo hari, semakin sering kepalaku sakit dan seakan mencari potongan puzzle yang satu persatu mulai terkumpul meskipun masih berkeping – keping. Salah satu pasien Heechul oppa memberikan saran padaku untuk menemui Teuki oppa agar puzzle ingatanku kembali seperti dulu. Bukannya aku tak mau tapi aku tidak tahu keberadaan Teuki oppa dimana, demikian juga oppadeul tidak bisa membantuku. Kadang aku curiga mereka sengaja membiarkan aku terperangkap dalam lubang hitam ini, membiarkan kepingan waktuku yang hilang tak kembali lagi.
     Dan, semakin hari aku menyadari perasaanku terhadap Hankyung oppa tak seperti yang aku ingat. Aku tahu aku pernah mencintainya, entah kenapa hatiku menolak perasaan itu. Setiap kali berjalan bersama tidak ada perasaan hangat, biasa saja. Ketika oppa menggenggam lembut jemariku atau mencium lembut keningku, debaran yang aku rasakan bukan untuknya, melainkan untuk sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Aku makin galau, merasa bersalah pada Hankyung oppa mengingat status kami sebagai sepasang kekasih sekarang ini. Seharusnya aku bahagia, tapi kenapa malah seakan ada pisau menusuk jantungku??
     Asyik melamun tanpa aku sadari langkah kakiku sudah menyusuri jalan di taman kampus yang penuh pepohonan maple. Hmm... musim gugur kembali lagi. Daun – daun maple sudah menguning. Angin bertiup sepoi menerbangkan sehelai daun maple dan jatuh di depanku, tanpa maksud apapun aku memungutnya. Tiba – tiba sakit itu menyerang kepalaku lagi membuatku jatuh ke tanah.
    Dejavu....
    Sepasang tangan meraih lenganku.
    Sinar matahari menyilaukan pandanganku.
    Angin menerbangkan anak rambutku.
    Semerbak wangi mint yang begitu aku kenal menyeruak.
    Mobil berwarna putih.
    Dan, sepasang mata memandangku dalam.
    Lesung pipit di pipi itu........
   “ShinMin!! Gwencana??” suara Hyun Ra menerbangkan bayangan itu. Aku terengah berusaha meraih kepingan puzzle itu, yang aku dapati pelukan Hyun Ra.
   “Shin Min!!! Ini aku, Hyun Ra.... Shin Min jangan bikin aku takut, sadarlah,” suara serak Hyun Ra diiringi derai air mata menarikku kembali dari lautan puzzleku. Aku menatap Hyun Ra dan reflek memeluknya erat. Air mataku juga luruh dan entah berapa lama kami berpelukan di atas guguran daun maple sampai akhirnya Hyun Ra mulai mengurai pelukannya dan menatapku tajam berusaha mencari luka di wajahku.
    “Gwencana??” tanya Hyun Ra khawatir. Aku mengangguk pelan seraya menghela napas panjang.
    “Kenapa Shinmin?? Apa kepalamu sakit lagi?? Seharusnya aku tak menyuruhmu datang kesini, mianhae.... jongmal mianhae,” kata Hyun Ra penuh nada penyesalan. Aku menatap sahabatku itu. Air mata masih mengalir di pipinya, aku tersenyum berusaha menyakinkan padanya kalau aku tak apa – apa.
    “Gwencana.. aku tak apa – apa Hyun Ra, jangan khawatir. Aku Cuma kena anemia saja, dan semalam kurang tidur karena itulah tadi kepalaku pusing,” kilahku berasalan tidak ingin membuat Hyun Ra khawatir. Tapi, bukan Hyun Ra namanya kalau percaya begitu saja dengan omonganku.
    “Shinmin, kau tak usah bohong. Sebelum kau jatuh tadi sempat terdiam dengan tatapan kosong sampai tidak menyadari panggilan dan kedatanganku. Ada apa? Apa ini berhubungan dengan puzzle ingatanmu?” desak Hyun Ra membuatku tak bisa berkilah lagi. Aku mengangguk pelan membuat Hyun Ra membuang napas. Dipeluknya aku sekali lagi olehnya.
    “Kasihan sekali kau Shinmin, aku ingin membantumu tapi aku sudah berjanji pada oppadeul dan Teuki-ssi untuk menyimpan apapun yang aku tahu darimu,” bisik Hyun Ra membuatku terperanjat. Kudorong pelan tubuh Hyun Ra menjauh dan mengguncang pundaknya pelan. Hyun Ra menunduk menghindari tatapan mataku.
    “Hyun Ra, aku tau kau menyimpan sesuatu dariku. Ku mohon, ceritakan semua yang kau tahu padaku. Jebal.....” pintaku memelas. Hyun Ra terdiam dan aku tahu dia sedang dalam dilema. Ku cengkeram lengannya dan kutundukkan kepalaku memohon padanya.
    “Maaf Shinmin, aku tak bisa menceritakan padamu. Semua ini demi kebaikanmu sendiri. Kau... lebih baik tak ingat apapun. Biarlah puzzle itu hilang dan seakan tak pernah ada,” sahut Hyun Ra dengan suara gemetar menahan tangis. Kutangkupkan kedua telapak tanganku sekali lagi memohon pada Hyun Ra.
    “Hyun Ra, apa kau mau melihatku menderita seperti ini?? Selalu merasakan sakit kepala? Seperti berjalan dalam gelap dan tak tahu harus melangkah kemana. Semua terasa asing bagiku, bahkan aku tak lagi bisa memahami diriku sendiri. Jebal Hyun Ra... tolong aku lepas dari semua ini,” kataku memohon pada Hyun Ra. Dan dia masih dengan keras kepala menolak permintaanku.
    “Sakit kepala ini lebih baik daripada sakit yang akan kau terima bila kau tahu kenyataan yang sebenarnya. Mian...”
   “Kau sahabatku, satu – satunya yang bisa aku percaya, Hyun Ra. Semua bertingkah seakan tak pernah terjadi apapun padaku, kalau kau juga bersikap begitu, bagaimana hidupku jadinya?? Aku lelah, sesakit apapun yang akan aku rasakan setelah tahu kenyataannya ga akan sesengsara ini, Hyun Ra. Tolong, katakan padaku semuanya,” masih tanpa putus asa aku mencoba membujuk Hyun Ra membeberkan semuanya padaku. Hyun Ra menatapku tajam, bukan tatapan iba melainkan amarah.
    “Shinmin!!!! Kau sangat mencintai Teuki oppa, dan karena cintamu itu kau terluka. Hentikan niatmu untuk mengingatnya!!!” teriak Hyun Ra kelepasan karena marah membuatku tertegun. Jadi benar, semua ini terjadi karena aku sangat mencintai Teuki oppa. Dan luka yang telah tertoreh ini ga akan pernah bisa sembuh karena obat sebenarnya bukan dengan menghilangkan ingatanku melainkan Teuki oppa. Ku tatap Hyun Ra yang nampak kaget karena tanpa sadar melontarkan kebenaran.
    Genggaman tanganku pada lengan Hyun Ra melonggar seiring dengan lunglainya tubuhku. Seakan masuk pada sebuah labirin makin ke dalam dan membingungkan tanpa tahu dimana pintu keluarnya. Kepingan puzzle yang aku kira terkumpul malah semakin memecah menjadi serpihan yang semakin susah aku rekatkan kembali. Teuki oppa.... Aku mencintainya?? Karena itukah bayangannya selalu hadir? Karena itukah dulu terasa berat saat harus berpisah dengannya? Karena itukah hubunganku dengan Han oppa terasa aneh seakan berdiri di sebuah jembatan tali???

No comments:

Post a Comment