Wednesday, October 20, 2010

ANGIN

CHAPTER 2
ANGIN



“Bian!!” panggilku pada sosok yang baru saja melintas. Bian menoleh. Memasang cengiran lebar seraya melangkah ke arahku.
“Apaan?” Tanya Bian sesampai di depanku. Aku menggeleng. Menepuk rumput di sebelahku, menyuruhnya duduk. Bian duduk masih sambil menatapku.
“Lo ga manggil gue cuma buat nyuruh duduk, kan?”
“Iya.”
“Ya elah…. Kirain apaan. Rugi dong gue tadi udah ke ge-eran,” sungutnya pura-pura marah. Meskipun begitu dia tidak beranjak dari duduknya.
Hanya angin kemudian yang terdengar. Aku diam. Begitu pula Bian. Percakapan itu tak pernah ada. Tapi, kita tahu apa yang dipikirkan masing-masing. Kadang untuk mengungkapkan sesuatu memang tidak perlu secara verbal. Yah, itulah cara percakapan kami yang aneh.
“Bi, tumben lo sendirian? Biasanya rombongan kayak emak-emak arisan,” tanyaku memecah kesunyian.
“Hmm…” Bian hanya menghela napas menjawab pertanyaanku. Sekilas aku melirik wajahnya. Ada gurat kekesalan di sana. Dan aku tahu, tanpa harus bertanya lagi.
“Yah, kadang kita butuh waktu buat sendiri kan. Tanpa orang lain,” sahutnya sambil membaringkan tubuhnya di rerumputan. Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia diam lagi. Kadang aku ga ngerti dengan cewek di sebelahku ini. Terlalu banyak misteri yang tersimpan dalam dirinya yang tak mau dia ungkapkan. Meski terkadang dia mengijinkan kita melihatnya, itupun sekilas saja sehingga tak sempat untuk mengenalnya.
Sekali lagi, aku dan Bian diam menikmati angin sepoi yang menyejukkan di hari yang lumayan panas ini. Sepertinya global warming semakin parah, sampai-sampai udara Bandung menjadi panas. Bian menutup matanya, tapi aku tahu dia tidak tidur. Sama sepertiku, hanya menghayati desir angin. Aku menatap orang yang berlalu lalang, sesekali membalas lambaian tangan beberapa temanku yang menyapaku. Sampai aku melihat sosok itu. Tiba-tiba udara dingin menyergapku.
Tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan Bian. Matanya kelam. Dengan langkah gontai dia berjalan ke arahku. Semakin kencang detak jantungku sampai khawatir dia dengar. Menutupi rasa gugupku aku meraih sebatang rumput dan mengigiti batangnya. Dia makin mendekat. Sesampainya di depanku dia bertolak pinggang dan menatapku tajam. Kemudian saat aku mengira dia akan menamparku karena tahu apa yang ada dalam pikiranku, dia melempar tasnya ke tubuh Bian yang langsung membuka matanya.
“Apaan sih? Ganggu orang santai aja, lo!” pelotot Bian kesal.
“Enak aja! Aku bingung nyariin kamu kemana-mana, kamu malah santai!!” semprotnya. Aku melongo melihat adegan mereka.
“Ngapain nyariin gue?”
“Kamu lupa?? Kita kan dihukum buat ngebersihin semua toilet di fakultas,” sahutnya dibalas cengiran Bian. Hah? Dihukum??
“Hehehehe….lupa!! Sory…sory…. Lagian aneh masa hukuman ngebersihin toilet, kayak kita masih SMU aja. Emang ga ada hukuman yang lebih elit?” Bian ngedumel. Aku menatap mereka bergantian penuh tanda tanya.
“Kalian ngapain sampai dihukum?” tanyaku.
“Gara-gara Bian tuh!” tuduhnya seraya mendelik ke arah Bian yang hanya tertawa.
“Lo ngapain, Bi?”
“Hwakakakaka…. Ga. Gue cuma ngempesin ban mobil si Arman. Trus ketahuan. Sialnya, dia lewat trus melototin gue, jadi kena hukum juga. Hehehehe…..” jelas Bian terkekeh. Mau tak mau aku tersenyum geli. Bian emang terkenal biang onar dan usil. Dari SMP dulupun begitu.
“Untung cuma disuruh bersihin toilet,” kataku ringan. Tapi, ternyata kata-kataku salah. Gadis di depanku melotot tajam ke arahku membuatku salah tingkah.
“Eh..”
“Untung??!! Kamu anggap ngebersihin toilet yang joroknya amit-amit dan bikin nafsu makan ilang itu UNTUNG???!!!!” semprotnya kesal. Aku menggaruk kepalaku, bingung mau berkata apa. Gadis di depanku ini emang lebih sadis daripada Bian.
“Gara-gara Bian aku ga bakal bisa menikmati batagor beberapa hari ini,” sungutnya ganti mendelik pada Bian.
“Udah ah, lo jangan marah-marah mulu. Ntar cepet tua, trus cantiknya ilang! Gue  janji bakal nebus dosa gue ini. Gue traktir pizza deh, gimana?” bujuk Bian merangkul pundak gadis itu. Ajaib, wajah gadis itu yang semula terlihat sadis berubah jadi manis, seperti biasa yang aku lihat meskipun masih ada sisa-sisa kekesalan.
Tak lama kemudian mereka beranjak pergi meninggalkanku setelah berjanjian akan menemuiku lagi disini. Aku melihat mereka menjauh, menatap punggung gadis itu. Mereka memang berteman sejak SMU. Entah kenapa setiap aku melihat Bian bersamanya, Bian seolah berubah menjadi orang lain. Lebih ceria dan tegar. Kalau tidak ingat sudah mengenal Bian dari jaman purba, aku pasti akan berpikiran macam-macam. Berpikir hubungan mereka lebih dari teman. Aku tertawa menertawakan pikiranku barusan.
Pikiranku melayang pada sosok gadis itu. Bukan Bian. Bukan.
Aku selalu melihat dia. Aku mengenalnya sebaik dia mengenal dirinya sendiri. Aku tak bisa memalingkan pandanganku dari dia, tidak sedetikpun. Aku melihat dia tertawa. Aku melihat dia sedih. Aku melihat dia galau. Aku melihat dia resah. Aku melihat dia terbalut kesedihan. Aku melihat dia berteman dengan kesepian. Aku tak pernah melihat dia menangis ataupun dalam sosok yang bahagia. Dia….abu-abu.
Unik, menarik, energik. Seperti magnet, dia kutub selatan dan aku kutub utara. Tapi, tak pernah bersatu. Ada penghalang disana. Di depannya. Aku menatap punggungnya. Terlalu banyak cerita yang terpampang dari punggung itu. Terkadang kokoh seperti karang. Terkadang ganas seperti kalajengking. Terkadang begitu rapuh. Terasa memilukan. Ingin sekali membalikkan punggung itu dan menatap wajahnya. Berkata bahwa ada aku di sini. Selalu dan selalu ada untuknya. Tapi, sepertinya dia menikmati kesedihan dan kesepian itu dengan caranya sendiri yang tak dapat aku mengerti. Tak sekalipun.
Dulu, sebelum aku jatuh cinta padanya, pertama kali bertemu aku sudah memutuskan akan jatuh cinta pada dia. Dulu, dia seperti pelangi. Selalu penuh warna. Ceria, eksotik. Lambat laun warna itu memudar dan tinggallah abu-abu. Aku tak tahu kenapa dan seperti apa jalan hidup yang dia tempuh sampai memudarkan warna-warna indahnya.
Jangan berpikir aku seorang stalker. Tidak. Bukan. Aku hanya orang biasa yang mengagumi seseorang yang biasa pula. Secret admirer. Benar-benar bersembunyi di balik bayang-bayang malam. Dan selalu ada untuknya. Seperti angin.

Sebulan berlalu sejak aku, Bian dan gadis itu ngobrol di bawah pohon yang sama yang aku duduki sekarang. Sebulan yang terasa bagaikan sedetik. Detik yang ternyata membawa banyak perubahan. Detik yang banyak menciptakan kisah baru.  Dan detik ini sudah tak sama lagi dengan detik kemarin. Begitu pula dengan orang-orang disekitarku. Kadang aku berharap agar waktu berhenti dimana kami bertiga ada di bawah pohon ini sebulan lalu.
Seperti déjà vu ketika melihat Bian melintas di depanku. Tapi, kali ini tanpa aku panggil dia berjalan ke arahku dan menghempaskan tubuhnya di sebelahku dengan diam. Dia tidak menutup matanya, malah menatap ke arah sinar matahari yang menembus dedaunan. Sesekali dia menghela napas panjang. Dalam diam kami saling memberi kekuatan dan pengertian atas apa yang terjadi pada diri masing-masing.
Sedetik. Semenit. Setengah jam berlalu. Aku meraih mp3 untuk membunuh rasa bosan. Baru satu lagu mp3 itu aku renggut dan melemparnya lagi ke dalam tas. Aku pernah mendengarkan lagu itu bersamanya, berbagi earphone, bernyanyi bersama, dan di bawah pohon ini juga. Mungkin terganggu dengan kelakuanku, Bian menoleh menatapku. Aku tak menggubrisnya kali ini. Memalingkan muka berpura-pura melihat segerombolan mahasiswa yang melakukan hal ga penting.
“Tolong jaga dia buat gue, ya,” tiba-tiba Bian mengatakan hal yang membuatku kaget. Bian bangun dan duduk terpekur melihat jari jemarinya.
“Gue tau lo sayang ma dia. Dan cuma lo satu-satunya yang bisa jagain dia tanpa nyakitin dia. Gue nitip dia,” tambahnya lagi. Kata-kata Bian membuatku merinding. Seperti kata-kata perpisahan saja. Tanpa menjawabnya, aku meraih kepala Bian dan memeluknya. Dia tak menangis tapi aku tahu dia menangis dalam hati.
“Dia ngrasa kesepian dan menganggap dia sendirian. Dia selalu disakiti ama orang-orang didekatnya, termasuk gue!”
Bian mengurai pelukanku dan kini menatapku. Seumur hidup aku mengenalnya, sekali ini melihat matanya hampir basah. Seperti bukan Bian. Ingin rasanya bertanya, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku.
“Berjanjilah!! Lo harus janji bakal ngejagain dia!”
Aku mengangguk pelan. Tanpa lo minta gue pasti jagain orang yang istimewa bagi gue, batinku. Dan sepertinya Bian mengerti apa yang ada di batinku karena ada kelegaan di matanya. Tanpa sempat aku cegah, Bian beranjak pergi. Aku harus bertanya. Harus.
“Bi, tunggu!!”
Bian menghentikan langkahnya. Aku berjalan ke arahnya.
“Jelaskan satu hal. Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba semua berubah dan lo mengatakan hal aneh seperti tadi? Ada apa, Bi?!!” tanyaku berusaha mendesaknya bercerita.
“Belum waktunya gue cerita,” sahutnya. Kali ini dia pergi dan aku tahu, aku tidak bisa mencegahnya. Walaupun bertanya seribu kali kalau dia tidak mau cerita, maka sampai kapanpun akan sia-sia bila terus mencecarnya. Aku menatap punggung Bian. Terkesiap. Baru menyadari kalau sebenarnya punggung itu sangat rapuh.

Sejak hari itu aku tidak bertemu lagi dengan Bian. Dia menghilang seakan ditelan bumi. Rumahnya sepi, ponsel nonaktif, di kampus ga ada. Baru sejam lalu aku mendengar kabar dari teman sekelasnya kalau tiba-tiba aja Bian pergi ke Singapura setelah mengundurkan diri dari kampus. Sekarang aku mengerti dari kata-kata aneh Bian tempo hari. Tapi aku masih tak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ditambah lagi sehari setelah Bian mengatakan hal itu, Vin menemuiku.
“Sat, jangan pernah menemuiku lagi. Anggap aja kita ga pernah saling kenal.”
Hanya itu yang dia katakan lalu pergi tanpa menoleh lagi. Tanpa memberikan kesempatan untukku bertanya ataupun mencegahnya. Aku membiarkan dia pergi begitu saja. Keputusan yang akan aku sesali kemudian hari. Bian dan Vin. Mereka sama-sama complicated. Sialnya, aku terlanjur terikat pada mereka. Bian, sahabatku. Vin, karena janji dan cintaku. Dan mereka pergi.

Begini ini rasanya patah hati. Semuanya terasa pahit. Bahkan cowok setangguh aku pun bisa luluh lantak hanya karena patah hati. Memalukan memang. Tapi itu kenyataannya. Dan apa yang biasanya dilakukan orang yang patah hati? Yap. Bengong. Melamun. Melakukan hal-hal yang ga jelas. Itu yang sekarang sedang aku lakukan.
Berjalan sendirian di tepi pantai setelah seharian mengukur jalanan di kampus. Menenteng gitar kesayanganku, mencoba menguntai nada dari senar-senar itu. Yang keluar malah suara aneh mirip kucing kejepit pintu. Lebih parah lagi. Tak ada bunyi. Akhirnya mencoba berdamai dengan alam, mempersilahkan angin mempersembahkan lagu yang terasa sendu. Lagu rindu. Atau lagu patah hati? Jadi teringat sebait lagu lama dari Dewa.
Angin. Menitipkan rindu pada Vin lewat angin yang lewat. Berharap Vin dapat mendengarkan suara angin yang menyampaikan perasaanku padanya. Rasa rindu, rasa sayang, rasa cinta, rasa kehilangan serta rasa sakit ini. Ataukah harus kutulis pada lembaran daun-daun kering itu? Agar angin mudah membawanya terbang lalu menjatuhkannya di pangkuan Vin atau menyelipkannya melalui jendela kamarnya. Tapi, apa yang harus aku tulis? Terlalu banyak kata yang tersimpan. Angin dan daun kering. Mengingatkanku pada film india yang suka ditonton oleh bibi di rumah.
Ah, kenapa aku jadi mellow begini??
Karena Vin kah? Karena patah hatikah? Karena rindukah? Atau karena terbawa suasana pantai yang romantis ini?
Gitarku masih membisu. Hanya ada suara ombak. Cericitan burung camar. Dan angin laut yang semakin kencang di ujung senja ini. Aku diam. Menghayati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhku membawa berkas air laut. Sepertinya tidak perlu aku titipkan kata-kata atau daun-daun kering itu pada angin. Bukankah lebih baik hati ini saja yang dibawa terbang oleh angin. Agar tidak ada lagi perasaan-perasaan itu lagi. Terlalu menyiksa.
Vin. Kenapa wajahmu selalu lekat di benakku? Tak bisakah angin membantu menepismu dari benakku? Biarkan sedetik tanpa kamu di hati dan pikiranku.

Tentangmu, seakan………
Kutangkupkan tanganku pada angin yang berhembus
Kuraupkan telapakku pada air yang mengalir
Kurangkulkan lenganku pada ombak yang menepi
Kudekapkan diriku pada hujan yang gerimis
Kugenggamkan jemariku pada embun yang meluruh
Kugantungkan asaku pada bintang yang meredup
Kulukiskan dirimu pada awan yang menipis
Kupotret senyummu pada bulan tanggal satu
Kuukir namamu pada langit yang mengelam
Kutuliskan kisahku pada daun yang mongering
Kutitipkan cintaku pada mentari yang tenggelam
Dan semua itu……………
Adalah sia-sia!
Selamanya kau takkan bisa kuraih dan kumiliki
Karena kau bagiku……………
Adalah maya, antara ada dan tiada

Ya. Seperti itulah Vin. Dekat tapi maya. Seperti fatamorgana di padang pasir. Dan padang pasir itu adalah hatiku. Kering kerontang.
Sepertinya aku sudah mulai gila. Mulai terjangkit penyakit halusinasi. Melihat sebuah fatamorgana. Vin. Di tepi pantai.
Gadis itu, terlihat aneh. Menatap lurus jauh ke tengah laut. Kedua tangannya terentang, seperti hendak menangkap angin yang datang. Menyerahkan seluruh jiwanya, utuh, pada angin. Entah kenapa aku seperti kena magnet, tak bisa melepaskan pandanganku dari sosok di tepi pantai itu. Terlihat elok dari belakang. Perpaduan antara setangkai mawar dan karang. Anggun tapi juga dingin.  Angin usil memainkan rambutnya sehingga wajah itu tertutup. Semakin menarik.
Dia begitu menyatu dengan pantai ini. Tak terusik dengan suasana di sekitarnya. Riuh suara ombak, camar dan angin sepertinya hanya alunan musik baginya. Apa yang dia lakukan??!!! Tiba-tiba…. Dia berjalan pelan dengan mata tertutup menuju tengah laut. Aku hanya terpatung menatapnya. Bunuh dirikah??!!! Ah, masa bunuh diri di laut?? Tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala menepis pikiran buruk itu dan terus menatap dari kejauhan.
 Pada mulanya ombak menjilati jari-jari kaki itu, dia terus melangkah tanpa keraguan. Dan aku seperti melihat ombak memeluknya. Seperti sepasang tangan yang ingin memeluk kekasih hatinya setelah sekian lama terpisah. Ada rindu, ada luka, ada sedih terlihat dari penyatuan antara ombak dan gadis itu.
Tatkala aku masih takjub menatap pemandangan yang mengesankan itu, tiba-tiba angin menyingkap rambut yang menutupi wajah gadis itu. Aku terkesiap, aku terpana, kepalaku dingin seperti ribuan ton es jatuh di atasnya. Dia, Vin!!!!
Seketika aku tersadar apa yang akan dia lakukan. Entah bagaimana tiba-tiba tubuhku seperti melayang menuju ke arah Vin. Aku harus segera sampai di sana!!! Aku tak boleh kalah dengan ombak itu. Aku yang harus memenangkannya dan memeluk Vin. Aku terus berlari, bahkan lebih cepat dari angin. Terus dan terus berlari. Pada Vin.




bersambung chapter 3: LANGIT

No comments:

Post a Comment