Wednesday, October 20, 2010

One Fine Spring Day pt..2

Seoul, musim semi 2003
Sungmin pov
Hari yang melelahkan, jadwal padat membuatku seakan sudah tidak ada ruang untuk bernapas. Sekilas kulirik jam di pergelangan tanganku, 12.40 dini hari. Hari sudah berganti, ketika hari kemarin belum aku akhiri, aku harus memulai kembali. Masih ada jadwal latihan dance 20 menit lagi, 20 menit untuk menghela napas.
20 menit untuk memikirkanmu saja, tanpa harus tersela oleh jadwal yang lain. Hanya 20 menit ini.
Mataku terpejam membayangkan wajahmu. Senyum dan tawamu yang serasa sinar matahari bagiku. Menghangatkan. Mampu menghapus penatku setiap hari, seperti saat ini. Hanya dengan mengingat senyummu. Meskipun aku tahu sekarang senyum itu bukan untukku lagi, saat kau tersenyum hari itu di pertemuan singkat kita, juga bukan untukku. Tapi, untuk orang di sebelahmu.
Andai kau tahu, hari itu aku melakukan syuting film denganmu. Tertawa gembira mendengar celotehan, candamu. Sesekali menggodamu yang tersipu malu di sela tawanya. Aku terluka, Yura. Tahukah kau? Hatiku tercabik. Hampir tak mampu bernapas karena bukan tanganku yang kau genggam, melainkan dia. Seharusnya aku bahagia, kan? Kau mendapatkan cinta pertamamu setelah sekian lama berjuang. Maafkan aku, Yura! Tak bisa sebahagia dirimu, semua itu hanya akting. Aku aktor hebat, kan?!!
Tanpa terasa air mata menetes di pipiku. Semakin terasing di duniaku sendiri, kesepian, sendirian. Makin jauh darimu. Tangan ini sudah tak bisa menggapai sosokmu yang menjauh. Akhirnya apa yang kutakutkan terjadi, kehilanganmu.
Kreek…
Suara pintu terbuka membuatku membuka mata. Ah… waktu 20 menitku sudah habis ternyata. Segera aku bangkit dari sofa, menghela napas panjang dan melangkah masuk ke studio dengan mantap. Kutinggalkan 20 menitku di sofa itu. Dan sekarang, menjelma menjadi Sungmin, sang hallyu star. Bukan seorang Sungmin sahabat Yura. Sungmin yang itu tertinggal di sofa itu 20 menit lalu. Bersama kenangan.

 Seoul, musim gugur 2005
Sekali lagi kulemparkan baju ditanganku, mengambil lagi lalu membuangnya juga ke tempat tidur.  Sudah lebih 1 jam, sudah hampir seisi lemari pindah ke atas tempat tidur, menggusur Hana ke ambang jendela, menatapku dengan sebal. Tadi sekilas kulemparkan pandanganku ke seluruh kamar yang berubah seperti kapal Titanic nabrak karang. Berantakan. Aku tak peduli, ada yang lebih penting lagi dari sekadar beberes kamar. 30 menit lagi dia akan menjemputku dan aku belum menemukan baju yang cocok untuk aku pakai.
“Astagaaa… Yura! Aku pusing melihatmu! Kalian kan cuma makan malam biasa, pakai apa aja juga jadi,” sungut Hana kesal. Tanpa mempedulikannya aku masih terud mencoba satu persatu baju – baju itu, sampai menemukan yang cocok. Baju terusan selutut berwarna biru langit. Dilatar belakangi omelan Hana, aku memoles wajahku dengan sedikit riasan. Natural. 10 menit kemudian, semua selesai.
“Bagaimana?” tanyaku sambil memutar – mutar badan di depan Hana. Dia hanya mengangguk.
“Kau sudah mencoba baju itu 4 kali sebelum kau pakai. Ribet amat, sih!” gerutunya. Aku tersenyum kecil.
“Kau tak tahu, sih! Hari ini, tahun ketigaku bersama oppa!” jelasku tersipu malu. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Masih ingat di benakku, dia awalnya hanya oppa bagiku, lalu timbullah perasaan lain di hatiku. Menyimpannya selama bertahun – tahun dan baru tiga tahun lalu aku ungkapkan. Melalui proses yang panjang dan berliku untuk sampai di hari ini. Jadi, wajar kan kalau aku ingin malam ini jadi istimewa.
“Kalian sudah tiga tahun rupanya. Pantas aja kau rebut setengah mati. Eh… gelang itu, cocok dengan baju yang kau pakai,” ujarnya menunjuk gelang Kristal berwarna sapphire di atas meja riasku. Aku menoleh mengikuti arah telunjuknya. Tersenyum, kuraih gelang itu dan menimangnya. Lalu, aku putuskan memakainya. Siapa tahu gelang ini akan memberikan aku kekuatan dan keberuntungan. Seperti si pemberi gelang ini.
“Yura! Orang itu sudah datang!” suara Hee oppa memanggilku dari bawah. Aah.. dasar oppa! Mentang – mentang mereka bersahabat, dia tidak mau memanggil namanya lagi sejak kami pacaran. Bikin emosi, kata Hee oppa dulu. Tanpa banyak kata aku merapikan baju, berpamitan pada Hana dan turun ke lantai 1 untuk menemuinya. Setiba di lorong menuju ruang depan, aku mendengar suara Hee oppa berbicara padanya.
“Cukup sekali ini saja atau aku akan membunuhmu,” kata Hee oppa tajam. Waktu itu aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan kata – katanya, tanpa beban apapun aku menemui mereka dan setelah berpamitan dengan Hee oppa yang bertampang masam, kamipun pergi. Aku tahu setelahnya…..
 

“Mwo??!! Putus??!! Wae???!!” bagai disambar petir siang bolong mendengar kata PUTUS dari mulutnya. Aku berharap surprise di hari peringatan 3 tahun kami, tapi bukan ini. Aku menatap laki – laki di depanku mencari jawaban di matanya yang sedari tadi tertunduk. Ini hanya canda kan?? Ato mimpi??? Putus??
“Mianhae, Yura. Kita harus putus. Maafkan oppa tidak bisa lagi bersamamu,” katanya sekali lagi menegaskan. Buru – buru aku tutup kedua telingaku dan menggeleng, aku tak mau dengar lagi!!! Putus??? Setiap mengeja kata itu serasa ada sebilah pisau menghujam jantungku. Dia meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. Aku menengadahkan wajah melihat ke arahnya.
“Kenapa, oppa? Apa salah Yura?” tanyaku. Ada bulir Kristal mengalir di pipiku.
“Ini bukan salah Yura. Semua salah oppa, tidak bisa menepati janji. Mianhae…” katanya dengan suara serak. Air mataku semakin deras.
“Ini…karena… gadis itu kan? Min Ji onnie??” tanyaku lagi. Dia terdiam tak menjawab tapi bagiku itu sudah lebih dari cukup. Perlahan kulepaskan tanganku dari genggamannya. Jadi benar? Karena Min Ji? Gadis yang beberapa hari terkhir ini muncul kembali di kehidupannya. Aku pikir mereka tak lebih dari teman, ternyata aku terlalu naïf. Bagaimana seorang mantan kekasih pernah jadi teman?? Dan ini yang terjadi, putus!
“Oppa, pergilah! Tinggalkan Yura sendiri. Jebal…” usirku pelan. Berkali – kali setelah aku mengusirnya, akhirnya dia menurut dan menjauh pergi dariku. Aku menatap punggungnya yang tak akan berbalik lagi untuk memelukku. Semua sudah berakhir. Dadaku sesak, air mata mengucur deras. Musim gugur ini lebih dingin dari tahun – tahun sebelumnya. Aku menggenggam erat gelang di tanganku mencari kekuatan, mencari keajaiban.

Kyoto, musim panas 2006
Entah sudah berapa lama aku meringkuk di sofa menatap kosong layar televisi yang sedang memutar entah apa. Berbagai kenangan melompat dari benakku, sudah tidak ada air mata lagi. Semua sudah mongering. Tersapu angin dingin musim gugur tahun lalu. Musim terus berganti, waktu tetap berjalan, semua berubah. Hanya aku yang tetap sama, hancur. Hanya aku yang terhenti di masa pada malam musim gugur tahun lalu.
Ting tong….
Sudah 3 kali bell pintu berbunyi dan aku membiarkannya. Sedang tak ingin bertemu siapapun. Mungkin itu hanya Hana. Selain Hee oppa dan omma, yang tahu keberadaanku hanya Hana. Aku ingin menghilang bersama dirinya yang juga sudah menghilang.  Bell itu kembali mengusikku, kali ini aku melangkah ke arah pintu dan membukanya.
“Sungmin!!!” teriakku kaget. Belum hilang rasa kagetku melihat kemunculannya di depan apartemen, aku mendapat kejutan kedua,  tanganku ditarik olehnya ke pelukannya. Dia memelukku erat, pelukan yang selama ini aku rindukan. Tangis yang aku kira mengering kembali pecah. Sungmin makin mempererat pelukannya.
“Yah!! Babbo!!! Aku sudah katakan padamu untuk mencariku saat kau patah hati, terluka atau ingin menangis!! Hanya aku yang bisa membuatmu tersenyum lagi!!! Dimana pun, kapan pun, kau harus mencariku, aku akan datang padamu.  Untuk apa kau pergi ke tempat sejauh ini, hah??? Babbo!!” omelnya panjang lebar. Dibiarkannya aku menangis di pundaknya. Entah berapa lama aku memeluk dan menangis, saat aku melepaskan pelukanku Sungmin masih berdiri di depanku, tersenyum.
“Mianhae…chongmal mianhae,” kataku lirih. Sungmin mengusap air mata di pipiku lembut dan tersenyum.
“Gwenchana?” tanya Sungmin lembut. Aku mengangguk. Sadar masih di depan pintu, aku menarik Sungmin masuk. Duduk berdua di ruang tamu, bersebelahan, sama seperti dulu. Masih belum percaya Sungmin ada di sampingku, walaupun tangannya dari tadi menggenggam tanganku. Kalau ini mimpi aku tidak ingin bangun lagi.
“Tapi…bagaimana kau bisa tau?” tiba – tiba  timbul rasa penasaranku. Sungmin menghela napas.
“Yah!!! Sudah aku katakan, kemanapun kau pergi aku pasti tau, ke kutub utara sekalipun. Kalo kau tak mencariku, aku yang akan menemuimu. Itu janjiku, kan?!!” jawabnya membuatku terharu. Janji yang dia ucapkan ketika appa meninggal itu ternyata masih dia ingat. Aku memeluknya dengan penuh rasa terima kasih.
“Kau jangan pergi lagi. Tetaplah disisiku, aku akan membantumu melalui ini semua. Akan aku kembalikan senyummu, aku janji,” bisiknya. Aku mengangguk.
“Gomawo..”
“Sampai kapan kau akan memelukku? Kau merindukanku ato gimana?” godanya membuatku tersadar kalau sudah sedari tadi aku memeluknya. Pura – pura marah, aku mendorongnya menjauh, berusaha menutupi wajahku yang merah karena malu. Sungmin hanya tertawa.
“Kau takkan kembali ke Korea, kan? Jadi, aku harus tinggal di Kyoto juga menemanimu. Tidak terlalu buruk…” katanya hampir membuatku menjatuhkan gelas. Dia?!! Akan tinggal di Kyoto?!!
“Wae?!! Ga boleh?? Tadi kan aku bilang harus selalu disisimu, satu – satunya cara adalah tinggal di Kyoto juga,” katanya enteng.
“Kau yakin??? Gimana dengan karirmu?” tanyaku khawatir. Tidak bisa membayangkan dia akan meninggalkan semuanya demi aku. Impian sejak kecil.
“Kau pikir aku tak terkenal disini? Bahkan lebih terkenal di Jepang daripada di Korea. Kau jangan khawatir!”  sahutnya membanggakan dirinya. Huh… kulemparkan dengan kesal bantal di pangkuanku. Dia membalas dan mengenai kepalaku. Percakapan di sore itu berakhir dengan perang bantal.

Sungmin pov
Pertama kali mendengar kabar kau pergi dari Korea untuk kuliah di Jepang tanpa berpamitan padaku membuatku sedih. Hatiku makin hancur ketika tahu yang sebenarnya. Dia meninggalkanmu. Kau patah hati. Kau… pasti menangis. Tapi, kenapa kau tidak mencariku?? Kenapa kau lari?? Kenapa kau menghilang begitu saja? Apa kau baik – baik saja? Siapa sekarang yang sedang menemanimu? Semua pertanyaan itu berkecamuk di benakku. Membuatku tidak konsentrasi penuh menjalani rutinitas keartisanku. Ingin segera berlari mencarimu.
Heechul hyung menceritakan semuanya padaku dan omma menyuruhku menyusulmu. Setelah mengetahui keberadaanmu, aku mulai menyusun rencana dengan karirku. Untung saja managemen sedang memikirkan debutku di Jepang, saat aku mengorfirmasi kontrak dengan managemen Jepang, semua sudah beres dan siap. Disinilah aku sekarang, Kyoto, depan apartemenmu. Tidak sabar melihat wajahmu lagi.
Berkali – kali aku memencet bell, tidak ada tanda – tanda kehidupan. Apakah kau pergi? Desahku kecewa. Hana mengatakan kau ada di rumah, tidak ada kuliah hari ini. Sekali lagi aku memencet bell, mendengar suara langkah kaki dari dalam. Senyumku mengembang.
“Sungmin!!!” teriakmu kaget melihatku berdiri di hadapanmu. Tanpa mengulur waktu, aku memelukmu, erat!!
“Yah!! Babbo!!! Aku sudah katakan padamu untuk mencariku saat kau patah hati, terluka atau ingin menangis!! Hanya aku yang bisa membuatmu tersenyum lagi!!! Dimana pun, kapan pun, kau harus mencariku, aku akan datang padamu.  Untuk apa kau pergi ke tempat sejauh ini, hah??? Babbo!!” gerutuku. Air mataku hampir jatuh. Akhirnya aku menemukanmu, akhirnya kau bisa menangis padaku. Makin ku pererat pelukanku, kali ini takkan aku lepaskan lagi. Aku takkan biarkan kau terluka dan pergi dariku.

Kyoto, musim dingin 2008
Sungmin masih berdiri diam di samping kulkas, wajahnya memerah karena marah. Tatapannya tajam mengarah padaku. Seperti seorang narapidana aku duduk menunduk di meja makan menatap secangkir cappuccino di depanku. Aku tak mengerti kenapa dia semarah ini. Aku hanya pergi selama dua hari ke Hiroshima untuk observasi, tanpa sengaja meninggalkan ponsel di rumah, dan lupa tak memberitahukannya yang saat itu sedang ada di Tokyo. Aku anggap bukan masalah besar, toh dia di Tokyo. Siapa sangka dia pulang sehari lebih cepat dari aku. Niatku memberikan oleh – oleh malah mendapat amarah darinya. Menyebalkan! Aku tak mengerti dengan sahabatku satu ini, dia… sudah banyak berubah.
“Kau tau, betapa khawatirnya aku? Pergi tanpa pamit, tidak bisa dihubungi bahkan meninggalkan ponsel di rumah. Membayangkan sesuatu yang buruk menimpamu,” Sungmin membuka suara. Aku makin tertunduk.
“Semalaman tidak bisa tidur, mencarimu kesana kemari,  menelpon semua orang yang kau kenal. Dan semua tidak tahu keberadaanmu! Cuaca buruk dimana – mana. Aku hampir mati karenamu!”
“Mian..” jawabku lirih.
“Apa kau tak bisa menghubungiku sesampai di sana? Tidak ada telepon umum?? Kau ini…aarrgh… tidak tau lagi apa yang mesti aku katakan padamu,” teriaknya kesal. Suara pukulannya ke pintu kulkas membuatku kaget. Bagaimana bisa Sungmin yang kalem itu bisa semarah ini?
“Mian…” hanya kata ini yang terucap. Aku juga tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu, batinku merasa bersalah. Dia, paling benci musim dingin dan semalaman malah ada di luar rumah mencariku dengan panik. Sembunyi – sembunyi aku melirik ke arahnya, raut mukanya masih tetap sama. Marah!! Ah, tidak! Berangsur berubah..sedih?? Sorot matanya mengelam. Aku terperangah.
“Kau tau, aku sempat berpikir kau pergi lagi dariku. Dan kali ini aku tidak akan menemukanmu, padahal aku belum sempat mengatakan satu hal padamu,” kata Sungmin. Dia menghela napas panjang, beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan ke arahku.
“Aku..aku..tak akan pergi kemana – mana lagi. Bukankah kau sudah ada disini?!!” sahutku pelan. Sungmin terdiam.
“Saranghae…”
“Eh??”
“Aishiteru..”  sekali lagi dia mengatakannya. Menganggap dia bercanda, aku pun tertawa, yang langsung terhenti saat melihat raut wajahnya serius. Aku menatap Sungmin, memastikan apa yang baru saja dia ungkapkan. Dia? Mencintaiku? Sungmin???
“Ne…alasan kenapa aku selalu ada untukmu, tak membiarkan kau terluka sedikitpun, semua karena aku menyukaimu. Mencintaimu,” ujarnya serius. Jantungku berdegup kencang. Masih tidak kupercayai apa yang aku dengar. Sungmin meraih kedua tanganku. Tangannya terasa dingin, aku mengenalnya, setiat kali dia gugup tangannya akan berubah sedingin es. Seperti saat ini.
“Kali ini aku tidak ingin lagi menjadi sekedar sahabat bagimu, aku ingin menjadi kekasihmu.”
Ommo…dia melamarku barusan?? Aku menatap Sungmin, terpana. Sebelum aku mampu mengeluarkan suara, bibir Sungmin menyentuh bibirku. Di bawah lampu Kristal berwarna biru, Sungmin menciumku. Di bawah lampu Kristal berwarna biru, dia melamarku. Dan di bawah lampu Kristal berwarna biru, aku menemukan seseorang.

Kyoto, awal musim semi 2010
 “Yura!” terdengar  suara Sungmin memanggilku. Aku menoleh ke arahnya dan membalas lambaian tangannya. Senyum menghiasi wajahnya.
“Sudah lama menungguku?” tanya Sungmin sesampai di depanku. Diangsurkan jaket di tangannya kepadaku. Sambil tersenyum aku memakainya.
“Sudah seumur hidupku, sepertinya,” jawabku menggodanya. Dia tertawa riang, menarik pelan rambut panjangku tanpa menghiraukan ekspresi sebalku. Sungmin meraih lenganku hendak beranjak pergi saat ada suara yang kami kenal menghentikan langkahnya, membuatnya terkejut.
“Sungmin?”
“Hangeng hyung???” serunya kaget melihat sosok Han oppa berdiri di depan kami.
“Kau… di Kyoto juga?” tanya Han oppa heran. Pandangannya beralih dari Sungmin, aku lalu terpaku pada tangan Sungmin yang sedang memegang lenganku. Dia terdiam sejenak, kembali menatap Sungmin.
“Apa yang hyung lakukan di sini?” Sungmin balik bertanya heran. Kurasakan genggaman tangannya makin erat di pergelangan tanganku.
“Aku produser sekaligus direktur di radio ini,” terangnya membuat Sungmin terkesiap. Dia menoleh ke arahku dan aku mengangguk membenarkan.
“Dan kau sendiri?”
“Aku sekarang tinggal di Kyoto, hyung,” sahut Sungmin. Han oppa mengangguk paham. Kami lalu terdiam dalam suasana canggung. Kurasakan tangan Sungmin dingin, dia…. Gugup? Takut?? Aku menoleh ke arahnya, mendapati raut galau di wajahnya. Raut wajah yang dia tunjukkan saat aku tanpa kabar menghilang ke Hiroshima dua tahun lalu. Perlahan, aku lepaskan genggaman tangannya dan meraih lengannya.
“Oppa, kami pergi dulu. Jaa… mata ashita! Ayo, Sungmin,” pamitku tergesa ke Han oppa dan menarik lengan Sungmin menjauh dari tempat Han oppa berdiri. Aku tahu dia masih terus mengawasi sosok kami yang menjauh.
Dalam mobil, kami saling diam dengan pikiran masing – masing. Berkali – kali aku melihat Sungmin menghela napas panjang. Aku juga terdiam. Hari ini jantungku sudah seribu kali terhenti. Tidak pernah terlintas di benakku akan bertemu dengan Han oppa kembali setelah 5 tahun berlalu. Dan di Kyoto. Tempat terakhir yang kupikir  bisa membuatku bertemu dengannya malah menjadi tempat pertama. Seharian ini aku lelah terus berlari, sembunyi, menghindari Han oppa. Untung ada Hana, langsung menyambar lenganku dan menyeretku menjauhi Han oppa setiap kami berada beberapa langkah.
Luka itu tetap ada di hatiku ternyata. Hati yang sudah aku tata begitu rapi sepeninggalnya kembali berantakan. Kenapa ada sakit menusuk di jantungku padahal sudah ada Sungmin si sampingku sekarang. Masihkah rasa cinta itu tersisa dan tak kusadari? Kenapa Han oppa harus kembali saat aku mulai melupakannya, melupakan cintaku padanya, melupakan luka yang dai tinggalkan??!! Rasa bersalah menjalari hatiku, aku sudah bersama Sungmin sekarang, tidak seharusnya kenangan itu ada.
Sekali lagi aku menoleh pada Sungmin yang masih diam membisu. Marahkah dia? Karena aku tak memberitahukannya tadi? Bukan maksudku menyembunyikan kedatangan Han oppa, tapi aku merasa itu bukan lagi suatu yang penting. Ternyata aku salah. Perjalanan 30 menit terasa lebih panjang dari biasanya, Sungmin tidak mengeluarkan suara satupun bahkan setelah ada di depan pintu apartemenku. Pergi begitu saja setelah mengucapkan selamat malam dan mengecup lembut pipiku. Aku melihatnya menjauh.
“Sungmin!” panggilku lirih. Dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.
“Wae?” tanya Sungmin memaksakan senyumnya.
“Hmm.. aniyo! Hati – hati di jalan, telepon aku kalo kau sudah sampai,” sahutku menelan kembali kata – kata yang sebenarnya ingin aku katakan.
“Ne..arraseo,” sahutnya singkat dan membalikkan badan berjalan menjauh. Aku menutup pintu di belakangku, menjatuhkan badanku lemas. Untuk siapa aku menangis? Untuk apa aku menangis???

Sungmin pov
Dari semua peristiwa mengagetkan hari ini, pertemuanku dengan Hangeng hyung merupakan yang paling membuatku kaget. Dia kembali. Kyoto… tidak pernah aku duga dari sekian ribu tempat di Seoul dan Jepang, dia ada di sini. Untuk apa dia kesini? Apakah dia akan mengambil kembali Yura. Apakah dia datang untuk Yura? Dan kau…  apa kau akan kembali padanya? Sempat rasa takut kehilanganmu menjalari benakku. Aku tidak bisa kehilanganmu sekali lagi, aku tak mampu melepaskanmu lagi demi siapapun. Tapi, ini Hangeng hyung.
Selintas aku melihat kembali luka di matamu. Luka yang berusaha aku tutup 5 tahun ini terbuka kembali. Masih cintakah kau padanya? Masihkah kau menunggunya selama ini?? Karena aku melihat kegalauan di wajahmu. Apa yang harus aku lakukan jika ternyata kau masih mencintainya? Melepaskanmu?? Mampukah aku melepaskanmu kali ini??
Kepalaku terasa berat. Tak lagi kuasa menahan air mata. Kuraih sebuah kotak berwarna putih dari saku jaketku, membukanya, menatap sebuah cincin blue sapphire di dalamnya. Menutupnya kembali dan menaruhnya di laci sebelah tempat tidur. Tak tahu apa aku bisa memberikannya padamu.

Tiit tiit..
Tdak bsa mnjmputmu. Mian. SM
Aku menatap pesan di layar ponselku. Seingatku hari ini dia ada di Kyoto, tumben tidak bisa menjemputku. Dengan kecepatan ekspress aku mengetik pesan untuknya.
Takkan kemana2 klo kau tak mnjmputku. Y
Ttiit..message sent. Aku menghitung sampai sepuluh dan…  pesan baru masuk.
Mianhae.bnar2 tak bsa jmput T_T.SM
Ada yang aneh!! Biasanya kalo aku merajuk dia pasti akan terbang menjemputku mseki dia di Afrika sekalipun. Setelah berpikir sejenak, aku mengetik pesan lagi.
Ok.kau tak bsa dtg,aq yg akn menemuimu.Y
Tanpa menunggu balasan, aku langsung pergi mencari taksi ke rumahnya. Pasti ada sesuatu telah terjadi pada Sungmin. Aku mengenalnya. Baru saja masuk taksi, ponselku bordering. Dari Sungmin.
“Kau dimana?” tanya Sungmin di seberang. Dahiku berkerut mendengar suaranya yang terdengar aneh.
“Taksi. Tunggu aku akan datang,” sahutku singkat. Kuputuskan sambungan telepon dan memasukkan kembali ponsel ke dalam tasku. Di sana pasti dia bengong menatap gagang telepon. Hahaha….
20 menit kemudian aku sampai di depan apartemennya. Pintu langsung terbuka begitu aku memencet bell. Dan benar saja, aku melihatnya terkapar dengan wajah pucat. Karena ini dia tidak bisa menjemputku, aku berkacak pinggang di depannya pura – pura marah. Sungmin hanya nyengir sambil menahan sakit. Semua jadwal Sungmin 2 hari ke depan sudah dibatalkan, managernya geram tidak berhasil memaksa Sungmin ke dokter. Sungmin? Ke dokter? Sampai kiamat juga tidak akan terjadi. Dia kan paling alergi dengan dokter. Setelah berjanji akan merawat Sungmin, aku mengantarkan managernya pergi sampai depan pintu.
“Kenapa tidak memberitahu aku? Takut aku akan menyeretmu ke dokter? Kau anggap aku apa, sih? Selalu jadi orang terakhir yang kau beritahu!” semprotku kesal. Dengan kasar aku menyelimuti tubuhnya, dan meninggalkannya mengambil air dingin untuk kompres. Masih ngomel – ngomel tak karuan aku membuatkannya bubur. Dari dalam kamarnya aku mendengarnya berkata ‘maaf’, ‘tak ingin merepotkanmu’, dan entah apa lagi tidak aku gubris.
1 jam kemudian, Sungmin sudah terlelap setelah makan dan minum obat. Aku duduk menunggu di kursi sebelah tempat tidurnya sambil menulis. Saiko-san dan Hana sudah kuberitahu kalau aku tidak masuk kerja, cuti selama 2 hari. Sehingga bisa fokus mengurus Sungmin. Melihatnya jatuh sakit dan lemah seperti ini, aneh rasanya. Selama ini hanya aku yang bergantung padanya dan Sungmin, selalu mandiri. Dia tegar, kuat, dan hebat dimataku.
Aku menatap Sungmin yang tertidur pulas. Tanpa sengaja, mataku menangkap sebuah benda kotak di laci mejanya yang sedikit terbuka. Penasaran, aku membuka laci meja dengan pelan agar tidak ketahuan Sungmin. Aku mengambil kotak itu dan langsung membukanya, cincin??!! Bergantian aku menatap Sungmin dan cincin di tanganku. Mungkinkah???

Hangeng pov
Cuti karena Sungmin sakit??? Aku baru mendapat kabarnya dari Saiko-san ketika kumenanyakan perihal ketidak hadiran Yura. Dari yang aku dengar, mereka bukan lagi sebagai sahabat melainkan sepasang kekasih. Itu kenapa Sungmin berada si Kyoto dan berkarir di Jepang. Seharusnya tanpa perlu bertanya aku tahu hal itu sejak melihat keakraban mereka tempo hari, melihat tangan Sungmin yang menggenggam lengan Yura dengan lembut dan tatapan Yura pada Sungmin. Cinta itu bukan untukku lagi.
5 tahun ini semuanya sudah berubah. Tidak bisa kupungkiri, aku juga berubah. Demikian pula Yura dan Sungmin. Bukan salah mereka kalau pada akhirnya pacaran. Aku tidak berhak menyalahkan siapapun, karena semua memang aku yang salah disini. Aku meninggalkan Yura 5 tahun lalu, dia bukan kekasihku lagi. Tapi, kenapa ada rasa sesak memenuhi dadaku.
Aku menghela napas panjang, menengadahkan wajahku menatap langit – langit kantorku. Aku sudah melepaskan Yura malam itu, untuk sesuatu yang sebenarnya tidak pernah bisa aku dapatkan. Baru sekarang aku teramat menyesal. Sudah terlambat.

“Hana, sepertinya dia akan melamarku,” ujarku memberitahu Hana. Aku masih teringat pada cincin blue sapphire di laci meja Sungmin.
“Siapa? Sungmin?!!!” teriaknya kaget. Dia langsung membekap mulutnya menyadari dimana kami sekarang.
“Benarkah?” sekali lagi dia bertanya. Aku mengangguk.
“Aku melihat cincin itu sebulan lalu, tapi sampai sekarang dia belum mengatakan apapun,” jawabku dengan nada kecewa. Hana masih menatapku tak percaya.
“Atau aku salah sangka?” tanyaku pada Hana.
“Mungkin belum saatnya. Kau tau sendiri kan, sekarang dia lagi sibuk dengan tour Asianya. Kapan tournya selesai?”
“Minggu depan,” sahutku singkat.
“Mungkin minggu depan dia akan melamarmu setelah pulang tour. Bukankah kalian janjian pulang ke Seoul bareng?” aku mengangguk lagi. Hana mengawasiku sibuk mengaduk – aduk gelas cappuccino dengan tajam. Kutengadahkan wajah balik menatapnya heran.
“Wae??”
“Kau..sudah tidak ada perasaan apapun pada Han oppa, kan?” pertanyaan Hana yang tiba – tiba dan tidak aku duga membuatku terdiam. Aku belum siap menjawab pertanyaan itu.
“Yura!” panggil Hana saat melihatku terdiam. Seakan bisa membaca pikiranku, Hana menghela napas panjang. Ditatapnya aku.
“Entahlah, Hana. Setiap melihat Han oppa, rasa sakit itu kembali timbul. Sakit yang bahkan Sungmin tidak bisa mengobatinya,” kataku jujur.
“Sakit itu takkan ada kalo kamu udah ga ada perasaan apapun. Jangan katakan kau masih mencintai Han oppa selama ini,” Hana berkata dengan nada getir. Aku terdiam tak mampu menjawabnya. Mencintai Han oppa? Apakah masih ada cinta itu selama ini? Aku menggeleng, berusaha menepis keraguan itu.
“Aku tak ingin menyakiti Sungmin, Hana. Ottoke…” keluhku.
“Kau pikir kalau Sungmin tau hal ini dia akan diam saja? Dia pasti akan melepaskanmu untuk Han oppa, sama seperti dulu. Sungmin mampu melakukan apa saja asal kau bahagia, Yura. Bahkan rela menyakiti diri sendiri.”
Kata – kata Hana seakan menamparku, menyadarkanku akan hal itu. Apa aku akan membiarkan Sungmin melepaskanku lagi? Sanggupkah aku bertahan tanpa Sungmin, melalui hari seperti sepanjang musim gugur 5 tahun lalu??!! Aku menatap Hana tanpa suara.
“Hatimu punya jawabannya.”

Setiap kali aku berpikir akan mendapat kejutan, selalu sebaliknya. Sesaat lalu aku berpikir Sungmin akan melamarku, sebaliknya, dia memutuskanku. Masih berusaha mencerna kata – katanya, aku mematung menatapnya tak percaya. Benar kata Hana, sekali lagi Sungmin melepaskanku untuk Han oppa.
“Aku tidak bisa menahanmu untuk terus berada disisiku. Kau akan lebih bahagia bersama Hangeng hyung,” kata Sungmin membuatku tak percaya.
“Sungmin!”
“Meskipun kita putus, kau masih memilikiku sebagai seorang sahabat. Selamanya..” kata Sungmin lagi. Dia tersenyum, membuat hatiku sakit rasanya. Sungmin menyentuh pipiku lembut dan mengusap air mata yang tanpa aku sadari sudah menetes.
“Hangeng hyung masih mencintaimu, Yura. Dulu dia pergi karena keadaan memaksanya. Maafkan dia kali ini dan kembalilah padanya. Aku tau kau juga masih mencintainya. Aku juga tau kau paling sulit untuk memilih, karena itu aku memilihkannya untukmu.”
Hentikan! Tolong hentikan semua ini, Sungmin. Sampai kapan kau membiarkan dirimu menyakiti diri sendiri? Teriakku dalam hati.
“1 jam lagi pesawat Hangeng hyung akan berangkat. Kau masih ada waktu, susul dia. Jangan sampai kau kehilangan dia lagi dan menyesalinya. Aku tak mau melihatmu terluka,” kata Sungmin lagi. Melihatku diam, hanya menangis mendengar kata – katanya, Sungmin memelukku. Di belainya lembut kepalaku. Aku sudah melukainya dan dia menganggap aku yang terluka.
“Gwencana. Aku akan baik – baik saja. Selamat tinggal, Yura,” bisiknya. Dilepaskan pelukannya, menatapku lembut dan memberika sebuah senyuman sebelum akhirnya dia pergi meninggalkanku mematung di teras rumahku. Aku melihatnya menghilang dari balik pagar.
Hatiku diliputi keraguan. Aku tidak bisa memilih seperti kata Sungmin dan dia memilih pergi dariku agar aku bisa kembali pada Han oppa. Apa ini yang aku mau??? Sebenarnya aku berharap Sungmin menahanku pergi kali ini, memelukku dan tidak membiarkan hatiku berpaling ke siapapun termasuk Han oppa. Aku ingin sekali ini saja dia tidak membiarkan aku berlari karena aku lelah, sekali ini saja berharap Sungmin egois. Tapi, dia, Sungmin masih seperti dulu yang aku kenal.
Dia membuatku semakin berat. Hangeng oppa? Ya.. aku mungkin masih ada sisa cinta itu untukknya. Seperti kata Hana, rasa sakit tidak akan ada kalo tidak ada rasa cinta. Dua-duanya meninggalkan rasa sakit padaku. Han oppa pernah memberika segalanya untukku lalu mengambilnya dengan rasa sakit yang luar biasa, dia sekarang kembali membawa obat itu. Sungmin….dia tidak pernah sekalipun menyakitiku, hanya aku yang selalu menyakitinya. Dan dia hanya tersenyum, seperti tadi. Senyum menusuk nyeri hatiku.
Kututup wajahku dengan kedua tangan, aku benar – benar tidak tahu. Aku tidak mau memutuskan sesuatu yang akan membuatku menyesal nantinya.  Ottoke??? Haruskah aku memilih Han oppa dan memberinya kesempatan sekali lagi, ataukah Sungmin yang selalu memberikan segalanya hanya untukku??
Masih duduk dengan rasa bimbang, satu persatu kenangan itu berputar di benakku. Lampu teras yang temaram memantul mengenai gelang Kristal sapphireku. Membuatku terkesiap, menyadarkan akan perasaanku selama ini. Tanpa pikir panjang lagi aku berlari keluar rumah. Aku tahu siapa yang lebih berarti bagiku. Dan aku tak mau kehilangannya sekali lagi. Kugenggam erat gelang Kristal sapphire saat aku berlari sepanjang jalan. Berikan aku kekuatan dan keajaiban sekali lagi.
Langit malam musim semi bertaburan bintang. Cerah dan menguarkan kesejukan, membuatkan makin ringan melangkah. Tunggu aku! Aku akan datang padamu dan mengatakan sesuatu yang akan membuatmu takkan pergi lagi. Saranghae….

Epilog
Seoul, musim semi 1994
“Yura, jangan menangis lagi,” bujuk Sungmin merangkul Yura yang masih tersedu. Tidak tahu lagi apa yang mesti dia perbuat untuk membuat sahabatnya itu tersenyum lagi.
“Appa..” isak Yura.
“Appa pasti sedih liat kamu nangis. Ayo, berenti nangis dan tersenyum. Kalo nangis terus ntar matahari enggan bersinar,” bujuk Sungmin lagi. Diusap lembut rambut Yura. Perlahan Yura menghentikan tangisannya, hanya tersisa isakan dan menoleh ke arah Sungmin.
“Kenapa bisa matahari enggan bersinar?” tanya Yura heran. Sungmin tersenyum.
“Yaaa…gimana bisa bersinar kalo mataharinya sedang nangis disini?” sahut Sungmin menunjuk Yura. Membuat Yura tersenyum.
“Nah, harus tersenyum seperti ini. Appa yang sudah menjadi bintang di langit pasti senang liatnya,” sambung Sungmin mengusap buliran air mata Yura.
“Bintang? Menurutmu appa jadi salah satu bintang itu?” tanya Yura seraya menunjuk langit musim semi yang bertaburan bintang. Sungmin mengangguk mantap.
“Iya, jadi selama Yura tersenyum, matahari akan bersinar dan bintang – bintang itu takkan hilang dari langit. Dari sekarang, Yura harus selalu tersenyum, ya. Arraseo??” kata Sungmin menyodorkan kelingkingnya. Ragu – ragu Yura menyambutnya dengan kelingking. Mereka berjanji di bawah langit musim semi.
“Ini untukmu,” kata Sungmin sambil mengaitkan sebuah gelang sapphire di pergelangan tangan Yura. Gelang Kristal berwarna biru yang indah. Yura memandang dengan penuh kekaguman.
“Gelang Kristal sapphire ini akan selalu beri Yura kekuatan, keberanian dan keajaiban. Selama gelang ini kau pakai, aku, appa, dan semua yang sayang pada Yura akan selalu ada untukmu. Jadi, jangan pernah bersedih lagi ya…. Kalo kau sedih bilang padaku. Janji??”
“Ne..gomawo,” sahut Yura menganggukkan kepala.
Keduanya menatap langit biru yang bertaburan bintang.  Musim semi yang indah telah datang, menawarkan kesejukan dan kehangatan.


                                                                 ^^THE END^^

No comments:

Post a Comment