Wednesday, October 20, 2010

PANTAI

ini chapter 1 dari novel terbaruku yang masih dalam penggarapan. siapapun yang udah baca, tolong kritik dan sarannya.

Tahu ga sih, apa itu sepi? Gimana rasanya sunyi? Atau rasanya sendiri? Ya. Aku tahu semua itu. Bahkan sebelum aku menyadari kalau rasa pahit itu adalah sepi.
Ketika ada diantara banyak orang tapi terasa jauh dari mereka. Meskipun selalu ramai tapi sebenarnya kita sendirian. Seperti ada celah di hati yang belum terisi. Dan semua itu terasa menyakitkan.
Aku tahu. Saat lahir kita sendiri, pun ketika kita mati akhirnya akan sendiri lagi. Tapi, kalau hidup ini dilewatkan dalam kesendirian dan kesepian, apa bedanya dengan mati. Kadang aku berpikir apakah aku sudah cukup berarti bagi orang disekitarku? Apa aku sudah meninggalkan jejak kehidupan untuk di kenang di kemudian hari oleh orang-orang itu? Aku belum mengerti apa yang berharga bagi diriku. Kadang semua hal terlalu menyilaukan atau terasa gelap untuk aku lihat. Dan ketika kita menyadarinya, kita tidak tahu apa yang telah kita buang atau dapatkan.
Sepi itu seperti pantai. Ya, pantai. Kenapa? Lihat pantai itu. Selalu ada di sana kan! Dan dia diam. Selalu dan selalu menanti lautan untuk datang memeluknya yang kemudian akan meninggalkannya lagi. Begitu memilukan. Coba tanyakan pada pantai. Berapa banyak kesepian tertumpah di sana. Kesendirian yang tercipta pada setiap senjanya, kesedihan yang membaur dalam setiap butir pasirnya. Entah seberapa banyak jejak-jejak memilukan tertinggal di sepanjang pantai itu. Mungkin, salah satunya adalah jejakku atau jejakmu.
Senja dan pantai. Dua filosofi yang lekat dengan perpisahan.

“Vin!”
Sebuah suara mengusik keasyikanku bermain pasir. Mendongakkan kepala mencari sumber suara itu. Raka. Agak tergesa dia menghampiriku, terlihat rahangnya mengatup kencang. Kesal. Matanya tajam, sekarang agak menyipit. Mungkin karena silau matahari. Ugh, tapi kilatan itu. Marah. Rambut spikenya kokoh menahan angin laut, mirip karang menahan laju ombak. Tampan. Eh, bukan itu maksudku. Yang ingin aku katakan bahwa dia, Raka sedang menuju ke arahku dengan perasaan kesal yang tak ku tahu kenapa.
“Rani…..”
“Eh?”
“Rani menangis. Dan aku tau penyebabnya. Kamu!” tuduh Raka to the point membuatku terperangah kaget. Apa-apaan ini?
“Kenapa kamu selalu bikin dia menangis? Kamu selalu saja menyakiti dia. Apa itu gunanya kamu sebagai sahabatnya?” kata-kata Raka terasa menusukku. Bahkan sebelum sempat aku membela diri ataupun mencari tahu apa yang terjadi, Raka sudah menghujaniku dengan tuduhan-tuduhan pedas.
“Apa salah Rani sampai kamu tega berbuat itu?! Kamu bisa ga sedetik aja mikirin orang lain, ga mikirin diri sendiri? Kamu selalu bertingkah seolah terluka, paling hebat dan paling tau. Kenyataannya kamu ga lebih dari seorang pecundang dan egois!!”
“Aku ga ngerti…”
“Masih pura-pura ga ngerti??!!! Bener-bener kamu itu….”
“Aku apa? APA!!!” teriakku kesal.
“Kamu ga tau apa-apa, Ka. Jadi, jangan asal nuduh aku seperti itu. Aku ga berbuat apapun pada Rani!!”
“Huh… masih mungkir juga? Masih ngrasa sok suci?? Aku bener-bener kasihan padamu Vin, selalu saja berbohong demi kepuasanmu diri sendiri. Saat kamu sadar semua itu, akan banyak yang kau hilangkan dari hidupmu,” kata Raka lagi. Senyum sinisnya terukir di sudut bibir Raka, selaksa ujung tombak yang melesat menghujam ulu hatiku. Sakit.
Aku hanya diam membiarkan Raka menjauh dariku. Hanya mampu menatap punggung kokoh itu. Aku menghela napas seraya memandang ombak yang mempermainkan pantai di ujung senja ini. Penat.
Apa yang kamu tahu tentangku, Ka. Ga ada. Karena itulah tadi kamu begitu mudah mengatakan hal-hal yang kejam padaku. Tahukah Ka, bahwa kesepian pantai ini tak seberapa dibandingkan kesepian yang aku rasakan. Mungkin ombak selalu meninggalkan pantai, tapi dia selalu kembali memeluk pantai. Entah suka atau mempermainkan.
Sedangkan aku? Hanya sosok-sosok orang meninggalkanku tanpa mau kembali. Pertama, Papa pergi begitu saja setelah menggoreskan luka yang dalam padaku. Trus, Bian yang melarikan diri dariku. Dan kamu!! Hanya meninggalkan punggungmu untuk aku lihat dengan kesedihan.
Pelan, tubuhku menggigil dan aku menahannya dengan menggigit bibirku. Ini bukan dingin. Tapi rasa sakit!!!
Dengan perasaan tak menentu kutinggalkan pantai di senja yang makin memerah itu. Menyusuri pasir putih dan meninggalkan jejak-jejak mungil disana, berharap akan menuntunku kembali ke tempat itu. Dan segenap kesedihan itu aku titipkan pada pantai untuk aku ambil kembali suatu saat. Biarlah sekarang luka itu hilang, sedih itu kabur dan kesepian itu pergi.


Kesepian, kesendirian, kesedihan, kesunyian, kehampaan…..
Seperti matahari yang selalu sendiri
Seperti pantai yang selalu berdiri menanti lautan
Dan aku masih disini, sendiri
Tak ku harapkan bintang ataupun rembulan
Untuk menghapus semua sepi ini
Karena, walaupun aku berdiri di kerumunan orang
Aku tetap merasa sendiri
Rasanya sakit….
Ketika menyadari kita tak punya arti bagi siapapun
Ternyata tak seorangpun menganggap kita ada bagi mereka
Dan, aku sendiri

Sejak senja itu, tak pernah sekalipun aku bertemu dengan Raka maupun Rani. Mungkin satu ketika kami berpapasan atau di satu tempat yang sama, dan entah sengaja atau tidak, sepertinya kami tidak dipertemukan. Ada rasa rindu menyeruak memenuhi relung kalbuku. Hatiku mengelam karena luka, apa mungkin ada rasa rindu disana?
Ya, dengan sebab yang tidak jelas aku telah kehilangan sisa sahabatku. Rani. Aku begitu menyayangi Rani dan tak mau menyeretnya dalam kesedihanku. Ada rasa lega dia pergi dan mengurangi beban yang ada. Terkadang tak dapat kupungkiri ada kehilangan. Bukankah kehilangan dan ditinggalkan adalah bagian dari hidupku selama ini? Tapi kenapa sekarang terasa beda?
Sekarang, kemanapun melangkah aku sendiri. Saat menundukkan kepalaku, hanya ada sepasang sepatu kets kusam sedang berjalan. Hanya kakiku. Sendiri.

“Jadi, gosip itu benar ya? Kalo Vin itu….”
“Ssstt….”
Ada suara-suara berbisik dan ratusan mata melirikku. Mungkin mereka berusaha berbisik agar aku tidak mendengarnya, meskipun akhirnya aku dengar. Atau mereka pura-pura berbisik agar aku bisa dengar? Tak ku hiraukan. Toh, mereka tak ada dalan kehidupanku. Ibaratnya sinetron, mereka hanya figuran. Numpang lewat. Tak penting!! Jadi, dengan tegar aku terus melangkah melewati lautan gosip itu.
Hidup itu penuh dengan pilihan. Tapi, aku tak pernah memilih untuk sendiri dan kesepian. Hidup itu sendiri yang memberikannya padaku. Gratis. Dan aku dengan senang hati menerimanya. Bodohkah aku? Mungkin.
“Vin!!!”
Sebuah teriakan mampu menghentikan langkahku. Tanpa berbalik badanpun, aku tahu siapa dia. Laras. Dan benar saja, tak lama kemudian sosok tinggi semampai itu telah berdiri di sebelahku. Di bawah pohon di lapangan kampus. Aku diam. Dia juga diam. Aku sedang malas bicara, jadi aku tunggu dia mulai duluan. Untuk menahan rasa jengahku ditatap Laras, aku pura-pura melihat jauh ke tengah lapangan.
“Vin!” panggil Laras. Aku menoleh ke arahnya. Rona itu….
“Apa benar gosip yang aku dengar itu?” Ternyata benar dugaanku. Laras dengan suka rela mendatangiku hanya untuk memastikan kalau semua gosip itu benar.
“Hahahaha…. Sudah jadi seleb rupanya aku,” sahutku getir. Jangan menatapku dengan prihatin!!!!
“Vin…”
“Apa pedulimu gosip itu benar atau tidak?” tanyaku menatapnya tajam.
“Aku peduli. Karena kamu adalah temanku!” jawaban Laras membuatku tertawa terbahak. Sungguh menggelikan mendengar dia mengucapkan kata TEMAN. Padahal dia tak pernah bisa memahami makna dari kata-kata itu.
“Vin, percaya atau tidak. Kamu tetap temanku,” sambung Laras lagi. Kali ini aku memberinya senyuman sinis sebelum melangkah pergi meninggalkannya.
“Kalo kamu mau tau Vin, aku ga peduli gosip itu benar atau tidak. Aku tetap melihatmu sebagai Vinda yang kukenal!!!”
Kata-kata itu sejenak mengurungkan niatku untuk beranjak pergi. Hanya sedetik. Sudahlah, itu hanya kata-kata pemanis bibir saja. Tanpa menoleh lagi aku meninggalkan Laras. Aku tak pernah tahu kalau dia tetap berdiri di sana menanti aku menoleh atau menghampirinya. Aku tak pernah tahu kalau semua yang dia katakan itu benar. Aku tak pernah tahu ada orang yang masih peduli akan diriku. Dan…. Suatu saat semuanya akan aku ketahui.

“Vin, Kakak ga habis pikir bagaimana ada gosip seperti itu tentang kamu.”
Diam.
“Gosip itu bukan hanya merusak reputasi kamu, tapi juga Kakak dan keluarga kita.”
Menerawang jauh keluar jendela.
“Apa kata keluarga Ayu kalau sampai mereka mendengar gosip ini, bisa-bisa kakak batal menikah dengan Ayu.”
Aku menatap manusia di depanku.
“Kamu jangan diam saja. Seharusnya kamu membantah semua gosip itu, kalau perlu kamu harus membuktikan kalau semua gosip itu tidak benar. Kalau bukan untuk kamu, ya, untuk Kakak dan keluarga kita!!”
“Pembantahan akan membuat mereka semakin yakin kalau gosip itu benar,” sahutku cuek. Dapat kulihat dari sudut mataku, manusia itu kaget dan sedikit kesal. Frustasi malah, kalau dilihat dari cara dia memegang kepalanya.
“Jadi… maksudmu, akan membiarkan gosip itu tanpa melakukan pembelaan?”
Aku menoleh dan mengangguk. Hampir tertawa melihat dia frustasi seperti itu. Mengapa dia hanya peduli pada apa yang akan orang omongkan tentang aku, dia dan keluarga ini. Sedangkan aku? Pedulikah dia???
“Nanti mereka juga akan bosan sendiri. Meladeni mereka hanya buang-buang tenaga dan waktu saja!” tegasku seraya beranjak meninggalkan ruang kerjanya. Membiarkan dia mengatasi rasa frustasi itu sendiri. Aku tak mau ambil pusing.
Aku sempat melihat sosok Mama ketika menutup pintu ruang kerja, tapi ketika ku toleh dia sudah menghilang. Aku menghela napas panjang. Akankah Mama juga mengatakan hal yang sama dengan yang manusia itu? Manusia yang selalu mengaku sebagai Kakakku, padahal kenyataannya dia selalu memperlakukanku tak ubahnya orang lain.

“Coba katakan padaku, apa yang barusan kamu bisikkan padanya!” tantang Raka geram. Tangan kirinya mencengkram krah baju cowok kurus itu sedangkan tangan kanannya bersiap meninju. Dapat aku lihat wajah pucat ketakutan itu.
“Ak…aku…aku….” Tergagap cowok itu berusaha mengatakan sesuatu. Tapi matanya yang tak lepas dari tangan Raka membuatnya ketakutan. Hampir saja Raka menyarangkan pukulannya ke wajah cowok krempeng itu seandainya tidak segera aku tahan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak bertemu, inilah aku bisa menatap wajahnya.
“Lepaskan, Ka. Jangan buang tenagamu hanya untuk hal seperti ini. Ga penting!” kataku sambil berusaha menyeret Raka menjauh dari tubuh cowok krempeng itu. Raka menyentakkan peganganku, seakan kalau lama-lama aku pegang tangannya akan melepuh.
Setelah menatapku sekilas, Raka meraih ranselnya dan berlalu dariku. Kerumunan itupun bubar, tentu saja membawa gosip baru tentangku. Aku memberikan pandangan-rasain lu- pada cowok korban amukan Raka itu. Hampir saja aku percaya kalau Raka melakukan itu untuk membelaku. Untung akal sehatku masih bekerja normal.
“Vin, bagaimana kamu bisa tahan dengan semua ini?”
Ah, cewek rese itu lagi.
“Apa kamu benar-benar ga peduli dengan omongan mereka? Ga sakit hati?”
Sepertinya harus cepat-cepat pergi dari tempat ini, sebelum psikiater gadungan itu menganalisaku lebih jauh.
“Atau kamu memang pengencut yang ga berani bertindak dan lebih memilih diam lalu kabur dari semuanya?”
Damn, telat!! Ini…ini yang paling ga aku suka. Dia, selalu tahu apa yang aku rasa.
“Ga ingin sekali saja mengatakan pada mereka perasaan kamu atau kebenaran itu?”
Jangan sampai dia merasa menang. Tidak ada yang boleh tahu tentang kesedihan ini kecuali aku dan pantai. Tidak ada yang boleh mengajari bagaimana seharusnya hidupku berjalan!!
Ku tatap wajah Laras. Tersentak. Kenapa ada luka di mata itu? Kenapa??!!! Bukankah tak seharusnya dia terluka atau ikut merasakan ini. Bodoh!! Rutukku kesal. Entah pada siapa.
“Sudahlah, ini bukan urusan kamu!! Biar aku yang menentukannya!!”
“Diam!!! Hentikan pura-pura kamu!!! Ga perlu sok kuat di depanku!!!” teriak Laras membuatku terperanjat. Kali ini, sekali ini aku benar-benar kena batunya. Tidak. Tidak boleh!!!
“Vin, kalo selama ini kamu pikir ga ada yang peduli atau memahami kamu, kamu salah!!!” Mata Laras berkaca-kaca menatapku yang bergeming. Cukup sudah, aku tidak tahan lagi.
Tanpa berkata sepatah katapun aku berlalu meninggalkan Laras yang terus saja berusaha menyakinkanku kalau aku tidak pernah dan tidak akan pernah sendiri. Tubuhku menggigil. Jangan!! Jangan pernah merasa bahwa kau tau apapun tentangku. Jangan pernah menangisi sesuatu yang berkaitan denganku. Dan jangan sekalipun kau menyentuhku. Karena aku pembawa karma!

Senja ini, aku kembali menapaki pasir-pasir lembut di pantai. Menatap miris pada ombak yang berlarian menuju pantai. Ingin mengambil semua yang aku titipkan dan membawanya pergi dari tempat itu. Aku tidak mau membebani pantai yang sarat dengan duka itu. Cukup. Biarlah ku pikul sendiri apa yang semestinya memang tanggung jawabku.
Entah kenapa kali ini aku enggan untuk segera beranjak. Selama ini aku selalu diam di pantai. Sekali saja, aku ingin merasakan pelukan lautan itu. Bagaimana gejolak yang dia miliki untuk pantai. Aku mau merasakan kesombongannya. Ingin menumpaskan segala keangkuhan itu. Perlahan….. menghampiri bibir pantai. Membiarkan kaki-kakiku dijilati laut. Menantang angin yang semakin kencang. Terus dan terus berjalan semakin ke tengah dan meninggalkan pantai.
Kini, aku dalam pelukannya. Dingin. Sedingin hatiku. Inikah hati sang ombak yang angkuh itu? Tak terasa aku melangkah semakin jauh dan dalam. Aku ingin melihat sedalam apa lautan itu. Aku ingin menaklukkannya untuk pantai maupun diriku sendiri. Tak kuhiraukan dinginnya yang menusuk, tak ku pedulikan tajamnya karang yang kadang menghujam kakiku, dan kulupakan kenyataan bahwa aku tak pernah bisa berdamai dengan air. Aku ingin memastikan siapa yang lebih angkuh. Aku atau lautan itu pemenangnya??!!!!
Dan, ketika ombak menjilati helai-helai rambutku, aku diam. Membiarkannya menyeretku dalam pelukannya. Hanya ada aku, pantai, dan lautan ini. Sepi, sunyi, dan sendiri. Pekat, gelap dan dingin. Aku diam. Tenang. Hanyut. Tenggelam.
Senja dan pantai. Terasa miris.

bersambung chapter 2: ANGIN





No comments:

Post a Comment