Wednesday, October 20, 2010

One Fine Spring Day pt.1

Kyoto, awal musim semi 2010
Waktu sudah menunjukkan angka 10 pagi, sinar matahari yang hangat menerobos jendela kamarku bersama dengan semilir angin dingin yang menyejukkan. Berkali – kali aku menggeliat dan tak mempedulikan dering handphone yang aku tahu dari siapa panggilan itu. Setelah 10 menit aku bermalas-malasan, segera aku singkirkan selimut tebal yang nyaman itu dari tubuhku. Enggan, melangkah gontai menuju kamar mandi. Sebentar lagi harus menunaikan tugas rutinku sebagai program writer di sebuah radio swasta di Kyoto ini.
Hari ini, entah kenapa ada rasa malas bergelayut di dadaku seakan menyeretku untuk kembali bergelung di kasur. Kalau tidak ingat ada rapat dengan produser baru, mungkin aku akan membolos.
Setelah menyelesaikan sarapan ala kadarnya, sebungkus ramen dan segelas susu, serta memastikan keadaan apartemen aman terkendali, aku pun bersiap meninggalkan apartemen. Hampir saja jantungku copot saat membuka pintu. Seorang cowok setinggi 175 cm dengan senyuman menawan berdiri di depan pintuku. Kalau aku tak mengenalnya, mungkin aku akan terpesona apalagi melihat pose dia yang seperti photo model sedang pemotretan. Tubuh semampainya bersandar di tembok dengan kedua tangan dimasukkan saku celananya, kepala menoleh ke arah kanan, ke arahku. Dan tersenyum. Membuatku mengulum senyum.
“Yah!! Bisa ga sih, kau ga bikin aku jantungan?” seruku pura-pura kesal. Dia hanya tersenyum simpul, beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan ke arahku.
“Ohayou gozaimasu, Yura…” sapanya tanpa mempedulikan raut muka kesalku.
“Ohayou..” sahutku pendek.
“Pagi – pagi jangan cemberut, dong! Ntar matahari hilang sinarnya hehehe…” godanya mau tak mau membuatku tersenyum juga.
“Kau sih, bikin aku kaget aja!” sungutku.
“Oke, salahku. Gomen na..” bujuknya sambil menyentuh pundakku.
“Dimaafkan! Ntar sore traktir makan pokoknya, oke?!” kataku menodong. Dia mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Berapa lama kau mematung di situ?” tanyaku menunjuk tembok tempat dia bersandar semula.
“Sepertinya sudah seumur hidupku,” godanya tertawa membuatku merengut kesal.
“Tau gitu, aku bikin lebih lama lagi kau menungguku sampai lumutan,” kataku menggerutu. Dan lagi – lagi hanya senyuman manis yang aku dapat dari dia. Aduuuh.. urat marah ato kesal punya dia udah putus gitu? Senyuuuum mulu!
“Jaa…Ikou! Ntar kita bisa telat. Males dengerin Saiko-san ngomel hahaha..” kataku lagi. Kamipun berjalan beriringan dengan tanganku bergelayut di lengannya. Rutinitas ini yang membuatku semangat untuk bangun pagi, pergi kuliah ataupun pergi kerja. Karena akan selalu ada dia yang menungguku di depan pintu dengan senyuman dan pose foto modelnya itu. Menghangatkanku di musim dingin dan menyejukkanku di musim panas. Dia! Lee Sungmin!
“Kalian! Jangan pacaran mulu, rapat akan dimulai!” kata Takeshi menggoda kami. Beberapa temanku yang berjalan bersamanya berdehem ikutan menggoda. Sebagai jawaban dari kata – katanya, aku meleletkan lidah. Mereka selalu saja menggodaku. Aku tahu rapat dimulai 1 jam lagi, karena itu aku masih sempat duduk di cafeteria menemaninya minum secangkir kopi.
“Produser baru itu sudah datang?” tanya Sungmin ke Takeshi.
“Belum. Pesawatnya delay, dia lagi dalam perjalanan kesini,” bukan Takeshi yang menjawab melainkan Hana-chan, sahabatku. Sungmin mengangguk kecil Sejurus kemudian mereka bergabung di meja kami dan melanjutkan obrolan seputar produser baru dan meeting hari ini.
“Yura, bagaimana dengan proposal acara itu?” tiba – tiba Ayumi bertanya dan langsung membuatku terkesiap. Proposal? Dimana aku menaruhnya? Seingatku aku tidak lupa membawanya hari ini. Sejak semalam aku taruh di atas tasku. Aaaah…. Dasar pelupa!
“Chotto matte ne…” sahutku panik membongkar isi tasku.
“Kau ga lupa kan? Aah…Yura-chan!!” omel Hana makin membuatku panik. Aduuh… kalau sampai ketinggalan masih sempat pulang ga, ya? Tanpa mempedulikan omelan Hana, aku tumpahkan isi tasku ke atas meja. Ga ada!!!
“Proposal itu buat meeting hari ini, bagaimana bisa kau lupa membawanya?!! Dasar kau ini pelupa, apa sih yang ada di pikiranmu? Ah.. pagi- pagi bikin emosi saja kau!” cerocos Hana panjang lebar. Duh, temanku yang satu ini emang cerewet banget! Bukannya bantuin, ngomel mulu. Ini juga, mana sih proposal itu? Aku jadi ikutan emosi.
“Kau cari ini kan?” tanya Sungmin santai seraya mengangsurkan amplop coklat ke arahku. Aku terbelalak kaget sekaligus senang. Dia memang penyelamatku, kalau saja tidak ada banyak orang mungkin aku sudah memeluknya. Masih tak mengerti kenapa bisa ada di tangannya, aku ambil amplop itu dan langsung menyerahkan pada Hana.
“Kau meninggalkannya di mobil tadi. Dasar ceroboh,” jelasnya sambil mengusap kepalaku.
“Gomawo hehehehe…” sahutku nyengir. Dia mengangguk dan tersenyum. Hana melirikku sebal dan Ayumi senyum – senyum entah apa maksudnya.
“Ehem! Kenapa undangan itu belum juga sampai, ya..” sindir Takeshi menggoda. Dia menyikut lenganku sambil mengedip ke arah Sungmin, membuat wajahku pias karena malu. Kulihat Sungmin yang hanya tertawa kecil. Dia sudah kebal dengan godaan dan sindiran dari teman – temanku ini.
“Aku harus pergi, nanti aku jemput,” kata Sungmin beranjak dari kursinya. Dia memang tidak bekerja di radio ini. Setelah berpamitan dengan semua orang, dia pun pergi meninggalkan punggungnya untuk aku liat sampai akhirnya menghilang ketika dia berbelok menuju tempat parkir. Aku langsung tertunduk saat menyadari arah pandangan teman-temanku adalah aku!
“Yura, kau beruntung sekali mendapatkan dia. Udah baik, tampan, setia, terkenal, pintar. Benar – benar cowok sempurna!” kata Ayumi kagum disambut suara dan anggukan dari yang lain menyetujuinya. Aku hanya tersenyum, menunduk makin dalam karena malu dan pura – pura mengaduk isi gelas cappuccinoku.
“Kalian sudah saling kenal sejak di Korea, kan? Ngomong – ngomong, sudah berapa lama kalian pacaran? Trus kapan kalian rencana menikah? Buruan, ntar dia di sambar orang lain!” cerocos Takeshi hanya ku jawab dengan senyuman. Gemas melihat reaksiku yang adem ayem, Takeshi mencubit lenganku pelan sampai aku mengaduh. Tanpa mempedulikan pelototan mataku, dia melanjutkan perkataannya.
“Kau tau kan, fans dia itu banyak! Apalagi ga setiap hari dia ada di Kyoto. Syutinglah, pemotretanlah, manggunglah… ke Tokyo, Korea, bahkan ke Amerika. Kau ga cemburu?”
“Iya, tiap dia show selalu penuh dengan fans cewek. Cantik – cantik pula!” timpal Ayumi memanasi. Sebenarnya mereka ada di pihak siapa, sih??? Kompor yang kayak gini ini yang bikin hubungan adem ayem jadi panas.
“Aahh.. udah! Jangan goda dia lagi! Aku tau Sungmin itu bagaimana, meski ada seribu cewek cantik kayak Britney Spears di sekitarnya, hati dan matanya cuma tertuju sama 1 orang. Dia ini, Kim Yura! Meski aku juga heran apa istimewa dari sahabatku ini, tapi itu kenyataannya,” kata Hana berapi-api membelaku. Tapi entah aku kok merasa dia membela sekaligus menjatuhkanku… dasar ni anak! Ada benarnya yang Hana bilang, aku juga tidak tahu apa istimewa dari diriku sampai Sungmin mau jadi kekasihku. Mungkin karena kami sama – sama melalui penderitaan yang panjang, atau karena besar bersama?
Yap, aku mengenal Sungmin sejak kecil ketika kami masih tinggal di pinggiran kota Seoul. Dia, tetanggaku, sahabatku sekaligus kakak bagiku. Tumbuh bersama. Dia juga yang selalu ada di sampingku disaat sedih atau senang. Ketika appa meninggal dia yang menghiburku, ketika anjingku, Chocho hilang dia juga yang menemukannya setelah seharian mencarinya. Cinta pertama, patah hati, semua hal yang terjadi padaku dia selalu ada.
Aku sempat berpikir akan kehilangan dia saat dia mengatakan akan menjadi artis dan menjalani trainee yang panjang di sebuah agency. Aku melihatnya jatuh, bangun, debut pertamanya, konser pertama dan akting pertamanya juga. Menjadi fans pertama dia, membeli semua hal tentang dia, tak peduli omma dan ajjumma menertawakan kelakuanku. Buat apa membeli hal begituan, tiap minggu juga ketemu di rumah, begitu kata mereka. Tapi, aku tetap melakukannya sebagai bentuk dukunganku. Dia tak pernah berubah sedikitpun. Dan, dia masih selalu ada untukku. My super hero, Lee Sungmin.
“Kau bilang kalian teman sejak kecil, kan. Dia cinta pertamamu, ya?” tebak Takeshi masih penasaran. Aku menggeleng.
“Bukan.”
“Eh?” teriak Ayumi dan Takeshi berbarengan.
“Lucunya, dia bukan cinta pertamaku. Bahkan sampai aku ke Jepang, cinta itu belum ada diantara kami,” jelasku menerawang. Ada memory yang tak ingin aku ingat.
“HAH??? Terus bagaimana bisa kalian jatuh cinta?” cecar Ayumi ingin tahu.
“Entahlah. Seiring waktu mungkin, atau karena sudah terbiasa ada… mungkin juga karena…… takdir,” jawabku tersenyum simpul. Aku juga tidak mengerti jawaban atas pertanyaan Ayumi. Kapan dan bagaimana kami saling jatuh cinta.
“Woo..kisah cinta yang aneh. Terus…”
“Yamete kudasai!” potong Hana tegas membuat kalimat Ayumi menggantung di bibirnya.
“Kalian tidak sedang mewawancarai dia agar dapat gossip tentang Sungmin, kan?” tuduh Hana mendelik ke arah Ayumi dan Takeshi yang memberondongku dengan pertanyaan. Merasa dituduh, Ayumi menggeleng keras. Aku menatap Hana mengirimkan sejuta terima kasihku.
“Iie…iie…chigau yo! Aku cuma penasaran, kok.”
“Aku juga!” bela Takeshi.
Aku hanya terkikik geli melihat kelakuan ketiga temanku itu. Ketika mereka masih saja saling tuduh dan berargumentasi, aku melihat seseorang memasuki gedung. Kalau dilihat dari penampilannya, sepertinya dia orang penting. Apalagi ketika aku menyadari kehadiran Saiko-san disampingnya. Jangan – jangan…… ommo!! Diakah produser baru itu?? Segera saja aku berbenah diri dan berusaha melerai adu mulut ketiga temanku. Tepat ketika mereka diam, aku semakin jelas melihat sosoknya. Jantungku berdegup kencang…
Andweee… orang itu semakin dekat ke arah kami. Tak kuhiraukan suara bisikan dari teman-temanku, tatapanku tajam ke arah orang itu, berharap itu bukan orang yang pikir aku kenal. Bukan…bukan…bukan… dan dia semakin mendekat. Jantungku berhenti berdetak!!!
“Kebetulan kalian masih di sini, kenalkan produser baru kita,” kata Saiko-san mengenalkan orang itu pada kami yang terdengar samar-samar di telingaku. Aku tertegun, begitu juga dia. Bibirku kelu, entah berapa lama aku menatapnya.
“Oppa….”
“Yura!”

Seoul, musim panas 2000
“Saengil chukhae…” ucap Sungmin sambil menyodorkan bungkusan berwarna biru. Nyengir, segera aku terima kado itu.
“Gomawo..” sahutku sambil mengguncang – guncang kado itu. Apa ya, kira – kira isinya? Bukan batu lagi seperti tahun kemarin kan? Dia kan terkenal paling usil padaku.
“Yah!!! Jangan kau guncang-guncang, ntar pecah!” teriak Sungmin merebut kembali kado itu. Penasaran, ku coba merebut dari tangan Sungmin yang ternyata lebih sigap menjauhkannya dari jangkauanku. Menyebalkan! Meskipun harus melompat, aku tidak akan bisa meraihnya, dia terlalu jangkung.
“Balikin!! Kau kan sudah kasih ke aku!!! Sini!!!” teriakku sambil melompat lebih tinggi. Gagal. Dan dia hanya tertawa! Langsung aku berhenti melompat karena tiba – tiba aku teringat kelakuan Chocho, anjingku, yang suka melompat – lompat ingin meraih bola dari tanganku.
“Huh!!! Kau tidak boleh ikut pesta ulang tahunku ntar malam!! Pulang sana!!” ujarku bersungut – sungut. Segera saja aku membalikkan badan membelakanginya. Menyebalkan! Sahabat macam apa itu?!! Usil!! Bandel!! Ga ada kerennya!! Sungutku dalam hati.
“Hahahaha.. Yura, kalo kau marah – marah, cantikmu ilang lho. Terus matahari bakalan ga bersinar, hehehe…” bujuknya dengan kata – kata yang sudah jutaan kali aku dengar dari dia. Huh! Biarin aja matahari ga bersinar, emang aku pikirin?!!!
“Oke..oke.. nih!” akhirnya Sungmin mengalah dan mengembalikan kado itu ke aku setlah melihat awan hitam di wajahku. Tanpa basa basi langsung aku rebut dan dengan ganas merobek kertas pembungkusnya di bawah pandangan Sungmin yang sulit aku artikan. Antara kaget, geli, marah, ato apalah.
“WOW!!!” teriakku takjub. Sebuah kotak musik berwarna silver dengan seorang putri sedang menari di atasnya. Tumben dia memberikan hadiah yang wajar. Biasanya batu, ranting, atau kelereng yang dia bungkus rapi.
“Kau suka?”
“Suka!!! Dari semua hadiah ulang tahun KEREN darimu ini yang paling keren!!!” sengaja aku tekankan kata ‘keren’ untuk menyindirnya. Sungmin tertawa.
“Kau harus jaga ini, jangan sampai rusak ato jatuh. Kalau itu terjadi, aku akan membunuhmu dan kita ga akan jadi sahabat lagi. Arraseo???” ancamnya pura – pura galak.
“Ne..ne.ne.. arraseo!!! Kalo perlu aku simpan di brangkas. Puas?!!” sahutku judes. Bagaimana mungkin aku merusaknya? Aku pasti menyimpannya baik – baik benda sekeren ini. Batu dan ranting dari dia aja aku simpan! Hahahaha… babbo! Aku juga tak mengerti kenapa menyimpan sampah itu.
Saat sedang asyik mengagumi kotak musik ditanganku dan bercanda dengan Sungmin, suara omma memanggilku dari dalam rumah menyuruhku masuk karena acara makan – makan akan dimulai. Tanpa banyak kata aku beranjak dan menyeret Sungmin masuk. Benar saja, sudah rapi orang – orang yang setiap tahun selalu ada di ulang tahunku sudah mengelilingi meja makan. Omma, orang tua Sungmin, kakak sepupu Sungmin, oppaku dan sahabatnya, serta Hana.
“Buruan tiup lilinnya, laperrr!” seru oppaku tak sabaran. Berkali – kali tangannya ingin mencomot ayam goreng di meja tapi selalu bisa dicegah omma. Hahaha.. dasar rakus. Weekkk.. leletku ke arahnya.
“Aish!! Kau..!” gerutunya kesal. Dengan cuek aku menghampiri meja dan duduk di sebelah omma. Wah…semua makanan kesukaanku ada di atas meja membuatku tak sabaran ingin makan. Kuenya juga Nampak lezat. Hmm…..hmm… aku suka ulang tahun!!!
“Udah, kamu berdoa dulu baru tiup lilin. Liat kakakmu sudah hampir mati kelaparan, tuh!” celutuk ibu Sungmin disambut derai tawa semua orang. Hanya oppaku yang manyun 10 sentimeter hahaha….
Tidak buang waktu, aku menutup kedua mata dan menangkupkan kedua tanganku untuk berdoa, lalu buru – buru meniup lilinnya. Tepuk tangan pecah memenuhi ruangan. Berkurang 1 tahun lagi umurku. Omma langsung mengambil alih kue dan memotong – motongnya dibantu ibu Sungmin. Sedangkan yang lain sudah mulai sibuk memenuhi mulutnya dengan makanan. Apalagi oppaku yang benar – benar mirip orang kelaparan. Ya ampuuuun… emang sudah berapa hari dia tidak makan, sih? Melihat caranya makan membuatku kenyang aja.
“Saengil chukhae…” ucap sepupu Sungmin menyerahkan kado yang terbungkus kertas warna putih. Aku menerimanya dengan senang hati yang dibalas dengan senyuman. Dia emang tipe pendiam.
“Yura, saengil chukhae,” ucap sahabat oppaku mengulurkan tangannya yang langsung aku sambut.
“Terima kasih, oppa. Terus.. mana kado untukku?” todongku membuatnya tertawa. Mendengar kata – kataku, oppa langsung menjitakku. Sakiiiitttt…… dasar oppa geblek!!!
“Aish! Kau ini!”
“Hahahaha… tenang, oppa ga lupa bawa kado buatmu. Ini,” sahutnya seraya mengulurkan bungkusan berwarna merah muda. Aduuuuh… dah tahu aku alergi warna pink malah di kasih kado warna pink! Melihat ekspresiku makin keras dia tertawa.
“Iiiih.. oppa! Aku kan ga suka warna pink, ini malah dikasih bungkus pink,” protesku yang lagi – lagi membuat oppaku menjitak kepalaku. Aku mendelik kesal ke arahnya.
“Yang oppa kasih kan isinya bukan bungkusnya. Kau ini, bungkus aja jadi masalah, hahahahaha….” Sahutnya menanggapi protesku. Di belakangnya Hana menggelengkan kepala melihat kelakuanku. Sahabatku yang satu ini emang lumayan agak dewasa daripada aku. Soalnya dia punya oppa yang lebih baik dan ga lebay kayak oppaku ini. Ups….
“Oke..oke..gomawo. kalo oppa?? Mana kado untukku?” balik menodong oppaku yang sibuk menata rambut gondrongnya itu. Mendengar perkataanku dia langsung menoleh dan mendelik.
“Yah!!! Oppa sudah belanja, ngatur pesta ini, niupin balon – balon itu, bikin dekorasi dan jemput kau ke sekolah. Masih minta kado juga??!!” semburnya emosi. Alasan! Bibirku manyun mendengarnya, menyindirnya dengan mengacung – acungkan kado yang aku dapat dari yang lain. Tak pengaruh rupanya.
“Dasar pelit. Week..” gerutuku sebal.
“Kim Yura!!” teriaknya sambil mendelik ke arahku. Aku balas melotot kesal.
Huwaaa.. ga ada untungnya punya oppa semacam dia. Udah nyebelin, cerewet kayak nenek – nenek, narsis, sok ganteng, lebay dan peliiiit!! Setiap hari selalu saja membuatku naik darah nyaris jantungan dengan kelakuannya itu. Kenapa oppaku harus dia, sih?? Kenapa harus orang yang childish ini??!! Aaarrgg…kenapa??? Kenapa harus KIM HEECHUL???!!
Aku menoleh ke sahabatnya. Berharap oppaku tu cowok yang berdiri di depanku ini. Mereka seumuran tapi dengan tingkat kedewasaan yang bertolak belakang. Dia lebih baik, lebih pengertian, dewasa, lucu, pintar, popular dan SEMPURNA!! Karena dia HANGENG, cowok paling keren dan popular sekota Seoul!! Lumayan bisa bikin teman – temanku iri. Hahahaha Membayangkan saja membuatku senyum – senyum sendiri.
10 menit kemudian, setelah puas berantem dengan oppa, kami berlima duduk di teras rumah melanjutkan obrolan. Tentu saja tidak termasuk oppaku yang sibuk membalas sms dari para fansnya –ngakunya sih….. dan seperti biasa, kakak sepupu Sungmin udah menghilang. Dia, seperti yang aku bilang tadi, tipe pendiam dan serius. Beda jauh dengan dongsaengnya itu. Seingatku dia juga sahabatan dengan oppaku dan Han oppa. Paling beres otaknya diantara mereka meski tak sepopuler Han oppa, tapi dia pintar bahkan mengalahkan oppaku. Dia, LEE TEUK.
“Sebenarnya, ini ulang tahun Yura ke berapa?” tanya Han oppa kepadaku karena dia tidak melihat angka di kue ulang tahunku tadi. Aku yang sedang asyik merusak rubik Sungmin, terhenti dan ganti mengalihkan pandangan ke Han oppa.
“Hmm.. 10 tahun!” sahutku pendek membuatnya terbelalak. Semua yang mendengar jawabanku langsung memberikan reaksi. Sungmin menoyor kepalaku dan berucap babbo, Hana mendengus sinis, sedangkan oppaku melempar bantal dipangkuannya.
“Yah!!! Bagaimana bisa tiap tahun umurmu 10 tahun?? Dasar!! Peterpan komplek!!” seru oppa sebal. Ganti aku lempar bantal ke dia. Tepat sasaran!!! Hahaha…
“Liat siapa yang ngomong,” kata Han oppa menyindir, dia melirik ke arah oppaku itu. Merasa tersindir oppa tak terima dan langsung melempar bantal ke belakang kepala Han oppa. Tak tahan aku tertawa ngakak begitu juga Sungmin, Hana dan Han oppa. Tak lama kemudian dia sudah mengejar dan menyiksa Han oppa. Kalau seperti ini, keliatan sifat childish mereka.
Tersenyum melihat kelakuan mereka, mensyukuri apa yang sudah aku dapatkan. Anugerah terindah. Jujur, aku tak membutuhkan kado apapun dari mereka karena aku sudah mendapatkan semuanya. Mereka! Dan, di ulang tahunku yang ke 16 tahun ini – sssttt..jangan kasih tau Han oppa, ya- aku tak menginginkan apapun. Sampai aku menyadari aku membutuhkan seseorang…..

Seoul, musim dingin 2001
Hari ini, salju turun menyelimuti kota Seoul. Cuaca sangat tidak bersahabat, memaksaku berdiam diri dirumah. Kesepian. Omma masih di kantor dan oppa kuliah. Sendirian. Biasanya akan ada Sungmin menemaniku duduk di sebelahku menatap keluar jendela, melakukan apa saja untuk membuatku tertawa. Sungminku. Aku merindukan sahabatku itu. Dia sudah tidak ada lagi di sini, sudah 8 bulan ini dia pergi ke Seoul mengikuti trainee di sebuah managemen artis. Kepergiannya mendadak sekali meskipun sudah lama aku tahu dia bermimpi menjadi penyanyi. Hanya saja aku tidak menyangka dia pergi secepat ini.
Sekarang tidak ada lagi yang akan mengusiliku, memberikan sepotong batu, mengajakku berjalan di padang rumput di tepi sungai dan mengajariku menari. Pergi ke sekolah sendiri, pulang juga. Di sekolah juga tak ada dia karena semenjak masuk trainee dia pindah sekolah di Seoul, dekat dengan kantor managemennya. Meskipun dia berjanji akan sering pulang, tapi jadwalnya yang padat membuatnya tak bisa menepati janji. Apalagi dia akan segera debut.
Akhirnya, aku nekat keluar rumah daripada mati bosan. Langkah kaki membawaku ke rumah Sungmin yang memang tidak jauh dari rumahku. Berharap dia ada di rumah sedang asyik makan, maen game, belajar atau memetik gitarnya. Senyum kecutku mengembang mendapati jendela kamarnya tertutup rapat. Dingin, makin kurapatkan jaket yang membalut tubuhku. Aku kaget setengah mati ketika membalikkan badan hendak pulang, ada Lee Teuk oppa menatapku heran.
“Astagaa.. oppa!! Bikin aku nyaris mati jantungan,” sungutku terengah – engah. Kujatuhkan tubuhku ke hamparan salju, berusaha menata napas. Teuk oppa berjalan menghampiriku dan tanpa bicara mengangkatku berdiri.
“Mian… oppa tak bermaksud mengagetkanmu. Kamu sendiri, ngapain ada disini?” tanya dia.
“Cari Sungmin!” sahutku manyun. Mendengarnya dia tersenyum simpul.
“Kau kesepian? Heechul belum pulang, ya?” tanya dia. Aku mengangguk. Lagi – lagi, Teuk oppa hanya tersenyum memamerkan lesung pipit di pipinya. Itu yang aku suka dari dia.
“Masuk aja, oppa temani. Ajjumma juga ada di rumah,” katanya membuyarkan lamunanku. Fiuh… aku harap dia tak tahu apa yang barusan aku pikirkan. Tanpa banyak kata aku mengikutinya memasuki rumah dan langsung menuju dapur, ada ommanya Sungmin.
“Yura, ada apa?” tanya omma heran melihat aku datang bersama Teuk oppa.
“Aku menemukannya di depan rumah. Sepertinya dia tersesat,” sahut Teuk oppa jahil. Senyum mengembang dari wajah ommanya Sungmin. Dengan isyarat tangan omma menyuruhku duduk.
“Oppa ganti baju dulu, ya. Nanti oppa akan kembali untuk menemanimu,” kata Teuk oppa berpamitan dan pergi meninggalkan dapur. Tinggal aku duduk manyun melihat punggung ommanya Sungmin yang sedang sibuk memasak. Hmmm…baunya wangi!!! Terkesiap ketika menyadari bau apa ini. Sup labu!!! Sup labu kesukaanku dan Sungmin.
“Omma!! Omma!!” panggilku ke ommanya Sungmin. Aku memang memanggilnya omma, sama seperti Sungmin memanggil ommaku juga omma.
“Hmm..” sahut ommanya Sungmin tanpa menoleh ke arahku. Tangannya masih sibuk mengaduk isi panci di depannya dan sesekali memotong – motong sayuran.
“Aku lapaaar….” Rengekku manja. Mendengar rengekanku ommanya Sungmin tertawa kecil. Dia sigap mengambil mangkuk dari lemari, mengisinya dengan sup labu dan menaruhnya di depanku. Dengan tersenyum dia mengawasiku makan.
“Kau ini…. Mirip Sungmin! Mencium bau sup labu sekenyang apapun pasti bilangnya lapar. Memang tadi belum makan?” omel ommanya Sungmin yang melihatku makan dengan lahap. Aku mengangguk.
“Ne omma, aku belum makan selama seminggu!” jawabku bercanda membuatnya tertawa. Padahal sebenarnya tadi sudah makan sepiring penuh. Ommanya Sungmin mengawasiku sebentar sebelum melanjutkan acara memasaknya.
Waaah.. sup labu ini emang ga ada duanya. Apalagi kalau di makan pada saat cuaca dingin seperti sekarang. Tanpa sadar aku menghela napas panjang. Biasanya aku makan sup labu bersama Sungmin, di meja ini. Tapi sekarang aku makan sendirian. Kutatap kursi di sebelahku yang kosong. Aku benar – benar merindukan dia. Tiba – tiba Teuk oppa duduk di kursi yang aku pelototi, tersenyum padaku membuat lamunanku buyar.
“Kau ingat Sungmin lagi?” tanya dia.
“Iya,” jawabku jujur. Memalingkan muka darinya, menatap sup di depanku dan mengaduk – aduknya. Teuk oppa mengusap kepalaku pelan.
“Kau ini selalu bergantung ama Sungmin. Apapun Sungmin. Memang kau ga punya teman lain? Hana?” ucap Teuk oppa heran.
“Hana pulang ke Jepang,” sahutku singkat. Aahh…bikin aku sedih aja. Menyadari selama ini memang cuma mereka yang dekat denganku. Bukan karena aku tak punya teman lain, di sekolah temanku banyak, tapi yang dekat dari kecil memang cuma mereka berdua. Dan aku tipe orang yang tidak mudah memasukkan seseorang ke dalam kehidupanku. Jadinya seperti ini, kesepian. Sungmin di Seoul dan Hana sedang di Jepang.
“Kasihan kau..” desah Teuk oppa mengusap kepalaku.
Akhirnya, aku habiskan hari itu di rumah Sungmin. Membantu menyiapkan makan siang, makan siang bersama, nungguin Teuk oppa belajar sekaligus menggganggunya dan membuat berantakan kamarnya. Hahaha…. Lumayan sudah tidak bersedih lagi.

Seoul, musim gugur 2001
Akhirnya Sungmin melakukan debutnya pada awal musim panas kemarin. Sudah 4 bulan. Albumnya jadi nomor 1 di Korea, wajahnya ada dimana-mana. Televisi, billboard iklan di pinggir jalan, majalah, bahkan di bungkus makanan. Dia juga laris membintangi berbagai iklan. Benar – benar menjelma menjadi hallyu star! Semua orang memuji suaranya, bakatnya yang luar biasa, hebat di segala bidang. Menguasai piano dan gitar. Membuat semua orang terpukau padanya. Timbullah virus Minnie Lover. Itu sebutan untuk fansnya.
Seharusnya aku gembira melihatnya sesukses itu. Entah kenapa aku malah merasa makin kehilangan, jarak diantara kami semakin jauh, duniaku dan dia sepertinya berbeda. Jujur, aku tidak begitu rela membaginya dengan orang seluruh Korea. Sekarang semua orang bisa melihat senyumnya itu, usilnya, semua hal tentang dia di setiap variety show. Aku tidak suka itu! Seperti Minnie Lover, aku juga membeli majalah yang memuatnya, mendownload variety show, perform dia, apapun tentang dia. Karena aku ingin tahu apa saja yang dia lakukan dan katakan, meskipun sudah aku ketahui, meskipun kadang apa yang tertulis itu bohong.
Dan hari ini dia akan pulang. Awalnya aku gembira bukan main, tapi begitu melihat ratusan Minnie Lover bergerombol di depan rumahnya, rasa gembira itu berubah sebal. Begini rasanya punya sahabat seorang artis itu. Aku jadi tidak sebebas dulu menemuinya, takut menimbulkan skandal yang bisa merusak image dia. Masihkah dia sahabatku? Masihkah dia akan selalu ada untukku? Masih bisakah makan sup labu bersama? Apakah akan ada kado – kado aneh di ulang tahunku? Masih bisakah jalan – jalan di padang rumput, memanjat pohon atau hanya berbaring di tepi sungai? Aku merindukan hal – hal kecil itu. Aku merindukan kado sebutir batu yang terbungkus rapi. Karena tahun ini aku mendapatkan sebuah jam tangan. Entah kenapa aku tak suka itu.
“Sssst…Yura… Yura…”
Terdengar suara memanggilku pelan. Tersentak, aku mencari sumber suara itu kebingungan. Dan mendapati seraut wajah Sungmin yang aku kenal nyengir di balik pohon di bawah jendela kamarku. Bengong sejenak, menatapnya heran melihatnya mengendap – endap seperti itu. Tangannya melambai ke arahku memberi isyarat menyuruhku turun. Tak menunggu lama, seperti terbang aku berlari menuruni tangga, menghiraukan omelan oppa dan berlari menuju Sungmin.
“Ngapain kau disini?” tanyaku setelah ada di depannya. Dia hanya nyengir sambil menoleh ke arah rumahnya. Dan akhirnya aku paham.
“Kau kabur?? Ga bisa pulang, ya? Hahahaha… kasihan!” ledekku sambil tertawa. Sungmin menoyor pelan kepalaku sebagai balasannya. Masih tertawa aku menyeretnya masuk rumah.
“Oppa!! Liat siapa yang aku temukan di halaman!” teriakku heboh pada Hee oppa yang sedang asyik ngegame. Sontak dia menoleh.
“Oppa, menurutmu Minnie Lover akan bayar kita berapa buat bisa ketemu ma dia?” tanyaku usil. Kepalaku mendapatkan jitakan dari Sungmin. Hee oppa dengan tampang serius pura – pura berpikir, jari – jarinya membuat gerakan seakan sedang menghitung uang.
“Hmm.. kalo 1 photo seribu won, jabat tangan seribu dan pelukan dua ribu. 1 orang 4 ribu, dikalikan 100 orang….. wah!! Kita bisa kaya mendadak!!” seru Hee oppa tertawa sambil memelukku. Kemudian matanya beralih ke Sungmin seakan dia berlian dan harus melelangnya.
“Hyung! Yura! Kalian berdua tegaaa!” teriaknya mengenaskan, mau tak mau aku dan Hee oppa tertawa. Mana mungkin kami setega itu, Sungmin juga tahu. Dia berteriak kan cuma akting aja. Sejurus kemudian Hee oppa sudah memeluknya. Kadang aku iri melihat kedekatan mereka, Hee oppa emang lebih suka punya adik cowok daripada cewek, begitu katanya. Tapi, aku rasa itu karena dia cemburu melihat aku lebih dekat ama Han oppa daripada dengannya.  Salah sendiri, jadi oppa kok usil dan ganjen.
“Suatu kehormatan rumah kami didatangi oleh seorang hallyu star seperti anda. Selamat datang… ada yang bisa saya bantu?” goda Hee oppa membungkuk ala pelayan. Sungmin mengerucutkan bibirnya dan mendorong Hee oppa menjauh. Hee oppa terkekeh. Dia emang paling suka menggoda orang lain. Dasar oppa ga waras!!
“Hyung.. hentikan!” kata Sungmin kesal. Sigap, aku langsung bertindak menyelamatkan Sungmin dari keusilan Hee oppa dan menyeretnya naik ke lantai dua, ke kamarku.

 “Kau belum juga mengungkapkan perasaanmu?” seru Sungmin kaget setelah mendengarkan curhatan panjang lebarku. Dia menatapku tak percaya.
“Yah!! Babbo!!” katanya jengkel.
“Bagaimana kalo dia menolakku?” tanyaku membuatnya menghela napas sambil memegang kepalanya.
“Astaga… ditolak ato diterima itu udah resiko. Emang mau sampai kapan kau simpan perasaanmu?? Bukan setahun dua tahun kau suka dia, tapi hampir 5 tahun!! Mau jadi dongsaeng dia selamanya???” kata Sungmin gemas. Di sentilnya jidatku pelan. Huh!! Kenapa dia yang jadi emosi, sih? Gerutuku sambil mengusap dahi.
“Kalo ditolak kau tinggal datang padaku dan menangis. Urusan beres!” kata Sungmin memberi nasehat paling bodoh yang pernah aku dengar. Mau tak mau aku tersenyum. Iya ya.. kalo aku ditolak, lalu patah hati, tinggal mencarinya dan menangis kencang. Semua akan berakhir.
“Dia cinta pertamamu, kau jangan museumkan perasaanmu. Dia harus tahu!! Katakan padanya. Arraseo?” lanjut Sungmin memberiku semangat, aku mengangguk mantap. Aku tak mau semua hanya tersimpan dalam hati. Aku harus mengatakan perasaanku padanya! Harus!!
“Gomawo.. kau emang sahabat terbaikku,” kataku seraya memeluk Sungmin. Kalau tak ada dia, entah harus bagaimana. Sungmin menepuk punggungku pelan dan berbisik ‘hwaiting’ untuk memberiku kekuatan.

 Sungmin pov
“Dia cinta pertamamu, kau jangan museumkan perasaanmu. Dia harus tahu!! Katakan padanya. Arraseo?” kataku memberi semangat. Senyummu langsung merekah mendengar perkataanku. Kata –kata itu juga semestinya aku tujukan padaku.
“Gomawo.. kau emang sahabat terbaikku,” sahutmu memelukku erat. Aku membalas pelukan itu. Sahabat! Ya, hanya sebagai sahabat kau melihatku. Dari pertama dan mungkin untuk selamanya.
Aku menyuruhmu mengungkapkan perasaan pada seseorang yang sekian lama diam – diam kau cintai. Sedangkan aku masih jadi pengecut, menyimpan perasaanku rapat – rapat di dasar hatiku untukmu. Perasaan yang sudah ada sejak kecil itu makin besar seiring bertambahnya usiaku. Aku cemburu! Tapi tak ada yang bisa aku lakukan. Aku selalu berlari mengejarmu tapi tak pernah berjalan di sampingmu. Membuatmu tertawa, bahagia, hanya ini yang aku bisa lakukan untukmu. Selama kau bahagia, aku juga.


#to be continue

No comments:

Post a Comment