Wednesday, October 20, 2010

HUJAN

CHAPTER 4
HUJAN


Tes….tes…tes….
Bunyi rintik hujan yang menimpa genteng mengusik tidur siangku. Semakin kutenggelamkan tubuhku di balik selimut dan menutup kedua telingaku dengan bantal. Tapi, sekian detik kemudian rintik itu menjelma menjadi hujan deras. Dan bantal itu sudah tidak mampu lagi meredam suara hujan. Hujan!!!
Kenapa harus ada hujan sih, hari ini??? Hari dimana aku sangat mengharapkan tak ada hujan. Hari dimana aku tidak ingin mengingatmu. Dan hujan akan selalu mengingatkanku akan dirimu. Kemana perginya matahari yang tadi pagi begitu menantang bumi dengan panasnya? Kemana langit biru yang seperti kanvas menanti untuk dilukis dengan ribuan awan putih? Bahkan angin sekalipun seperti hilang. Dan hujan turun dalam diam.
Tidak tahan terus berbaring di atas tempat tidur, aku bangkit menuju tepian jendela. Dingin menusuk tulang membuatku menggigil meskipun sweater tebal membalut tubuhku. Aku hanya dapat menatap tirai-tirai hujan dari balik jendela kamarku. Pikiranku menerawang jauh dan jatuh bersama derai hujan di luar sana. Dulu aku begitu menyukai hujan.
Dulu, saat kecil aku suka sekali main hujan-hujanan di halaman rumah. Hanya sekedar diam, merentangkan tangan dan menengadahkan wajahku ke arah langit menyambut rinai hujan. Tidak peduli dengan omelan Bunda, tak peduli akhirnya akan demam berhari-hari, bahkan kemungkinan tersambar petirpun aku tak peduli. Entahlah, rasanya begitu nikmat dan mendamaikan hati. Setiap kena marah ibu guru, aku selalu berharap akan turun hujan setelahnya. Pun ketika tidak turun hujan, aku bisa mengalirkan air shower ke wajahku dan berkhayal itu adalah hujan.
Hujan. Ada cerita yang dibawa hujan. Ada luka dalam hujan. Ada penyembuhan dalam hujan. Ada kehidupan dan kematian oleh hujan. Ada aku. Ada dirimu. Ada dia. Semua menyatu dalam hujan.

“Bian, bangun!!”

Rinai hujan basahi aku…
Temani sepi yang mengendap
Kala, aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu
Segalanya seperti mimpi
Kujalani hidup sendiri
Andai waktu berganti
Aku tetap takkan berubah
Aku selalu bahagia saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu untukku sendiri
Selalu ada cerita tersimpan di hatiku
Tentang kau dan hujan, tentang cinta kita
Yang mengalir seperti air
Aku selalu bahagia, saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu untukku sendiri
Aku selalu tersenyum sepanjang hari
Karena hujan pernah menahanmu di sini, untukku

Ah, lagu ini. Tergesa kumatikan radio di atas meja dan bergegas membuka pintu kamar sebelum mama mendobraknya karena mengira aku masih tidur siang.

Awan hitam masih menyelimuti langit malam ini, menghalangi bulan dan bintang menampakkan sinarnya ke bumi. Kabut juga masih membelit sekitarku menciptakan nuansa lembab yang menjengkelkan. Sejauh mata memandang hanya kegelapan saja. Meskipun malam selalu identik dengan kegelapan, tapi ini lebih kelam. Senyap. Kurapatkan jaket yang membalut tubuhku mengusir dingin yang terus menerjang. Bulir-bulir hujan masih setia turun dari langit meskipun tak sederas kemarin. Tapi lumayan membuat malam ini semakin dingin.
Aku harus mengakrabkan diri dengan kegelapan dan dingin ini. Dingin. Kenapa aku belum juga terbiasa dengan dingin? Bukankah dingin adalah bagian dari diriku, hidupku dan tubuhku??? Entah sejak kapan hati ini terasa membeku tak bisa merasakan apapun yang menghujamku. Mati rasa. Atau lebih tepatnya membutakan hati? Semua gelap sehingga tak nampak apapun untuk dirasa ataupun dilihat. Karenanya, akan terasa aneh kalau aku merasa kedinginan hanya karena sebutir air hujan dan merasa gelap hanya karena setitik awan. Aku adalah hujan. Aku adalah dingin. Aku adalah gelap. Dan aku adalah Bian.
Entah kenapa disaat-saat seperti ini aku mengharapkan angin kencang datang trus mengusir awan-awan nakal itu. Ingin hidup dibawah sinar matahari yang garang, ingin menari dibawah siraman lembut cahaya bulan. Menatap nanar pada langit biru yang cerah. Disisi lain aku takut semua itu akan melenyapkanku, menghilangkan jejak-jejak yang ada padaku. Seperti embun dipagi hari yang selalu lenyap karena matahari. Meskipun esoknya masih bergelut mesra di dedaunan, tapi apakah itu embun yang sama? Aku tak tahu. Sama halnya apabila aku lenyap. Apakah aku akan tetap menjadi hujan yang sama???
Luruh. Air hujan semakin deras mengguyur pelataran villa, menggenangi kolam renang, membuat becek jalanan tanah didepan villa. Masih terpaku di ambang jendela ruang tamu tak bisa lepas menatap tetes demi tetes air hujan. Bukan hanya hujan yang membasahi bumi, tapi juga air mata ini yang terus saja turun membentuk alur di kedua pipiku.
Mengalir tiada hentinya, membanjiri kedua mataku yang mulai membengkak karena kelenjar air mata terus saja bekerja. Sweater yang kukenakan pun mulai basah. Tak bisa kuhentikan! Sekuat apapun aku menahan agar air mata itu tak jatuh, tapi tetap saja percuma. Seperti hujan di luar sana yang tak terkendali, mata dan otakkupun demikian. Satu persatu memori itu keluar dari benakku seiring dengan buliran air mata yang jatuh dari pelupuk mata.

Aku, Bian. Semua orang selalu menganggap aku adalah sosok tegar dan dingin. Diibaratkan dengan batu karang. Apapun yang menerjang, akan selalu ada disana dengan kokohnya, dengan angkuhnya. Menerima semua terpaan angin dan ombak yang tak kenal lelah menghantam. Ada luka menganga disana, tak tampak, tersembunyi di balik senyum, tawa dan sejuta keonaran yang tercipta. Meski kadang terlihat garang dan menakutkan,tapi semua menganggap itu hanyalah proses sementara. Dan begitulah adanya aku.
Bukan karena aku ingin hidup dalam kepura-puraan, ada satu alasan aku berlaku seperti itu. Seseorang tepatnya.
“Tau ga, kenapa aku slalu panggil kamu Bi??” Tanya Vin tiba-tiba membuatku menoleh ke arahnya yang sedang tersenyum menatapku.
“Ya karena nama gue Bian,” sahutku. Vin menggeleng pelan.
“Bukan. Dalam bahasa Korea, Bi itu artinya hujan,” katanya membuatku mengerenyitkan dahi tak mengerti. Jalan pikiran anak satu ini emang aneh.
“Kamu tuh kayak hujan. Susah ditebak datangnya, tak tentu bentuknya. Kadang menyejukkan tapi kadang bisa menenggelamkan. Semua jenis air dimuka bumi ini yang menguap selalu menjadi air hujan. Yang asin, manis, pahit, bahkan yang beracun pun akan berubah menjadi air tawar,” jelasnya membuatku terbahak-bahak. Selama semenit aku tertawa dan Vin hanya tersenyum memandangiku. Setelah aku berhenti tertawa, Vin berkata lagi. Kata-kata yang membuatku terperangah.
“Itu yang selalu kamu lakuin, apapun yang terjadi, seberat apapun masalah yang menimpa bila dekat kamu semua itu hilang begitu aja. Menjadi sebuah senyuman. Sama halnya dengan hujan yang bisa menghapus panas matahari, kamu memberikan kesejukan itu. Bi adalah hujan.”
“Tau ga sih lo Vin, lo tuh temen gue yang paling aneh.”
“Aku anggap itu pujian,” sahut Vin seraya tertawa.
Ah, hujan. Hujan yang selalu menyejukkan, menghapus segala kesedihan, menghadirkan senyuman. Itukah aku dimata Vin??? Kalo memang demikian, aku rela menjadi hujan yang akan selalu ada untuk Vin maupun sahabatku yang lainnya. Senyum Vin adalah salah satu kekuatanku untuk terus turun dan berpijak di bumi ini.
Satu tanyaku, tatkala hujan berduka siapa yang akan menghapusnya???

“Gue kira lo lupa ma gue, Vin,” godaku ketika Vin menghampiriku. Dia hanya nyengir, tanpa mempedulikan protesku langsung duduk di sebelahku.
“Ga mungkin aku lupa ma sahabat terbaikku sedunia ini….” Celetuknya merangkulku. Kusingkirkan lengannya, pura-pura marah. Lagi-lagi,Vin terkikik melihat tingkahku.
“Lo ga takut tuh pangeran kodok disamber orang?” kataku menunjuk pada seseorang yang sedang asyik bercanda dengan teman-temannya tak jauh dari kami. Vin mengikuti arah pandanganku.
“Enak aja ngatain dia pangeran kodok!” rajuknya melotot. Aku mendengus menahan geli.
“Ga lah, Bi. Aku ga takut. Aku malah lebih takut kalo kehilangan kamu sebagai sahabatku,” tambahnya dengan tampang serius membuatku ngakak. Vin memberengut kesal. Sejurus kemudian aku menatap lurus ke arah orang yang sedang kami bicarakan, Raka.
Vin dan Raka, perpaduan aneh kalau menurutku. Seperti matahari dan bulan, seperti langit dan bumi. Terlalu tajam perbedaan diantara mereka. Tapi saling melengkapi kekosongan yang ada diantara mereka, seperti sebilah pisau yang tak akan tajam tanpa sisi lainnya. Oke… emang perumpamaan yang aneh tapi itu yang terpikir olehku. Dan aku melihat sedikit perubahan terjadi pada diri Vin semenjak bersama Raka. Satu pintu yang selama ini tak pernah mampu aku buka. Ada sedikit rasa cemburu karenanya.
Aku hanya bisa berharap pada akhirnya, berharap Raka mampu mengobati luka Vin, mampu membuat Vin bahagia dan mampu menjadi matahari di hati Vin yang kelam. Hal – hal yang selama ini belum mampu aku lakukan, hal – hal yang selama ini tanpa Vin sadari menjadikan jarak antara dirinya dan aku. Kutoleh Vin disebelahku yang sedang asyik melihat Raka dikejauhan. Binar – binar bahagia seakan menyilaukan mataku, mau tak mau membuatku tersenyum juga. Aku iri pada Vin yang bisa merasakan keindahan itu, bukan berarti aku tak pernah mengalaminya. Tapi itu cerita yang lainnya.
“Yah… hujan!” seru Vin ketika merasakan butir – butir air turun dari langit.
Ku tengadahkan wajahku dan merasakan butir – butir lembut air hujan menyentuh pipiku. Hujan semakin menderas tatkala kurasakan lenganku diseret Vin untuk berteduh. Dengan langkah terseret aku terpaksa mengikutinya. Saat sampai di kelas hujan seakan ditumpahkan dari langit, aku hanya bisa mengulurkan tangan dari jendela untuk merasakan buliran hujan itu. Vin, seperti biasa hanya menatapku melakukan hal – hal aneh itu tanpa mengeluarkan suara. Sudah aku katakankah kalau aku suka hujan?? Aku juga benci hujan!
“Aneh, setiap aku melihat sinar matamu seperti tadi, pasti turun hujan,” gumam Vin seraya memandang keluar jendela. Aku menoleh.
“Apa?”
“Oh, ga papa. Aku cuma heran kenapa tiba – tiba turun hujan padahal tadi langitnya kan cerah,” sahut Vin membuatku mengerenyitkan dahi.
“Entahlah… hujan di musim kayak gini kan wajar Vin,” kataku mengemukakan alasan. Aku sendiri tak mengerti kenapa hujan turun tiba - tiba.
“Seakan hujan ini turun untuk membasuh luka seseorang. Seperti morfin yang memberikan ketenangan pada rasa sakit,” gumam Vin menerawang membuatku terkesiap selama sedetik. Kutatap Vin yang masih setengah melamun.
“Hujan emang susah ditebak maunya. Kadang gerimis, kadang cuma setetes, kadang deras seperti sekarang. Tiba – tiba pula. Sama sepertimu Bi, suasana hatimu susah sekali ditebak. Semua tampak sama, seperti aliran air yang tenang. Tapi aku tahu terkadang ada ombak yang tak pernah kau perlihatkan. Karena itu aku selalu bilang kalau hujan mirip denganmu, membuat semua hal nampak sama pada akhirnya,” kata Vin tanpa menoleh ke arahku. Aku mendengus pelan dan memutar badanku ke arah jendela, menatap hujan.
Tak ada suara diantara kami, terlalu khusyuk mendengarkan nyanyian hujan seiring dengan seribu lamunan di benak masing – masing. Terkadang aku ingin menembus pikiran semua orang disekitarku, menyelaminya. Atau berusaha menyembunyikan sejuta angan dalam benakku, menguncinya seakan takut seseorang akan membacanya. Mungkin terlalu pengecut diriku ini, selalu ingin mencari kedamaian dan keamanan sendiri, bahkan dari sahabatku sendiri. Meski sering aku berpikir Vin atau sahabatku yang lain tahu apa yang sedang aku pikirkan, senyata membaca sebuah buku yang sudah terbuka. Semakin aku menutupinya, semakin rasa takut itu muncul.

“Kemungkinan untuk sembuh tinggal 40% saja. Tapi, bukan berarti kita harus berhenti berusaha. Karena saya yakin keajaiban itu ada.”
Kenapa petir itu datang justru ketika hujan tidak turun ke bumi? Ketika langit sangat biru dan menyejukkan seperti ini?? Dan petir itu menyambarku sampai menghanguskan relung hatiku. Menumbangkan segala karang yang ada dalam diriku. Tak ada yang tersisa, seperti seonggok daging tanpa nyawa. Tapi masihkan hidup 40% bisa disebut hidup???
Aku tak lagi mendengarkan sejuta bullshit yang terlontar dengan maksud mendamaikan hatiku, menenangkan pikiranku. Semua bagai omongan tukang obat di pasar minggu, penuh janji – janji manis nan palsu. Menyesatkan!! Semua sudah berakhir!! Aku hanya menatap kosong sosok di depanku yang berusaha menyembunyikan kepesimisannya, sekuat tenaga menyakinkanku dengan sesuatu yang dia sendiri tak tahu.
“Sudah banyak yang berhasil melewati ini dan mereka bertahan hidup,” katanya menenangkanku.
“Sebutkan contohnya!” dan dia gelagapan ketika aku menuntut jawaban dengan menatap tajam ke arahnya.
“Di Amerika….”
“Aku tak peduli dengan Amerika. Bagaimana dengan pasien Anda?” potongku tajam. Aku perlu realitas. Senyata perih ini, senyata air hujan yang sering membasahi tubuhku. Lagi – lagi aku melihat tatapan penuh iba itu.
“Ada satu orang yang sampai sekarang mampu bertahan hidup. Dengan kecanggihan medis sekarang….”
“Satu dari berapa?” potongku lagi dengan sadis.
“Maaf?” dia terperangah kaget menatapku.
“Yang selamat. Berapa prosentasenya??” dia menatapku dan menghela napas panjang. Pertanyaanku memang seperti tawar menawar barang di pasar. Bedanya ini masalah nyawa.
“Ca… kenapa kau harus menanyakan itu?” dia melepaskan status dokter dan pasien diantara kami dan aku menyadari hal ini juga terlalu berat untukknya.
“Gue cuma pengen tau!! Bukankah itu hak pasien?” sahutku berusaha tenang. Ku arahkan pandanganku keluar jendela menghindari tatapan matanya.
“Singapura dan Amerika sudah mengembangkan penelitian tentang penyakit ini. Aku akan mengirimkanmu kesana untuk diobservasi lebih lanjut. Mereka punya obat dan alat medis yang lebih canggih dan kemungkinan sembuh akan semakin besar,” jelasnya hati – hati seperti memberi pengertian pada balita kalau pisau itu tajam dan berbahaya.
“Kalo gue ga mau?!! Gue pengen lo yang nyembuhin gue!!” tantangku kemudian. Dia menghela napas dan beranjak mendekatiku. Sekarang semakin jelas apa yang dia rasakan terlepas dari profesionalitasnya tadi. Tanpa ragu menunjukkan rasa sakit itu, rasa sedih itu. Dan aku tidak menyukainya.
“Ini bukan spesialisasiku. Ada dokter yang lebih hebat dariku yang bisa menyembuhkanmu, Ca.”
Jelas dia merasakan sakit dan entah kenapa aku makin membuatnya kesakitan dengan semua kata yang tak berguna ini.
“Berapa lama waktu yang gue punya kalo ga pergi kesana melakukan semua bullshit itu??”
“Ca..”
“Jawab gue!!”
Dia terpekur. Setelah menghela napas panjang –seperti yang selalu dia lakukan kalau sedang gundah dan sedih- dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Entahlah… mata tajam itu terlihat mengelam.
“6 bulan.”
“6 bulan?”
“Bisa lebih dari itu, bahkan sembuh total kalau…”
“6 bulan…. Sampai November kan?”
“Eh.. apa?” tersentak dia menatapku bingung.
“Cukup bagi gue kalo sampai November. Gue ga perlu tambahan waktu, semoga juga ga ada diskon waktu buat gue. Buat gue hidup sampai November!” kataku seraya menatap langsung ke dalam matanya dan dia tahu aku serius dengan kata – kataku.
“Ca….jangan main – main! Kamu pasti sembuh!” bentaknya mencengkram kedua bahuku.
“Gue ga main – main!! Dengan 40% hidup yang masih tersisa ini bakal gue manfaatin. Gue ga mau ngebuang waktu gue dengan segala eksperimen ato pengobatan yang belum jelas pula hasilnya. Udah cukup bagi gue asal bisa hidup sampai November!” kataku tajam. Dapat kurasakan tangan di bahuku gemetar. Aku tak akan kaget kalau saat itu juga dia menamparku, memakiku ataupun melemparku keluar dari ruang prakteknya karena perkataanku, tapi dia….. memelukku erat.
“Baik. Kalau emang itu maumu…. Aku akan membantumu,” bisiknya lirih. Sekuat tenaga aku menahan air mata yang sudah menggantung di pelupuk mataku. Seorang Bian tak boleh menangis.
Perlahan aku melepas pelukannya, tak mau semakin terlarut karena nantinya aku akan menjadi lemah. Aku menatapnya dan memberikan senyuman paling tegar yang dapat aku tampilkan. Tak ingin berlama – lama di tempat itu bersamanya akupun beranjak keluar. Ketika sampai di pintu aku menoleh ke arahnya.
“Cukup hanya kita dan Tuhan yang tahu semua ini,” pesanku yang dibalas anggukan lemah darinya. Baru aku sadari terkadang dia lebih lemah dariku, atau mungkin aku yang selalu berpura – pura tegar? Hati kecilku mengakui sebenarnya aku kalah jauh dari dia yang tak pernah berpura-pura tegar ataupun dari si aneh Vin. Untuk terakhir kalinya aku tersenyum dan menutup pintu dibelakangku. Dari sudut mataku aku melihat dia duduk terpuruk di kursi yang tadi aku duduki. Sekali lagi aku telah menyakiti orang yang sebenarnya tidak pernah ingin aku sakiti.


“Hujan emang susah ditebak maunya. Kadang gerimis, kadang cuma setetes, kadang deras seperti sekarang. Tiba – tiba pula. Sama sepertimu Bi, suasana hatimu susah sekali ditebak. Semua tampak sama, seperti aliran air yang tenang. Tapi aku tahu terkadang ada ombak yang tak pernah kau perlihatkan. Karena itu aku selalu bilang kalau hujan mirip denganmu, membuat semua hal nampak sama pada akhirnya.” Kata-kata Vin sore itu kembali terngiang di telingaku saat aku menatap hujan dari jendela kamarku. Bunda. Alasan aku menjadi hujan adalah Bunda, Vin, batinku. Biar aku menjadi aliran air tenang bagi orang lain. Biar gemuruh itu milikku seorang saja. Toh, seperti katamu, semua akan nampak sama pada akhirnya.
Beep…beep…beep…
Getar handphone membuyarkan lamunanku. Sekilas aku melirik nama pengirimnya dan mendesah pelan. Dia selalu tepat waktu.
Jgn lp mnum vit.
G ad diskon waktu bwtmu.
Hujan msh ttp sm spt kmrn mski kau pelototin
Aku meringis membaca baris terakhir smsnya. Dia pasti sudah menduga apa yang sedang aku lakukan saat ini. Tanpa buang waktu aku meraih botol kecil dari dalam laci meja belajarku dan mengeluarkan 4 butir pil berwarna putih yang langsung menghilang dalam mulutku. Vitamin. Itu kode rahasia.
Aku menatap kalender di mejaku. Waktuku sudah tak banyak lagi. Akan ada berapa banyak lagi yang tersakiti olehku nantinya? Vin, Bunda, Satria, Laras dan yang pasti dia, Bintang! Setiap kali mengingatnya rasa sakit itu semakin bertambah.
Beberapa hari belakangan banyak yang terjadi tanpa aku duga. Raka dan Vin putus, Satria ternyata sudah lama menyukai Vin –damn! Seharusnya aku comblangin mereka berdua kalau saja Satria ngomong dari awal- gosip tak mengenakkan tentang Vin yang difitnah seseorang. Dan aku tahu siapa dia. Disaat seharusnya aku memberikan Vin dukungan, aku malah terkapar di tempat ini. Kalau bukan karena Bintang, aku pasti sudah pergi dan menonjok semua orang yang seenaknya mengatakan Vin cewek dagangan. Damn! Aku benci ini!! Ingin rasanya kuambil diskon waktu untuk Vin.

“Kamu harus pergi sekarang juga, Ca. Tak ada tawar menawar lagi!!” perintahnya tegas ketika melihatku mimisan untuk kedua kalinya hari itu. Ingin aku menepiskan tangannya tapi tubuhku terlalu lemah bahkan untuk berdiri sekalipun. Akhirnya dengan pasrah aku menurutinya. Sepanjang jalan aku melihatnya berkonsentrasi menyetir sambil terus mengkhawatirkanku.
“Sepertinya….ga ada… tambbhan.. waktu buat…gu..e…” kataku terbata sambil nyengir.
“Diam!!” bentaknya.
“Becanda…” cengirku lagi berusaha membuatnya terlihat lucu.
“CA!!! Aku ga mau kau jadikan dirimu sebagai becandaan. Tolong sekali ini aja hargain perasaanku!!” teriaknya frustasi. Aku menoleh ke arahnya dan melihat sebutir air mata. Kenapa kamu harus menangis karenaku?!!!
“Tuhan…tak.. pernah adil. Gue…cuma minta 1 bulan lagi…. Bukhann diskon waktu…” desahku lirih. Dadaku terasa sesak. Ada sesuatu mengalir membasahi tanganku. Bukan air mata, bukan pula air hujan yang kurindukan. Tapi darah yang semakin mengucur.
“Bertahan, Ca. Sebentar lagi kita sampai!” katanya panic. Pertama kali aku melihatnya seperti itu. Tangan kirinya sesekali memegang bahuku dan merapatkan selimut yang aku pakai. Hujan….aku ingin hujan turun saat ini. Menggantikan air mata yang tak ingin aku tumpahkan.
“Lo tau..kenapa gue…sudah …cukup senang meski..sampai November?” tanyaku menoleh kearahnya.
“Jangan bicara dulu, Ca…” cegahnya meski dia tahu aku akan terus bicara.
“Karena…November… ulang tahun Lo….dan.. gue pernah jan..janji…selalu ada di..di setiap ultah Lo….” Aku menatapnya lekat-lekat. Mungkin saja ini terakhir kalinya aku melihatnya. Dia menoleh ingin menghentikanku bicara ketika melihat air mataku turun…
Andai….
Terlalu banyak andai dalam benakku. Andai aku masih punya waktu untuk mengatakan perasaanku padanya. Untuk kali ini biarkan aku egois, memperlihatkan gemuruh ombak dalam hatiku dan tak menjadi aliran air tenang untuk sesaat. Tapi aku tahu…. Aku harus bertahan menjadi hujan yang selalu sama pada akhirnya atau dia akan semakin terluka.
“Ca…kamu pasti akan hadir di ultahku bulan depan, tahun depan dan semua ultahku. Kamu pasti sembuh!!” teriaknya sambil memegang tanganku. Kenapa saat hujan begitu kuharapkan turun malah seolah enggan datang. Dan aku benci langit penuh bintang malam ini.
Vin….apa yang akan dia pikirkan tentangku yang pergi tanpa pamit? Meninggalkan dia melalui penderitaannya sendirian padahal aku pernah berjanji akan selalu ada untuknya. Aku sudah sempat menitipkan dia pada Satria, karena dia satu-satunya orang yang aku percayai bisa membahagiakan Vin.
Laras yang lembut namun cadas. Aku sudah mengatakan kebohongan tentang kondisiku yang sempat dia pergoki sedang mimisan di kampus. Dan aku tahu dia sama sepertiku yang akan selalu menjadi karang bagi sahabat-sahabatnya, termasuk Vin dan Carin. Bahkan dia lebih tahu.
Carin..kalau mengingatnya semakin bertambah rasa bersalahku. Dia menyukai Bintang! Dan orang pertama yang dia beritahu adalah aku. Aku sudah berjanji akan membantunya. Tapi aku bohong!! Ada rasa ngilu di hatiku.
Dan dia, orang yang ada disampingku. Bintang!!
“Ca…kamu jangan tidur. Tetaplah disampingku, Ca!” serunya panik seraya mengguncang bahuku keras-keras.
“Hujan..” desahku. Tak pernah sebahagia ini aku melihat hujan.
“Gue…capek..Bin…”
“Ca!!”
“ Thanks…buat semua… yang ..Lo lakuin buat gue…. Gue…sayang.. ma..Lo..” bisikku lirih. Aku mendapati raut terkejut di wajahnya ketika aku membuka mata dan tersenyum. Untuk terakhir kalinya aku putuskan berbuat egois. Aku ingin memilikimu sedetik ini saja, biar aku membawa wajahmu dalam tidurku.
Lalu semua terasa gelap ketika tiba-tiba terdengar suara gemuruh memenuhi telingaku.
Hujan…
Bintang…
Dan aku, Bian…


bersambung ke chapter 5: MATAHARI

No comments:

Post a Comment