“Oppa, apa yang kau lakukan di sini?”
tanyaku heran melihat kemunculan mendadak Teuki oppa. Dan dia datang sendirian,
padahal biasanya selalu bersama oppadeul. Tak menjawab pertanyaanku malah
tersenyum dan menghampiri tempat aku duduk. Dia menyerahkan sebuket bunga
tulip, bunga kesukaanku.
“Kenapa?? Kau tak suka oppa datang?” tanya
dia lembut. Aku menggeleng.
“Bukan begitu. Kan Shinmin besok udah
pulang ke Seoul, kenapa oppa harus repot – repot datang kesini?” kataku
beralasan. Sebenarnya aku sedikit merasa tak nyaman saat ini kalau hanya berdua
saja dengannya.
“Tidak ada salahnya kan, oppa datang
menjemput pacar oppa?” kata Teuki oppa sambil tersenyum.
“Ne. Lebih baik menjemputmu langsung di
sini daripada di bandara, kan? Keberatan?”
“Aniyo… Shinmin sama sekali ga keberatan,” sahutku tersenyum simpul. Teuki oppa
menatapku tajam, entah kenapa saat melihat matanya aku merasakan sesak di dada.
Ada apa ini?
“Kenapa oppa melihat Shinmin seperti itu?” tanyaku salah tingkah, bisa aku
rasakan rasa panas menjalar di kedua pipiku. Lagi – lagi Teuki oppa hanya tersenyum.
Dia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya lembut, jantungku berhenti
berdetak.
“Sebelum kembali
ke Seoul ada yang oppa mau bicarakan denganmu,” kata Teuki oppa lirih. Meskipun
bibirnya terus tersenyum, entah kenapa aku tahu dia sedang sedih. Mungkin kah
karena kami sepasang kekasih makanya aku bisa merasakan suasana hatinya?
“Ada apa? Apa
yang ingin oppa katakan?” tanyaku penasaran, sebagian hatiku sebenarnya tidak
ingin mendengarnya. Sekali lagi Teuki oppa menatapku dan menghela napas.
“Oppa tidak ingin
kau mengingat apapun tentang oppa, tentang kita. Oppa tidak ingin memaksamu
melakukan hal yang tidak kau inginkan, lupakan oppa. Mulailah hidup baru, tanpa
oppa,” kata – kata itu meluncur dari bibirnya dan menusuk di relung hatiku. Aku
mungkin tidak mengingatnya sama sekali, tapi hati tidak pernah bisa berbohong
kan. Hatiku mengatakan bahwa aku pernah mencintainya orang itu dan mungkin
sekarangpun masih. Aku menatap Teuki oppa tak percaya.
“Oppa....”
“Shinmin, apa kau
tahu penyebab kau kecelakaan? Itu karena oppa. Hari dimana kau kecelakaan, oppa
bermaksud mengakhiri hubungan kita karena oppa akan pergi ke Amerika.
Ini...akan lebih mudah bagi kita berdua. Kau juga tidak akan merasakan sakitnya
perpisahan kita karena di memorimu oppa tidak ada. Lagipula oppa tidak bisa
memaksamu mengingat demi keegoisan oppa,” sambung Teuki oppa berusaha
tersenyum. Perlahan dia melepaskan kedua tanganku. Aku terperangah tak percaya
dengan apa yang baru saja aku dengar. Ada rasa sesal dan bersalah dalam hatiku,
tak tau apa.
“Oppa,
mianhae....” desisku pelan. Teuki oppa menggelengkan kepalanya, dia menyentuh
kepalaku lembut.
“Untuk apa kau
minta maaf?? Tidak ada yang perlu dimaafkan karena kau tak melakukan kesalahan.
Oppa yang seharusnya minta maaf, membuatmu melalui ini semua. Setiap kau
berusaha mengingat tentang oppa, kepalamu sakit bukan? Mianhae.... mulai
sekarang kau tidak akan merasakan sakit itu,” sahutnya .
“Oppa, ini tidak
adil untukmu. Mianhae... jinjja mianhaeyo... Shinmin tidak mengingat oppa,”
sebutir air mata turun di pipiku. Teuki oppa mengusapnya dengan lembut, membuat
air mataku menderas. Sejurus kemudian Teuki oppa membawa tubuhku ke pelukannya.
Ada perasaan familiar dengan pelukan ini.
“Oppa... bukan
yang terpenting dalam hidupmu. Melupakan oppa bukan suatu kesalahan, jangan
merasa bersalah. Selama kau tersenyum, oppa akan bahagia,” bisiknya menepuk
punggungku pelan. Sebenarnya aku berharap dia memelukku lebih erat lagi, tapi
dia malah melepaskanku dan mundur selangkah sambil tersenyum menatapku.
“Oppa....”
“Nah, sepertinya
ini hari terakhir oppa menjadi kekasihmu. Setiba di Seoul, jadilah Shinmin yang
dulu sebelum bertemu dengan oppa,” kata Teuki oppa secerah mungkin. Dia
berjalan ke arah jendela dan menatap keluar, punggungnya seakan berkata betapa
dia terluka.
Sejenak tidak ada
percakapan diantara kami berdua, sibuk dengan pikiran masing-masing. Dulu,
pertama kali aku siuman aku melihatnya sebagai orang asing. Bahkan beberapa
hari setelah tahu dia adalah kekasihku, aku masih menganggap dia bukan siapa –
siapa. Tapi kenapa hari ini aku merasa terluka?? Kenapa aku seperti tidak rela
melepaskan orang yang ada di depanku ini?? Aku masih menatap dia yang masih
asyik melihat laut di kejauhan dari jendela kamarku, walau aku yakin dia
seperti itu karena tidak ingin memperlihatkan wajah sedihnya pada diriku.
“Kapan oppa ke
Amerika?” tanyaku memecah keheningan. Dia mengalihkan perhatiannya dari jendela
dan menatapku.
“Lusa,” sahutnya
singkat. APA??!
“Sehari setelah
Shinmin kembali ke Seoul??!!” tanyaku kaget. Ku kerjap – kerjapkan mata tak
percaya.
“Seharusnya oppa
pergi 2 minggu yang lalu. Kenapa?? Kau tidak ingin bilang ‘jangan pergi’ ke
oppa, kan?” katanya sedikit menggodaku. Aku tersenyum.
“Bagaimana kalo
tiba – tiba Shinmin ingat tentang oppa?” tanyaku.
“Jangan. Jangan
pernah ingat tentang oppa atau tentang kita. Ini akan lebih baik bagi kita dan
semuanya. Biarlah semuanya terkubur, biarlah semuanya jadi kenangan indah bagi
oppa. Cukup begitu saja. Oppa tidak bisa menyakitimu lagi,” kata Teuki oppa menatapku
lembut.
“Oppa, apa ada
sesuatu yang tidak seharusnya Shinmin ingat? Bagaimanapun pasti ada kenangan
indah dengan oppa, Shinmin tidak bisa melepaskannya begitu saja.”
Teuki oppa
menggelengkan kepalanya. Dia menghampiriku dan mengusap puncak kepalaku penuh
kasih. Entah kenapa aku ingin sekali memeluknya, tapi dari gestur tubuh oppa
dia seperti mendirikan tembok penghalang antara aku dan dia.
“Shinmin, kalo
suatu saat ingatanmu kembali, oppa akan kembali padamu. Tapi oppa tidak bisa
bersamamu sekarang, oppa berharap kau tidak terlalu keras berusaha
mengembalikan ingatanmu,” ucap Teuki oppa berjanji. Dia berlutut di hadapanku,
menatapku lembut dan menggenggam jemariku.
“Apa ini artinya
oppa tidak ingin bersama Shinmin?? Apa dulu Shinmin melakukan kesalahan pada
oppa sampai oppa begitu membenci Shinmin?” tanyaku penasaran. Bagaimana mungkin
ada orang rela dilupakan oleh kekasihnya??? Kesalahan apa yang aku perbuat
sampai Teuki oppa bahkan tidak menginginkan ingatanku kembali?? Aku menatapnya
dengan penuh tanya, seulas senyum membayang di bibirnya.
“Tidak, justru
oppa yang bersalah padamu. Dan karena oppa sangat menyayangimu, ini semua demi
kebaikan Shinmin,” katanya lagi – lagi menyalahkan dirinya sendiri.
“Oppa.....”
Sejenak hening
melanda.... jemariku masih dalam genggaman tangan Teuki oppa yang terasa
hangat. Kehangatan itu menjalar ke hatiku tapi diiringi dengan rasa nyeri yang
aneh. Sekuat tenaga aku berusaha mengingat secuil kenanganku dengannya,
menyebabkan kepala terasa tertusuk. Tanpa sadar aku meringis menahan sakit.
Tiba – tiba aku rasakan tangan besar dan hangat Teuki menyentuh kedua pipiku,
saat aku membuka mata wajah kami berjarak tidak lebih dari sejengkal. Aku bisa
melihat mata Teuki oppa berwarna coklat, menyejukkan, ingin sekali aku tenggelam
di dalamnya. Dan tanpa aku sadari, rasa sakit di kepalaku menghilang.
“Shinmin,
jebal.... jangan berusaha mengingat apapun,” kata Teuki oppa lirih. Aku
terkesiap saat menyadari ada kristal bening membayang di kedua matanya. Seperti
tersihir, aku mengangguk. Dia lalu melepaskan kedua tangannya dari pipiku,
berdiri dan berjalan menuju pintu. Ketika tangannya memegang knop pintu, dia
menoleh ke arahku.
“Mau jalan –
jalan ke pantai?? Kau masih punya waktu 2 jam lagi untuk check up kan??” Tanpa
pikir panjang lagi aku menerima ajakannya dan berlari menghampiri Teuki oppa
yang langsung menarik lenganku. Seperti dejavu. Berjalan berdua bergandengan
tangan menyelusuri lorong panjang, aku tertawa dan Teuki oppa tersenyum simpul
saat aku sandarkan kepalaku di pundaknya. Aku...... termangu menghentikan langkahku, menatap
Teuki oppa yang juga menghentikan langkahnya balik menatapku heran. Tadi... apa
yang aku lihat??? Ingatan masa laluku bersama Teuki oppa kah?? Terlihat sangat
bahagia diriku.
“Ada apa?” tanya
Teuki oppa heran. Segera aku tepiskan bayangan itu dari benakku. Dan tersenyum
pada Teuki oppa.
“Aniyo... “ Aku
menggeleng dan menarik tangan Teuki oppa menuju pantai yang tak jauh dari rumah
sakit.
Sepanjang sore
itu, tidak ada percakapan apapun antara kami. Diam membisu hanya bahasa tubuh
yang bicara. Mungkin aku tidak ingat siapa Teuki oppa, kekasihku, kenangan
bersamanya. Tapi, sore itu aku memutuskan untuk membuat kenangan baru
bersamanya. Hari ini adalah hari terakhirku sebagai kekasihnya, dan meskipun
hari ini adalah satu – satunya kenangan indah yang bisa aku ingat saat menjadi
kekasihnya aku tak menyesal. Menyusuri pantai menapaki pasir putih membiarkan
ombak menjilati kaki – kaki kami dan menghapus jejak yang telah kami buat.
Tidak usah peduli, bukankah masih bisa membuat jejak baru, biarlah jejak yang
tertinggal itu menghilang tak perlu di toleh atau di sesali. Sama halnya dengan
ingatanku dengan Teuki oppa, yang terpenting adalah saat ini. Kalaupun ada
suatu yang menyakitkan, biarlah! Biarlah hilang dibawa ombak ke tengah lautan.
Hari bergulir
cepat, minggu berganti dan setahun sudah
berlalu.
Musim gugur sudah
hampir di depan mata. Pagi ini aku terbangun dengan sakit di kepala seperti
pagi – pagi sebelumnya. Aku sudah mulai terbiasa dan tidak sekalipun mengatakan
pada oppadeul atau appa karena akan membuat mereka khawatir saja. Masih
berselimut aku duduk di tempat tidur menghela napas panjang mengingat mimpi
yang aku alami. Mimpi yang sama, membuatku terbangun dengan kepala seperti mau
pecah. Jalanan dengan pohon sakura, mobil berwarna silver, secangkir
coffelatte, seiris puding caramel dan kalung berhiaskan angel. Bagai potongan
puzzle yang harus ditata, sayangnya aku tidak tahu cara untuk merangkainya.
Mimpi ini selalu
datang sejak 3 bulan lalu. Sejak aku bertemu dengan salah satu teman Teuki
oppa. Dia menunjukkan selembar potoku dengan Teuki oppa saat menghadiri
pernikahannya, nampak bahagia sekali. Tertawa lepas sambil bergelayut manja di
lengan Teuki oppa. Itu aku. Orang itu terperanjat mengetahui aku tidak ingat
sama sekali tentang Teuki oppa dan masa lalu kami, dia ikut menyesal dan
prihatin.
“Teuki pasti
hancur karena aku tahu dia sangat mencintaimu lebih dari hidupnya sendiri.”
Kata – kata itu terus terngiang di benakku. Dan mimpi itu datang. Awalnya
begitu kabur dan tidak jelas, namun lambat laun menjadi jelas seperti sebuah
film. Membingungkan. Apakah ini bagian dari ingatanku yang hilang??
Yah.. sejak
pertemuan terakhirku dengan Teuki oppa, aku benar – benar tidak sedikitpun
berusaha mengingat segala hal yang terlupakan. Memulai hidup baru seakan memang
tidak pernah ada kenangan itu, hari dimana aku bertemu dengan Teuki oppa aku
anggap tidak pernah terjadi. Dia bukan siapa – siapa. Tapi, akhir – akhir ini
mulai hadir keraguan dalam hatiku. Sedikit bagian dari diriku menginginkan
ingatan itu kembali, tapi aku tidak tahu cara untuk mengingatnya. Dan
sepertinya semua orang di sekitarku tidak ada yang berniat membantuku.
Membiarkan hidupku mempunyai lubang hitam. Sebenarnya aku pernah minta tolong
Hyun Ra, hanya senyum sinis yang aku dapat karena rupanya selama ini aku tidak
pernah mengatakan apapun mengenai hubunganku dengan Teuki oppa. Aku rasa dia
menyembunyikan sesuatu dariku.
Ah, sudahlah. Ku
tepis bayangan dan segala mimpi yang baru aku dapat. Hari ini aku ada janji
dengan Han oppa. Bukan janji untuk check up atau yang berhubungan dengan
amnesiaku, tapi semacam.... kencan??!! Hihihi....kenapa aku bisa berpikiran
itu, sih? Hubungan kami kan belum jelas mengarah kesana meskipun aku tahu Han
oppa menyimpan perasaan itu untukku, sama halnya dengan diriku sejak dulu suka
padanya. Dan aku tidak tahu kenapa bisa pacaran dengan Teuki oppa bukan dengan
Han oppa, karena hal terakhir yang aku ingat sebelum berangkat ke Padang adalah
rasa suka ini untuk Han oppa. Sekarang, kehilangan 2 tahun ingatanku rasa itu
ada lagi. Aku bertanya – tanya dalam hati, apakah saat ingatanku kembali rasa
untuk Han oppa akan hilang?? Ah.... sungguh dilematis.
Setelah mandi aku
bergegas turun menuju dapur, cacing – cacing di perutku sudah berteriak
kelaparan semenjak bangun tidur tadi. Kulihat omma sedang sibuk menata sesuatu
seperti bekal, langsung menoleh ke arahku sekilas kemudian tanpa bicara
menyiapkan makanan untukku. Omma sudah terbiasa melihat aku sarapan menjelang
makan siang, malah sering menu makan siangku beda dengan oppadeul karena bagi
omma aku makan sarapan dan ga boleh makan menu makan siang. Omma yang aneh.
Hehehe....
“Shinmin, abis
makan tolong kau antar makanan ini untuk Heechul. Dia tadi nelpon omma ingin
makanan rumah soalnya dari kemarin oppamu itu ga pulang dan dari tadi pagi
belum sempat makan, katanya,” kata omma sedikit memerintah. Aku bengong
menghentikan suapanku dan menatap omma tak percaya. Udah semalem dapat mimpi
yang bikin sakit kepala ini ditambah dengan perintah tak masuk akal. Apa omma
lupa aku benci rumah sakit???
“Jangan memberi
tatapan ‘omma sudah gila?’ pada omma!” seru omma berkacak pinggang. Aku
menggeleng dan pura – pura sibuk dengan makanan di depanku padahal nafsu
makanku sudah menghilang dari tadi.
“Kamu kan udah
terbiasa dengan rumah sakit. Pasti udah ga takut lagi, kan? Lebih seram masuk
rumah hantu daripada rumah sakit. Lagian kasihan oppa kamu, masa kamu tega
biarin mereka kelaparan?” cerocos omma panjang padahal dari tadi aku diam tak
membantah atau meng-iyakan perintahnya, kok nadanya seakan aku ini menolak
pergi ke rumah sakit?
“Arraseo,
omma.... Shinmin kan ga bilang ga mau pergi. Shinmin pergi abis makan,” sahutku
sedikit kesal, omma melirikku tajam mendengar nada ketus pada suaraku. Aku
berdehem pura – pura batuk.
“Soalnya, kamu
itu paling susah disuruh antar makanan kesana,” sahut omma membuatku terkejut.
Jadi... ini bukan pertama kalinya aku mengantar makanan ke rumah sakit?? Apa
rentang waktu 2 tahun itu??
“Mau kemana
kau?!” teriak omma melihat aku berdiri dan berjalan menjauh. Aku menoleh ke
omma sedikit memberengut.
“Mau ganti baju
dulu, omma!”
Deg!! Dejavu!!
Aku....pernah mengatakan hal yang sama. Suasana yang tak jauh beda. Omma
berdiri di ujung meja makan melipat tangan di dadanya menatapku yang berdiri di
ujung anak tangga. Makanan. Oppadeul. Rumah sakit. Tiba – tiba bayanganku
mengenakan baju biru terusan kotak – kotak, rambut dikuncir kuda dengan muka
masam muncul di kepalaku. Dan... ada kalung di leherku. Ini....
“Ngapain bengong
disitu?? Katanya mau ganti baju, buruan. Bentar lagi waktunya makan siang,”
tegur omma membuyarkan lamunanku. Tanpa berkata apapun, aku menaiki tangga satu
persatu menuju kamar dengan benak
dipenuhi bayangan yang barusan aku lihat.
1 jam kemudian
aku sudah menapakkan kakiku di pelataran parkir rumah sakit. Entah kenapa aku
mengenakan baju yang sama seperti bayangan yang aku lihat, kecuali kalungnya.
Meski aku mencarinya di seluruh sudut kamar tidak juga aku temukan. Sambil
mendekap rantang makanan aku melangkah ringan menuju pintu masuk rumah sakit,
langkahku terhenti tatkala menemukan mobil Han oppa terparkir diantara mobil
oppadeul. Ngapain dia disini? Senyumku makin lebar. Asyiiiikk... ketemu Han
oppa lebih cepat dari jadwal.
Lagi – lagi aku
merasakan dejavu itu saat menyusuri lorong menuju kantor Kangin oppa. Yup...
seharusnya aku ke kantor Chulie oppa, tapi kata assistennya dia lagi di kantor
Kangin oppa. Karena itulah aku menyeret kakiku kesana. Apa aku pernah kesini
sebelumnya?? Sepanjang ingatanku aku tidak pernah melangkahkan kaki kesini,
bahkan waktu mengalami kecelakaan kemarin tak sekalipun aku keluar kamar
kecuali untuk medical check up. Tapi... kenapa aku merasa sudah familiar dan
kaki ini seakan sudah tahu harus kemana.
Dr
Kim YoungWoon,SpOT. Dokter bedah ortopedi
“Onnie...”
panggilku pada seseorang yang baru keluar dari ruangan oppa. Chae Yon onnie
menoleh kaget melihatku berdiri di depan pintu.
“Shinmin, sudah 2
kali onnie melihatmu kesini. Antar makanan?” hanya kalimat pertama yang
terdengar olehku, membuatku terkesiap kaget. 2 kali? Jadi, sebelumnya aku
pernah kesini? Kapan? Kenapa aku tidak ingat sama sekali. Aku menatap bengong
Chae Yon onnie dengan seribu pertanyaan terlintas di otakku.
“Ah, onnie lupa.
Pasti kau tak ingat sama sekali karena kejadiannya baru beberapa bulan lalu,”
jelas Chae Yon onnie yang melihat tampang cengoku. Oh...
“Jadi, Shinmin
pernah kesini sebelumnya ya?” Chae Yon onnie mengangguk menjawab pertanyaanku.
“Ah, onnie harus
buru – buru pergi. Kamu masuk aja, oppa mu ada di dalam. HanKyung-ssi juga ada.
Sepertinya mereka juga sudah menunggu makanan itu,” kata Chae Yon onnie
menyilahkanku masuk. Sepeninggal Chae Yon onnie aku masih termangu di depan
pintu. Pantes saja saat aku masuk tadi semua orang tidak merasa heran melihat
aku berkeliaran disini. Rupanya aku pernah kesini.
Tanpa suara aku
masuk ke ruangan oppa. Sepi. Mereka pasti ada di kantor oppa. Tiba – tiba
kepalaku serasa ditusuk seribu pisau saat aku akan membuka pintu. Chulie oppa
dan Kangin oppa duduk menghadap Han oppa, terlihat bicara serius. Aku pernah
melihat adegan ini. Sama persis. Tapi aku yakin orang yang duduk di depan
oppadeul bukan Han oppa dan suasananya juga beda, waktu itu ada suasana
intimidasi. Tunggu... intimidasi???? Kok aku bisa tahu? Adegan berikutnya
tergambar di otakku, mobil silver di parkiran rumah sakit yang membuat aku
gembira sekaligus was – was. Perasaan berbeda saat aku melihat mobil Han oppa
barusan. Sekali lagi aku menyipitkan mata melihat ke dalam kantor oppa, mereka
masih belum menyadari kehadiranku dan
asyik berbicara. Aku tidak bisa mendengar apapun karena sakit di kepalaku
menulikanku.
“Park Jung
Soo...”
Tiba – tiba tanpa
sadar nama itu meluncur dari bibirku bersamaan dengan rantang makanan terlepas
dari tanganku. Aku jatuh terduduk di depan pintu. Sepasang tangan kekar
memelukku dan berusaha membuatku berdiri, memapahku masuk ke kantor oppa.
Kangin oppa. Masih menahan nyeri di kepala aku mengerenyit melirik Kangin oppa
yang memucat. Sama halnya dengan Chulie oppa dan Han oppa. Tanpa banyak kata
Han oppa menghampiriku dan memeriksaku. Aku tidak bisa mendengar suara mereka.
Kepalaku serasa mau pecah. Yang aku ingat hanya wajah mereka memucat saat aku
sekali lagi mengucapkan nama ‘Park Jung Soo’ sebelum aku terkulai pingsan.
-------------
Hari ini sekali
lagi aku menapakkan kakiku di kampus setelah sekian waktu mengambil cuti. Bukan
untuk kuliah lagi, karena appa dan pihak kampus belum memperbolehkan aku
mengikuti kuliah lagi melihat kondisiku belum stabil, hari ini aku ada janji
dengan Hyun Ra untuk makan siang bersama. Pertama kalinya hari ini aku pergi
keluar mengendarai mobil, tentu saja bukan aku yang menyetir tapi sopir pribadi
yang sengaja dipekerjakan oleh appa mengingat kondisiku, lagipula mereka tidak
mau aku nyasar karena mendadak lupa jalan ke rumah. Aigoo.. entah harus senang
atau sedih dengan overprotectiv mereka ini.
Semenjak kejadian
pingsan di ruang kerja Kangin oppa tempo
hari, semakin sering kepalaku sakit dan seakan mencari potongan puzzle yang
satu persatu mulai terkumpul meskipun masih berkeping – keping. Salah satu
pasien Heechul oppa memberikan saran padaku untuk menemui Teuki oppa agar
puzzle ingatanku kembali seperti dulu. Bukannya aku tak mau tapi aku tidak tahu
keberadaan Teuki oppa dimana, demikian juga oppadeul tidak bisa membantuku.
Kadang aku curiga mereka sengaja membiarkan aku terperangkap dalam lubang hitam
ini, membiarkan kepingan waktuku yang hilang tak kembali lagi.
Dan, semakin hari
aku menyadari perasaanku terhadap Hankyung oppa tak seperti yang aku ingat. Aku
tahu aku pernah mencintainya, entah kenapa hatiku menolak perasaan itu. Setiap
kali berjalan bersama tidak ada perasaan hangat, biasa saja. Ketika oppa
menggenggam lembut jemariku atau mencium lembut keningku, debaran yang aku
rasakan bukan untuknya, melainkan untuk sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.
Aku makin galau, merasa bersalah pada Hankyung oppa mengingat status kami
sebagai sepasang kekasih sekarang ini. Seharusnya aku bahagia, tapi kenapa
malah seakan ada pisau menusuk jantungku??
Asyik melamun
tanpa aku sadari langkah kakiku sudah menyusuri jalan di taman kampus yang
penuh pepohonan maple. Hmm... musim gugur kembali lagi. Daun – daun maple sudah
menguning. Angin bertiup sepoi menerbangkan sehelai daun maple dan jatuh di
depanku, tanpa maksud apapun aku memungutnya. Tiba – tiba sakit itu menyerang
kepalaku lagi membuatku jatuh ke tanah.
Dejavu....
Sepasang tangan
meraih lenganku.
Sinar matahari
menyilaukan pandanganku.
Angin
menerbangkan anak rambutku.
Semerbak wangi mint
yang begitu aku kenal menyeruak.
Mobil berwarna
putih.
Dan, sepasang
mata memandangku dalam.
Lesung pipit di
pipi itu........
“ShinMin!!
Gwencana??” suara Hyun Ra menerbangkan bayangan itu. Aku terengah berusaha
meraih kepingan puzzle itu, yang aku dapati pelukan Hyun Ra.
“Shin Min!!! Ini
aku, Hyun Ra.... Shin Min jangan bikin aku takut, sadarlah,” suara serak Hyun
Ra diiringi derai air mata menarikku kembali dari lautan puzzleku. Aku menatap
Hyun Ra dan reflek memeluknya erat. Air mataku juga luruh dan entah berapa lama
kami berpelukan di atas guguran daun maple sampai akhirnya Hyun Ra mulai
mengurai pelukannya dan menatapku tajam berusaha mencari luka di wajahku.
“Gwencana??”
tanya Hyun Ra khawatir. Aku mengangguk pelan seraya menghela napas panjang.
“Kenapa Shinmin??
Apa kepalamu sakit lagi?? Seharusnya aku tak menyuruhmu datang kesini,
mianhae.... jongmal mianhae,” kata Hyun Ra penuh nada penyesalan. Aku menatap
sahabatku itu. Air mata masih mengalir di pipinya, aku tersenyum berusaha menyakinkan
padanya kalau aku tak apa – apa.
“Gwencana.. aku
tak apa – apa Hyun Ra, jangan khawatir. Aku Cuma kena anemia saja, dan semalam
kurang tidur karena itulah tadi kepalaku pusing,” kilahku berasalan tidak ingin
membuat Hyun Ra khawatir. Tapi, bukan Hyun Ra namanya kalau percaya begitu saja
dengan omonganku.
“Shinmin, kau tak
usah bohong. Sebelum kau jatuh tadi sempat terdiam dengan tatapan kosong sampai
tidak menyadari panggilan dan kedatanganku. Ada apa? Apa ini berhubungan dengan
puzzle ingatanmu?” desak Hyun Ra membuatku tak bisa berkilah lagi. Aku
mengangguk pelan membuat Hyun Ra membuang napas. Dipeluknya aku sekali lagi
olehnya.
“Kasihan sekali
kau Shinmin, aku ingin membantumu tapi aku sudah berjanji pada oppadeul dan
Teuki-ssi untuk menyimpan apapun yang aku tahu darimu,” bisik Hyun Ra membuatku
terperanjat. Kudorong pelan tubuh Hyun Ra menjauh dan mengguncang pundaknya
pelan. Hyun Ra menunduk menghindari tatapan mataku.
“Hyun Ra, aku tau
kau menyimpan sesuatu dariku. Ku mohon, ceritakan semua yang kau tahu padaku.
Jebal.....” pintaku memelas. Hyun Ra terdiam dan aku tahu dia sedang dalam
dilema. Ku cengkeram lengannya dan kutundukkan kepalaku memohon padanya.
“Maaf Shinmin,
aku tak bisa menceritakan padamu. Semua ini demi kebaikanmu sendiri. Kau...
lebih baik tak ingat apapun. Biarlah puzzle itu hilang dan seakan tak pernah
ada,” sahut Hyun Ra dengan suara gemetar menahan tangis. Kutangkupkan kedua
telapak tanganku sekali lagi memohon pada Hyun Ra.
“Hyun Ra, apa kau
mau melihatku menderita seperti ini?? Selalu merasakan sakit kepala? Seperti
berjalan dalam gelap dan tak tahu harus melangkah kemana. Semua terasa asing
bagiku, bahkan aku tak lagi bisa memahami diriku sendiri. Jebal Hyun Ra...
tolong aku lepas dari semua ini,” kataku memohon pada Hyun Ra. Dan dia masih
dengan keras kepala menolak permintaanku.
“Sakit kepala ini
lebih baik daripada sakit yang akan kau terima bila kau tahu kenyataan yang
sebenarnya. Mian...”
“Kau sahabatku,
satu – satunya yang bisa aku percaya, Hyun Ra. Semua bertingkah seakan tak
pernah terjadi apapun padaku, kalau kau juga bersikap begitu, bagaimana hidupku
jadinya?? Aku lelah, sesakit apapun yang akan aku rasakan setelah tahu
kenyataannya ga akan sesengsara ini, Hyun Ra. Tolong, katakan padaku semuanya,”
masih tanpa putus asa aku mencoba membujuk Hyun Ra membeberkan semuanya padaku.
Hyun Ra menatapku tajam, bukan tatapan iba melainkan amarah.
“Shinmin!!!! Kau
sangat mencintai Teuki oppa, dan karena cintamu itu kau terluka. Hentikan
niatmu untuk mengingatnya!!!” teriak Hyun Ra kelepasan karena marah membuatku
tertegun. Jadi benar, semua ini terjadi karena aku sangat mencintai Teuki oppa.
Dan luka yang telah tertoreh ini ga akan pernah bisa sembuh karena obat
sebenarnya bukan dengan menghilangkan ingatanku melainkan Teuki oppa. Ku tatap
Hyun Ra yang nampak kaget karena tanpa sadar melontarkan kebenaran.
Genggaman
tanganku pada lengan Hyun Ra melonggar seiring dengan lunglainya tubuhku.
Seakan masuk pada sebuah labirin makin ke dalam dan membingungkan tanpa tahu
dimana pintu keluarnya. Kepingan puzzle yang aku kira terkumpul malah semakin
memecah menjadi serpihan yang semakin susah aku rekatkan kembali. Teuki
oppa.... Aku mencintainya?? Karena itukah bayangannya selalu hadir? Karena
itukah dulu terasa berat saat harus berpisah dengannya? Karena itukah
hubunganku dengan Han oppa terasa aneh seakan berdiri di sebuah jembatan
tali???
No comments:
Post a Comment