Wednesday, October 20, 2010

LANGIT

CHAPTER 3
LANGIT


Aaarggghhh…….
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Ga peduli akan ada yang mendengarnya. Pusing. Penat. Kepalaku rasanya nyut-nyutan ga karuan. Rese! Gara-gara satu orang, nih. Gara-gara orang sialan itu aku jadi seperti ini. Kekesalanku makin memuncak, ternyata teriakanku tadi tidak efektif. Malah semakin membuat dadaku sesak seperti terkena asma. Bukan!! Seperti ada gunung menimpa dadaku ini sehingga aku ga bisa bernapas. Lama-lama, aku bisa mati. Karena itulah aku menghela napas panjang.
Ah, mungkin akar masalah ini ada di otakku. Karena di otak itu tersimpan sebuah memori yang membuat aku seperti ini. Hampir gila. Dan parahnya, memori itu ga bisa hilang. Otakku ga mau berkompromi untuk mendelete memori itu dan mengirimnya ke recycle bin. Memori itu meracuni otak dan jantungku. Bibit sebuah penyakit ganas, lebih ganas dari kanker ataupun tumor. Seperti penyakit lupus, invisible tapi mematikan perlahan.
Tapi, bisa saja ini karena mataku. Aku harus ke dokter mata. Ada yang ga beres dengan mataku ini. Semuanya yang aku lihat menjadi fatamorgana. Ah, bukan ke dokter mata. Ke psikiater lebih tepatnya. Aku sudah mulai gila. Bagaimana tidak? Apa yang aku lihat semuanya sama. Batu, pohon, tembok, bahkan kucing sekalipun sekarang menjadi satu bentuk, satu rupa. Waktu kupejamkan matapun, aku masih bisa melihat. Lebih tajam dari mata superman atau spiderman. Tapi, aku yakin seyakin aku kalau langit ada di atas bahwa aku belum berubah jadi sesosok yang dikenal sebagai wonder woman ataupun cat woman. Aku masih sama. Aku.
Jadi, aku harus kemana, nih? Sudah tidak ada waktu lagi. Aku harus segera pergi ke salah satu dokter untuk menyembuhkan penyakitku ini. Dokter matakah untuk mengobati masalah penglihatanku? Dokter jantung untuk memeriksakan rasa sesak ini? Ataukah ke dokter spesialis penyakit dalam? Siapa tahu ternyata ini adalah penyakit lupus, kanker atau sejenisnya. Semuanya saja. Supaya tuntas penyakit yang aku derita ini. Sekalian aja ke psikiater untuk mereparasi otakku.
Aku mulai mereka-reka wawancara dan diagnosa dokter terhadapku.
Pertama-tama, dokter jantung.
“Apa yang anda rasakan?” kata pertama yang selalu dokter ucapkan pada pasiennya.
“Hmmm……sesak, Dok!” dan jawaban bodoh dari pasien yang awam.
“Sesaknya seperti apa?” pertanyaan kedua. Kali ini dokter itu sambil menulis sesuatu pada kertasnya.
“Seperti ada batu besar jatuh dan mengganjal jantung ini, Dok.”  Dokter itu menulis jawaban sang pasien. Tanpa menatap wajah pasiennya, dia bertanya lagi.
“Apakah susah bila dibuat bernapas?”
“Ya. Rasanya sesak sekali. Dada seperti mau pecah, kepala rasanya pusing sekali,” kali ini si pasien menjawabnya dengan dramatis.
“Jadi, rasa sesak itu disertai rasa pusing?”
“Iya, Dok.”
“Pusing dulu atau sesak dulu yang biasanya terjadi?”
“Kadang-kadang sakit kepala dulu baru sesak. Tapi, lebih sering datang bersamaan.”
“Hmm….saya belum bisa memastikan apakah anda terkena penyakit jantung atau tidak. Lebih baik kita lakukan  radiogram dan x-ray untuk mengetahuinya,” kata sang dokter menjelaskan pada si pasien bodoh itu yang hanya manggut-manggut sok ngerti.
Sejenak kemudian…..
Sang dokter nampak serius menatap hasil pemeriksaan. Membiarkan si pasien teronggok lesu, gugup menunggu keputusan akhir terhadap jantungnya. Penyakit apakah itu yang ada, jantung koroner atau ada kanker bersemayam di sana? Akankah sang dokter mengoperasi jantungnya dan mengambil batu itu? Ataukah dia sudah tak terselamatkan? Tinggal berapa bulankah kira-kira hidupnya tersisa? Tanpa sadar si pasien meraba jantungnya, memastikan masih ada di sana dan masih berdetak.
Tiba-tiba sang dokter mengangkat kepalanya dan menatap si pasien yang membatu di depannya. Wajah si pasien memucat dan jantungnya sebentar lagi seakan melompat keluar saking tegangnya menanti berita dari sang dokter. Semakin tegang ketika melihat sang dokter menghela napas seraya melirik kertas di atas mejanya.
“Nah, saya harus jujur pada anda,” kata pembuka sang dokter. Si pasien menggigil.
“Ada berita bagus dan juga berita buruk,” lanjutnya. Si pasien gemetaran.
“Berita bagusnya, tidak ada masalah pada jantung anda. Jantung anda dinyatakan sehat dan bebas dari penyakit apapun juga, jadi anda tidak perlu khawatir dengan jantung anda,” panjang lebar sang dokter memberikan penjelasan yang diharapkan dapat menenangkan si pasien. Sedikit lega si pasien mendapatkan berita gembira itu. Jadi, jantung ini baik-baik saja.
“Berita buruknya, mungkin otak anda yang mempunyai masalah. Bisa jadi itu lebih berbahaya dari penyakit jantung. Untuk memastikannya, saya sarankan anda pergi ke dokter ahli saraf,” sekali lagi dengan sukses sang dokter itu membuat si pasien gemetaran.
“Ba..ba..baik, Dok. Terima kasih.”
Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan, si pasien segera beranjak dari ruangan itu.
Dokter kedua, dokter saraf.
“Apa keluhan anda?” kalimat pembuka yang sama.
“Pusing, kepala berat, seperti tertusuk, mata berkunang-kunang,” sedetail mungkin si pasien menjelaskan apa yang dirasakan.
“Biasanya kapan anda mengalami hal itu?” dari balik kacamatanya dokter saraf menatap si pasien.
“Setiap saya berpikir, diam, atau sedang mengingat sesuatu. Hampir setiap saat.”
“Hmm….bisa jadi ini hanya migraine biasa atau kemungkinan ada penekanan terhadap saraf otak kecil anda. Kita berdoa saja itu bukan tumor,” kata dokter saraf berusaha menenangkan si pasien.
“Nah, saya akan melakukan scan x-ray pada kepala anda untuk mengetahui penyebab sakit yang anda alami.”
Sekali lagi si pasien di giring ke tempat pemeriksaan yang menakutkan dengan beragam peralatan medis. Mengingatkan pada laboratorium di film Frankenstein. Bagaimana kalau ternyata ada tumor di otaknya? Akankah tumor itu dibuang bersama otaknya? Akankah semua yang ada di kepalanya akan hilang, bahkan secuil lubang hitam memori itu? Disaat si pasien berkutat dengan ribuan pertanyaan di otaknya, dokter saraf melakukan semua pemeriksaan pada kepalanya.
Beberapa saat kemudian.
Suasana tegang menyelimuti ruangan dokter saraf. Dua orang sedang terpekur dengan pikiran yang berbeda. Dokter saraf terpekur menatap hasil laboratorium berusaha mencari tahu apa yang salah pada otak si pasien itu, sedangkan si pasien terpekur menunggu vonis terburuk pada dirinya. Lebih tepatnya pada otak di kepalanya.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan…..” tiba-tiba suara berat dokter saraf memecah keheningan. Si pasien mengangkat kepalanya dan mendapati wajah tenang dokter saraf.
“Tidak diketemukan sesuatu yang mengindikasikan ada tumor, kanker atau penyakit lainnya yang mengancam nyawa anda,” jelas dokter saraf.
“Maksud dokter, saya terbebas dari tumor atau kanker otak?” si pasien bertanya tak percaya. Jantung dan otaknya tak bermasalah. Hal ini tidak semakin membuatnya mudah malah semakin membingungkan karena penyakit itu masih jadi misteri.
“Iya. Otak anda bersih dari segala penyakit. Kita bisa bernapas lega sekarang. Sebaiknya anda memeriksakan mata anda pada dokter mata. Biasanya mata yang bermasalah dapat menjurus pada rasa sakit di kepala. Semoga saja ini hanya sakit mata karena minus saja,” panjang lebar dokter saraf berkata sembari tersenyum. Setelah menyerahkan selembar kertas pada si pasien, dia mempersilahkan si pasien meninggalkan ruangannya.
Sekarang, ke dokter mata. Mungkin benar, mata yang bermasalah sehingga menimbulkan rasa sakit di kepala dan membuat hampir jantungan.
Setelah melalui serangkaian tes yang menyebalkan dan membingungkan, akhirnya sekali lagi sampailah pada pembacaan hasil dari pemeriksaan. Kali ini aku yakin kalau yang bermasalah adalah mataku. Dilihat dari kerutan di kening dokter mata, aku yakin itu. Oke, aku ceritain apa aja yang udah aku lakuin tadi. Pertama, seperti biasa dokter mengajuan berates-ratus pertanyaan, kemudian tes membaca (untung aku lulus TK). Dilanjutkan dengan tes katarak, pembersihan kornea dan tes lain yang aku bahkan ga ngerti buat apa.
Nah, kembali pada si dokter mata itu. Sekarang dia memandang lekat-lekat padaku dari balik kacamatanya. Setelah menghela napas panjang, dia menyandarkan tubuhnya pada kursi empuknya seraya mencopot kacamata.
“Anda tidak punya masalah sedikitpun dengan mata anda. Semua tes menyatakan bahwa mata anda sehat, tidak ada kelainan satupun yang ditemukan. Ini semakin membingungkan. Anda telah pergi ke banyak dokter dan melakukan serangkaian tes dan semuanya dinyatakan sehat. Demikian juga dengan hasil pemeriksaan saya. Entah harus bernapas lega atau tidak,” panjang lebar dokter mata menyampaikan opini dan hasil pemeriksaannya.
Aku shock. Aku juga ga ngerti harus gembira atau sedih dengan berita itu. Aku kan jadi bingung harus periksa pada dokter spesialis apa. Hampir semua dokter spesialis sudah aku datengin dan hasilnya menunjukkan bahwa tubuhku ini sehat, tidak ada satupun penyakit yang bercokol. Lebih kaget lagi ketika dokter mata menyatakan bahwa dia sudah berkonsultasi pada semua dokter yang aku datangi dan mereka semua sudah sepakat untuk menyarankan aku pergi ke dokter spesialis kejiwaan alias psikiater. Whats????
Ada apa dengan jiwaku? Apakah jiwaku diambil oleh semacam vampire atau hantu pemakan jiwa seperti di komik-komik yang sering aku baca itu? Ataukah memang benar aku sudah memasuki gerbang awal suatu penyakit yang disebut dengan gila????
Aku hanya bisa bengong mendengar saran dari dokter mata itu. Masih tetap terpatung cukup lama dan membiarkan selembar surat rujukan itu tergeletak di atas meja. Aku juga tidak peduli dengan pandangan dokter mata yang tampak mengasihani aku. Setelah merasa sudah tidak nyaman lagi, aku pun beranjak dari kursiku dan pergi keluar ruangan setelah memberikan sedikit ucapan terima kasih atas semua yang telah dokter mata itu lakukan untukku hari ini. Kecuali tentang opini dia barusan yang menganggapku seolah-olah sinting.
Berharap ini tempat tujuan terakhirku di rumah sakit ini, aku melangkah gontai menuju ke sisi timur rumah sakit itu. Dokter terakhir yang akan mengacak-acak tubuh, pikiran dan jiwaku. Dan aku harap aku menemukan jawabannya kali ini. Kalau ternyata belum ada jawaban terhadap apa yang terjadi padaku selama ini, mungkin aku harus membedah otakku sendiri atau lebih mudahnya loncat dari menara Eiffel sekalian.
Sebuah bangsal panjang dengan tembok-tembok berwarna putih akhirnya aku temui. Kenapa sih, rumah sakit harus identik dengan warna putih. Kenapa tidak warna pink atau warna hijau? Apakah sakit emang identik dengan warna putih? Apa bukan warna hitam atau merah?
Setelah menemukan ruangan yang aku cari, tanpa lama-lama aku segera masuk dan sepertinya dokter jiwa alias lebih kerennya psikiater itu sudah menunggu kedatanganku. Buktinya, dia langsung mendongakkan kepalanya dari atas kertas yang aku yakin sedari tadi dia baca, lalu menatapku sekilas sebelum menyilahkan aku duduk. Kali ini tempat dudukku sedikit istimewa. Berbentuk panjang, mirip sofa di rumah tapi yang ini terlihat lebih nyaman dan lembut.
Setelah aku menempatkan diriku senyaman mungkin di atas sofa itu, sang psikiater berjalan ke arahku dan mengambil tempat duduk di sebelahku. Dia duduk di atas kursi kecil berwarna hitam, meskipun begitu terlihat tidak kalah nyaman dengan kursi yang aku tiduri. Untuk beberapa saat hanya ada keheningan diantara kami, sepertinya dia sengaja menciptakan suasana sunyi lebih dulu untuk membuatku sedikit rileks dan menghilangkan perasaan grogi ini.
Di tangan kanannya ada sebuah pulpen dan selembar kertas di atas pangkuannya. Aku melirik  ke sakunya dan yakin melihat sebuah kalung yang biasanya dipakai untuk menghipnotis pasiennya. Mungkin aku juga akan mengalaminya hari ini. Sensasi sebuah hipnotis.
“Ceritakan tentang diri anda,” kata psikiater dengan suara tenang.
Aku terperangah. Pertanyaan yang tidak biasa. Sudah beberapa dokter menanyakan yang sama yaitu, apa keluhanku atau apa yang aku rasakan dengan tubuhku. Tapi, dokter ini menanyakan tentang aku. Aku?!! Jadi, aku harus menceritakan tentang diriku sendiri? Dari mana aku harus memulainya?
Sepertinya psikiater itu memahami apa yang aku pikirkan, lalu dia berkata lagi.
“Coba mulai dari nama anda, keluarga anda, hobi, atau hal-hal ringan lainnya.”
Oke, sepertinya itu hal yang mudah. Aku pun menarik napas sebelum melepaskan ribuan kata mendeskripsikan tentang diriku. Tidak ada yang mengenalku sebaik diriku sendiri.
“Nama saya Carina Alexandra, umur 19 tahun bulan depan. Hmm…anak bungsu dari tiga bersaudara, kedua abang saya kuliah di Australia sedangkan Bunda dan Papa seperti orang tua kebanyakan. “
Eh, apalagi yang perlu aku ceritakan? Sejenak aku diam, merangkai kata dalam benakku. Psikiater itu sabar menanti.
“Hobi, melukis, membaca, nonton dan mendengarkan musik. Sekarang saya sedang aktif di sanggar lukis dan juga sebagai anggota paduan suara di kampus.”
Ternyata susah juga menceritakan hal pribadi, apalagi pada orang yang baru dikenal. Tapi, psikiater itu dengan sabar menantiku bercerita lagi.
“Saya punya sahabat sejak SMU sampai sekarang, meskipun beda fakultas tapi kami sering berkumpul. Laras, Bian, Vinda, saya, Nando dan Bima. Akhir-akhir ini memang jarang berkumpul karena kesibukan masing-masing, komunikasi hanya lewat sms atau telepon. Meskipun begitu, saya yakin hati kami tetap terikat,” tatkala menceritakan tentang sahabat-sahabatku, pikiranku melayang pada mereka satu persatu.
Laras yang lemah lembut tapi kadang bisa menjadi garang dalam hitungan detik, seorang psikiater dan menjadi tempat sampah bagi kami semua. Si tomboy Bian dengan sejuta keusilan dan sifat moody yang naik turun. Lalu si misterius Vinda yang terlalu tegar dan angkuh menyimpan semuanya sendiri. Ada si biang onar Nando, si playboy kelas teri dengan sejuta pesona (kata dia sendiri!). Yang terakhir, si bijaksana Bima. Dia adalah pelindung, penasehat, pembimbing bagi kami. Sosok yang begitu sempurna dan berkilauan.
Aku menoleh ke arah psikiater itu dan langsung tertunduk malu karena dia mendapati mukaku memerah. Sekali lagi.
“Saya rasa cukup dengan perkenalan diri anda. Sekarang coba ceritakan apa yang sebenarnya anda rasakan akhir-akhir ini?” Yah, akhirnya sampai juga pada pertanyaan inti. Jawabannya memang sudah ada, tetapi sulit untuk diuraikan, pikirku awalnya. Namun ajaib, tiba-tiba semua meluncur begitu saja.
“Dada ini rasanya sesak sekali, seperti kena asma. Jantung juga berdebar kencang tak karuan sampai takut tiba-tiba akan lompat keluar. Kadang pusing yang mendera seakan menusuk-nusuk kepala, apalagi kalau memejamkan mata. Semua rasa sakit itu akan menjadi satu. Setiap helaan napas akan terasa menyakitkan. Tidak bisa tidur karena setiap memejamkan mata, ada sesuatu yang terlihat. Terjaga juga tidak lebih baik. Kemudian, saya mulai berhalusinasi. Semua yang saya lihat, dari kucing, batu sampai poster Valentino Rossi semuanya berubah menjadi sesuatu atau lebih tepatnya seseorang. Dan itu cukup mengganggu.”
“Dan, siapak seseorang itu? Apa dia sudah melakukan sesuatu yang salah pada anda?”
“Ya, dia melakukan kesalahan yang tak termaafkan,” jawabku kesal.
“Dan…kesalahan apakah itu?”
“Dia….dia….telah….” aku terbata.
“Ya? Dia kenapa?”
“Dia dengan seenaknya masuk di hidup saya dan berubah menjadi racun yang mengalir dalam tubuh saya,” jawabku terengah karena kesal. Psikiater itu hanya mengangguk pelan.
“Tiba-tiba jantung saya berteriak-teriak memanggil namanya, di kepala yang ada hanya senyumnya. Semua memori itu mengendap dalam otak kecilku. Dia lalu mengunci diri di sudut tergelap hati saya dan kuncinya tak tahu kemana sehingga saya tidak bisa membuka lalu mengusirnya keluar. Setiap mata ini terbuka ataupun tertutup, saya selalu bisa melihat sosoknya. Kemana saya memandang, yang saya lihat hanya dia. Itu menyakitkan!” terangku seraya menerawang jauh.
Dan sekali lagi aku melihat wajahnya di kalender yang berada di belakang meja dokter. Padahal sewaktu aku masuk tadi, aku yakin gambarnya adalah seekor burung merak. Aku berkedip dan menatap tajam sekali lagi, gambar itu kembali menjadi merak.
“Kenapa dia begitu menyakitkan?” tanya psikiater membuyarkan lamunanku.
“Karena….dia begitu indah dan sempurna. Terlalu jauh untuk saya ambil. Dia adalah bintang sedangkan saya hanya sebutir pasir di pantai.”
“Hmm… jadi begitu rupanya,” hanya sebuah kalimat sederhana yang ambigu keluar dari mulut sang psikiater itu. Aku menatapnya. Menanti sebuah kejelasan mengenai penderitaan yang aku alami ini.
“Dok, sebenarnya saya sakit apa? Kenapa semua dokter yang saya temui mengatakan saya sehat lalu mereka malah mengirimkan saya kesini?” akhirnya aku bertanya karena sudah tidak tahan melihat psikiater itu diam dan hanya menulis sesuatu apalah itu di kertasnya.
“Ya, sepertinya anda terkena sebuah penyakit yang umum terjadi pada orang kebanyakan.”
“Penyakit apakah itu? Apa berbahaya? Apa bisa sembuh? Apa menular? Bisa diobati tidak?” aku mencecar psikiater itu dengan pertanyaan. Dia hanya memberikan seulas senyum hangat dan dengan tenang menjawab semua pertanyaanku.
“Penyakit ini pada dasarnya tidak berbahaya, tetapi tidak bisa sembuh karena tidak ada obatnya. Dan sangat mungkin menular pada orang lain.”
Aku terperanjat. Berbahaya? Tidak ada obatnya? Menular? Penyakit apa ini?!!
“Saya sakit apa, Dok? Dan apa yang harus saya lakukan?” tanyaku lunglai. Jadi, aku…….
“Tidak ada yang bisa anda lakukan selain harus menerima dan mensyukurinya. Lebih baik lagi kalau anda berusaha pergi ke langit dan mengambil bintang itu. Karena ekstrak dari bintang itu yang bisa menyembuhkan anda,” jelas dokter itu.
Hah? Bintang? Jadi, aku harus pergi ke langit biru yang aku kagumi itu untuk mengambil bintang?!!!
“Penyakit anda ini bisa juga disebut dengan penyakit hati atau Lover.”

Sudah cukup!!! Tidak perlu pergi ke dokter-dokter itu karena dari awal aku sudah mendapatkan hasil diagnosa atas penyakitku ini. Toh, dokter-dokter itu juga pasti akan kebingungan tatkala memeriksaku. Kasihan mereka kalau seandainya aku benar-benar nekat pergi ke rumah sakit lalu memeriksakan diri seperti yang aku bayangkan barusan. Penyakit yang aku derita ini sangat parah dan seperti kata psikiater dalam bayanganku itu, obatnya hanya bintang. Tapi, bagaimana aku harus ke langit?
Ku tatap langit biru yang membiaskan warna air laut di depanku itu. Awan-awan bergerombol seakan sedang bercengkrama, memberikan satu nuansa indah di langit. Belum ada bintang. Meskipun sekarang sinarnya masih kalah dengan matahari, aku tahu bintang itu tetap ada di sana. Langit. Terlalu jauh dari tempat aku berdiri sekarang. Dan bagaimana mungkin aku pergi ke langit?
Tatkala sedang menikmati dilemma dalam hati, otakku untuk pertama kalinya bekerja dengan normal. Ada seseorang yang bisa membantuku. Tanpa banyak membuang waktu aku merogoh saku celanaku dan meraih handphone.
“Hallo”
“Bi, aku kena penyakit hati atau Lover. Dan aku harus pergi ke langit untuk mengambil bintang. Would you help me, please?”
“Heh?!!”



bersambung chapter 4: HUJAN

No comments:

Post a Comment